Siklus yang Tak Berujung
Tahapan-tahapan ini menciptakan lingkaran setan kebahagiaan yang tak berujung. Penderitaan memulai perjalanan, pengorbanan sepanjang perjalanan, dan hasil akhirnya sering kali membawa lebih banyak beban, baik dalam bentuk kekecewaan atau tanggung jawab baru. Siklus ini menunjukkan bahwa mengejar kebahagiaan dengan cara yang salah hanya memperpanjang penderitaan, bukan menyelesaikannya.
Melalui analisis ini, menjadi jelas bahwa kita perlu mendefinisikan ulang kebahagiaan. Daripada menganggapnya sebagai tujuan akhir, kebahagiaan perlu dilihat sebagai proses hidup yang holistik dan seimbang, seperti yang ditawarkan oleh Teori Kebahagiaan Integral.
Kebahagiaan Klasik yang Sederhana
Dalam pandangan klasik, kebahagiaan sering dilihat sebagai tujuan sederhana yang dapat dicapai melalui dua pendekatan utama, yaitu:
Kenikmatan Sesaat (Hedonisme): Filosofi ini berakar pada gagasan bahwa kebahagiaan ditemukan dalam pengalaman-pengalaman yang memberikan kenikmatan langsung, seperti makanan lezat, hubungan romantis, atau hiburan. Hedonisme berfokus pada menikmati momen-momen kecil dalam hidup tanpa terlalu memikirkan konsekuensinya.Â
Pencapaian Moral (Eudaimonia): Tradisi filsafat seperti yang diajarkan oleh Aristoteles menekankan bahwa kebahagiaan adalah hasil dari menjalani hidup yang bermakna, berbudi luhur, dan seimbang. Dalam pendekatan ini, kebahagiaan tidak hanya tentang "merasa baik," tetapi juga "menjadi baik."
Namun, kebahagiaan klasik sering dipahami dalam konteks yang lebih sederhana, di mana tekanan sosial dan kompleksitas kehidupan modern belum menjadi faktor dominan.
Tantangan di Era Modern
Di dunia modern, kebahagiaan telah mengalami transformasi menjadi sesuatu yang jauh lebih kompleks dan sulit dicapai. Ada beberapa tantangan utama yang membuat kebahagiaan terasa semakin jauh, karena:Â
Kebahagiaan sebagai Komoditas: Kapitalisme modern telah mengkomersialisasi kebahagiaan. Industri seperti pariwisata, hiburan, dan media sosial memasarkan kebahagiaan sebagai sesuatu yang dapat "dibeli" atau "dimiliki." Iklan dan influencer menciptakan ilusi bahwa produk tertentu atau gaya hidup tertentu adalah kunci kebahagiaan. Akibatnya, kebahagiaan bukan lagi tujuan intrinsik, melainkan target eksternal yang harus dikejar tanpa henti.Â