2. Resistensi Sosial dan Buruh
Adopsi AI di sektor manufaktur dan logistik menghadapi perlawanan besar dari serikat pekerja yang khawatir akan kehilangan pekerjaan. Pemerintah gagal menyeimbangkan kebutuhan teknologi dengan perlindungan tenaga kerja.
3. Kurangnya Dukungan Pemerintah
Regulasi AI yang terlalu ketat, seperti pajak tinggi untuk penggunaan AI impor dan kurangnya subsidi bagi startup lokal, membuat inovasi stagnan. Selain itu, tingkat literasi digital yang tidak meningkat menyebabkan masyarakat luas tidak memahami manfaat AI. Kejadian seperti sejumlah perusahaan logistik dan manufaktur besar di Indonesia menggantikan sebagian besar tenaga kerja dengan sistem berbasis AI. Namun, karena minimnya program pelatihan ulang, ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian. Ini memicu ketidakstabilan sosial, sehingga pemerintah membatasi penggunaan AI lebih lanjut.
4. Dampak Sosial-Ekonomi
Ketergantungan pada teknologi impor makin besar. Gap teknologi antara Indonesia dan negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia, makin melebar. Indonesia gagal memanfaatkan potensi AI untuk mendorong pembangunan ekonomi.
Refleksi dan Peluang
Ketiga skenario ini menunjukkan bahwa masa depan AI di Indonesia sangat ditentukan oleh empat faktor utama yaitu pendidikan, kebijakan, ksesibilitas teknologi, dan penerimaan dari kalangan buruh. Jika Indonesia dapat memastikan literasi digital yang inklusif, mendorong kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan komunitas, serta menciptakan ekosistem AI yang terbuka, maka potensi skenario optimis dapat terwujud. Sebaliknya, tanpa perencanaan strategis, AI bisa menjadi peluang yang terlewatkan.
Skenario Paling Mungkin
Melihat kondisi Indonesia saat ini, skenario yang paling mungkin tampaknya adalah skenario moderat, di mana adopsi AI terus berkembang, tetapi penyebarannya tidak merata. AI hadir dengan potensi prospek besar bagi masa depan Indonesia, tetapi realitas di lapangan menunjukkan bahwa potensi itu belum sepenuhnya dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat atau semua sektor ekonomi.
Saat ini, Indonesia menikmati era layanan AI yang mudah diakses karena banyak platform yang masih bersifat gratis atau disubsidi. Ini dimungkinkan oleh investasi besar dari pemodal global yang mengharapkan keuntungan besar di masa depan. Namun, model ini tidak sepenuhnya berkelanjutan. Ketika keuntungan yang diharapkan tidak kunjung datang, pendanaan mungkin dihentikan, memaksa pengembang AI untuk menerapkan layanan berbasis biaya. Perubahan ini dapat menghambat adopsi AI, terutama bagi masyarakat yang berpendapatan rendah dan usaha kecil menengah (UMKM), yang selama ini sangat bergantung pada teknologi murah.