Mekanisme dan Reduksionisme (Abad ke-17-19): Filsuf seperti Ren Descartes dan ilmuwan seperti Isaac Newton mendukung pandangan bahwa semua fenomena alam, baik fisik maupun biologis, dapat dijelaskan oleh interaksi partikel materi yang mengikuti hukum mekanika. Mekanisme ini adalah bentuk awal dari reduksionisme, yang berasumsi bahwa fenomena yang kompleks pada level makro dapat direduksi menjadi interaksi partikel yang lebih kecil yang bekerja menurut prinsip-prinsip deterministik.
Vitalisme dan Emergensi (Abad ke-17-19): Sebagai reaksi terhadap pandangan mekanistik, vitalisme diusung oleh tokoh-tokoh seperti Hans Driesch, yang berpendapat bahwa kehidupan memiliki dimensi non-material yang tidak bisa dijelaskan sepenuhnya melalui hukum fisik atau kimia. Driesch mengusulkan konsep entelechy, suatu kekuatan non-material yang mengatur organisme hidup dan memungkinkan terjadinya fenomena yang tidak bisa direduksi menjadi elemen-elemen kecil. Pandangan ini menekankan sifat emergent yang muncul pada tingkat sistem, yang lebih dari sekadar jumlah bagian-bagiannya.
Konflik yang muncul antara reduksionis dan vitalis berkisar pada dua hal utama: reduksionis menganggap vitalisme tidak ilmiah karena tidak dapat memberikan bukti empiris yang kuat, sedangkan vitalis mengkritik reduksionisme sebagai pendekatan yang terlalu sempit dalam menangkap kompleksitas fenomena kehidupan.
1.2. Tantangan Teoretis
Pada abad ke-20, positivisme, dipelopori oleh tokoh seperti Rudolf Carnap dan Carl Hempel, mendominasi filsafat sains dengan menekankan bahwa fenomena kompleks dapat dijelaskan melalui reduksi ke hukum dasar fisika atau kimia. Namun, sejak saat itu, teori emergensi mulai menemukan jalannya kembali ke dalam diskursus ilmiah. Pemikir seperti C.D. Broad dan Samuel Alexander menghidupkan kembali gagasan tentang sifat-sifat emergen, seperti kesadaran, yang tidak dapat direduksi hanya ke aktivitas fisikal, tetapi muncul melalui interaksi kompleks antar elemen-elemen pada skala makro.
Meskipun biologi molekuler dan neurobiologi sempat mengukuhkan dominasi reduksionisme, yang mencakup pemahaman tentang genetika dan struktur DNA, bidang lain seperti ekologi dan ilmu saraf mengungkapkan bahwa fenomena kompleks, seperti ekosistem dan kesadaran, tidak dapat dijelaskan hanya dengan pendekatan reduktif. Roger Sperry, seorang ilmuwan saraf, mengajukan ide bahwa kesadaran adalah fenomena emergen yang lebih besar daripada sekadar jaringan neuron.
Dalam konteks ini, kita menghadapi dua masalah besar yang berkaitan dengan penjelasan tentang sistem kompleks. Reduksionisme gagal menangkap sifat emergen yang muncul pada skala makro, sementara emergensi sendiri masih mengalami kesulitan dalam memberikan penjelasan mengenai mekanisme yang mendasari fenomena tersebut pada skala mikro. Di sinilah teori holon, seperti yang dikemukakan oleh Arthur Koestler, menawarkan sebuah kerangka untuk menjelaskan hubungan antara komponen dan sistem yang lebih besar melalui struktur hierarkis. Namun, teori holon masih memerlukan formalitas matematis yang lebih dalam agar dapat diintegrasikan secara utuh dalam fisika modern dan sains terapan.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengembangkan teori hierarki interaksi adaptif yang tidak hanya menggabungkan pendekatan reduksionis dan emergensi, tetapi juga mencakup kerangka holon dalam memodelkan sistem kompleks. Dengan teori ini, kami ingin membangun sebuah framework yang secara matematis memformalkan hubungan antara level interaksi yang lebih rendah dan lebih tinggi dalam sebuah sistem, mengungkap mekanisme emergensi yang muncul dari interaksi kompleks di berbagai skala. Penelitian ini bertujuan untuk: