Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Paradoks Kebahagiaan

25 Januari 2025   21:55 Diperbarui: 25 Januari 2025   21:53 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seperti treadmill yang tak pernah berhenti, manusia modern terus berlari, berharap bahwa kebahagiaan sejati berada di ujung perjalanan. Namun, semakin jauh mereka berlari, semakin lelah pula mereka, tanpa benar-benar mencapai apa yang mereka cari.

Lingkaran Setan Kebahagiaan

Kebahagiaan sering kali digambarkan sebagai tujuan akhir yang mengatasi penderitaan. Namun, dalam praktiknya, perjalanan menuju kebahagiaan sering menyerupai lingkaran setan yang sulit diputus. Berikut adalah tahapan-tahapan yang membentuk siklus ini:

Tahap 1: Penderitaan sebagai Pemicu

Setiap manusia memiliki dorongan alami untuk menghindari penderitaan. Ketidakpuasan hidup, kesepian, kemiskinan, atau tekanan emosional sering menjadi titik awal perjalanan menuju kebahagiaan. Penderitaan ini berfungsi sebagai pemicu, membakar semangat untuk berubah, memperbaiki keadaan, dan mengejar hal-hal yang dianggap mampu membawa kebahagiaan.

Namun, masalahnya terletak pada bagaimana penderitaan ini dipahami. Alih-alih sebagai bagian dari kehidupan yang tak terhindarkan, penderitaan sering dilihat sebagai sesuatu yang harus disingkirkan sepenuhnya. Persepsi ini memicu perlombaan mencari kebahagiaan sebagai "pelarian" dari penderitaan, tanpa menyadari bahwa kebahagiaan sejati bukanlah absennya penderitaan, melainkan kemampuan untuk berdamai dengannya.

Tahap 2: Pengorbanan untuk Mencapai Kebahagiaan

Saat penderitaan mendorong seseorang menuju kebahagiaan, pengorbanan menjadi langkah berikutnya. Orang mulai mengorbankan waktu, tenaga, dan emosi untuk mencapai impian yang diyakini membawa kebahagiaan, apakah itu karier yang sukses, harta melimpah, atau hubungan yang ideal.

Namun, pengorbanan ini tidak datang tanpa harga. Tekanan sosial untuk mencapai "standar kebahagiaan" semakin memperberat beban individu. Media sosial, budaya hustle, dan ekspektasi masyarakat menciptakan narasi bahwa kegagalan bukanlah pilihan. Akibatnya, individu sering memaksakan diri hingga melampaui batas fisik dan emosional, percaya bahwa kebahagiaan hanya dapat diraih melalui perjuangan tanpa akhir.

Tahap 3: Dua Jalan, Sama Beratnya

Ketika seseorang telah mengorbankan begitu banyak, perjalanan menuju kebahagiaan sering berujung pada salah satu dari dua hasil yaitu kegagalan atau keberhasilan. Ironisnya, kedua jalan ini sama-sama berat. Kegagalan mencapai kebahagiaan sering kali membawa rasa kecewa mendalam. Perasaan putus asa, malu, atau bahkan trauma bisa muncul. Gagal dalam mencapai impian membuat individu merasa tidak berharga, kehilangan arah, dan kapok untuk mencoba lagi. Keberhasilan justru membawa tantangan baru. Beban tanggung jawab yang lebih besar, ekspektasi untuk mempertahankan posisi, dan tekanan sosial untuk terus melampaui pencapaian sebelumnya menjadi bagian dari "hadiah" kebahagiaan. Kebahagiaan yang dicapai dengan susah payah sering berubah menjadi sumber kecemasan baru, karena takut kehilangan apa yang telah diperoleh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun