Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dapatkah Relativitas Umum Menjelaskan Konsep Dilatasi Waktu dalam Al Qur'an

22 Oktober 2024   10:20 Diperbarui: 27 Oktober 2024   12:57 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tafsir Einstein Atas Al Qur'an 2 : Dilatasi Waktu Dalam Relativitas Umum 

Pendahuluan

Sebelum Einstein tidak pernah dikenal konsep relativitas waktu, apalagi konsep dilatasi waktu. Semua pemikir dan filsuf, bahkan Newton dan Maxwell sendiri, berasumsi bahwa waktu adalah entitas yang permanen, stabil, dan sama bagi semua entitas fisika. Terlalu berat bagi orang-orang untuk membayangkan waktu adalah entitas relatif. Tidak terpikirkan juga bahwa secara obyektif waktu mengalami perlambatan. Butuh waktu 20 abad kalender Masehi, 10 ribu tahun sejarah peradaban, dan 100 ribu tahun sejarah evolusi manusia untuk memahami waktu sebagai entitas yang relatif. 

Eit, tidak juga sih. Sebelum Einstein ada setidaknya Heraclitus, Saint Augustine of Hippo,  dan Muhammad SAW yang mengeluarkan pernyataan yang sering diklaim setara dengan konsep relativitas waktu dan dilatasi waktu yang kita pahami sekarang. 

Heraclitus dan Saint Augustine memahami relativitas waktu dalam konteks platform filsafat. Heraclitus menggunakan sungai atau aliran sungai sebagai metafora konsepnya tentang waktu. Sedangkan dalam konsep Saint Augustine waktu dipandang sebagai pengalaman subyektif yang relatif.  

Pada Heraclitus tidak kita dapati pernyataan yang spesifik mengarah kepada konsep relativitas waktu, apalagi dilatasi waktu. Konsepnya cenderung kepada pemahaman arrow of time atau time flow. Iya kita sepakat bahwa waktu itu bergulir dan mengalir seperti aliran air sungai. Konsep Heraclitus bisa tepat dipahami sebagai konsep relativitas waktu jika seperti halnya aliran sungai setiap bagian dari alirannya mungkin tidak memiliki kecepatan yang sama dan setiap elemen di dalam sungai tidak mengalami kecepatan aliran sungai yang sama.

Pemikiran Saint Augustine dapat dikatakan sebagai waktu subyektif atau waktu psikis. Di mana orang-orang dalam kondisi psikologis tertentu merasa bahwa waktu berjalan lambat. Ini pemikiran yang umum dianut oleh banyak pemikir saat itu yaitu pada abad pertengahan. Kita tidak melihat ini sebagai pemikiran original dari Saint Augustine. Al Ghazali, Al Farabi, dan Ibnu Sina pun mempunyai pendapat serupa ini. Semua pemikir ini berpendapat bahwa setiap orang merasakan pengalaman waktu dengan kecepatan berlalu secara berbeda.

Lalu bagaimana dengan konsep waktu yang dibawa oleh Muhammad?

Muhammad SAW melalui Al Qur'an telah memperkenalkan konsep relativitas waktu dan dilatasi waktu jauh lama sebelum Einstein. Beberapa ayat dalam Al Qur'an secara spesifik mengatakan bahwa waktu itu relatif tergantung kerangka acuan, gerak, kecepatan bergerak, dan dimensi semesta atau manifold. Bahkan secara terang Al Qur'an mengatakan perlambatan waktu mencapai satu hari setara dengan seribu tahun dan bahkan lima ribu tahun. Ini merupakan nilai dilatasi waktu yang tak terpikirkan oleh siapapun hingga kini. Melihat rentang waktu antara Einstein dan Muhammad ada sekitar 1.300 tahun, maka konsep waktu Muhammad sangat revolusioner. Bahkan hingga kini kita masih bertanya-tanya tentang kondisi dan mekanisme yang memungkinkan suatu dilatasi waktu mencapai perbandingan 1:365.000 dan 1:18.000.000.

Hal ini jelas berbeda dengan konsep waktu Heraclitus dan Saint Augustine, terutama karena Muhammad bahkan secara eksplisit menyatakan angka spesifik perbandingan relativitas waktu bisa mencapai sehari setara dengan seribu bahkan lima puluh ribu tahun. Berbeda dengan Heraclitus dan Augustine, apa yang mendorong relativitas waktu tersebut dijelaskan oleh Muhammad akibat dari perbedaan kerangka acuan antara Allah di langit dengan manusia di Bumi, juga akibat gerak kecepatan yang dicapai malaikat dalam perjalanan pulang pergi Bumi dan Langit. Tapi sebagai pernyataan spiritualitas, dengan fungsi utamanya untuk menanamkan pesan keagungan Tuhan, Muhammad tidak menulis itu dalam bentuk persamaan matematis. 

Walaupun begitu, kelebihan Einstein yang tidak bisa dicapai oleh Heraclitus, Saint Augustine, maupun Muhammad adalah bisa menjelaskan konsep relativitas waktu dan dilatasi waktu dalam bahasa sains, serta membuktikannya dalam persamaan matematika. Dengan begitu, kita bisa menguji konsepnya dengan eksperimen dan observasi yang kuantitatif. Sedangkan Al Qur'an mengabarkan kedua konsep itu dalam teks spiritualitas. 

Konsep relativitas waktu dan dilatasi waktu Einstein memang revolusioner. Semua orang mengakui kejeniusan dan  kebesarannya. Walaupun Einstein tidak luput dari blunder, cahaya kejeniusannya tidak juga berkurang kilaunya. Sementara kita masih bertanya-tanya tentang konsep waktu versi Muhammad terutama relevansi, korelasi dan konsekuensinya dalam fisika dan kosmologi, barangkali dengan hadirnya konsep waktu Einstein, kita bisa menemukan jembatan pemahaman antara konsep Muhammad dengan konsep Einstein, sehingga konsep waktu versi Muhammad tidak berhenti sebagai teks spiritualitas belaka yang dipahami secara sempit sebagai sebuah dogma. 

Sekitar seribu empat ratus tahun sejak Al Qur'an hadir hingga kini, Muslim berusaha memahami maksud dari teks spiritualitas yang dikabarkan Muhammad itu. Kitab-kitab tafsir yang ada baik itu yang klasik seperti At Tabari, Al Quthubi, Ibnu Katsir, dan Jalalyin, maupun kitab tafsir kontemporer seperti Al Manar, Fi Zillal, Al Jawahir, Al Azhar, dan Al Misbah, tidak memberikan penjelasan yang memuaskan tentang makna ayat-ayat dilatasi waktu di atas. Apa maksud sebenarnya dari satu hari setara dengan seribu tahun dan lima puluh ribu tahun. Ketika Einstein datang, Muslim mulai mencoba memahami konsep relativitas waktu dan dilatasi waktu dalam kerangka relativitas khusus dan relativitas umum. Tapi bisakah? Bisakah kedua konsep waktu itu saling menjelaskan?

Dilatasi Waktu Relativitas Khusus 

Pada diskusi kita sebelumnya di kompasiana yang berjudul "Tafsir Einstein Atas Al Qur'an 1", saya berusaha menguraikan konsep relativitas waktu dan dilatasi waktu dalam kerangka relativitas khusus.  Di situ, kita sampai kepada kesimpulan bahwa untuk memahami maksud Al Qur'an yang sesungguhnya kita perlu memahami Faktor Lorentz dalam persamaan dilatasi waktu relativitas khusus sebagai variabel tersendiri, bukan sebagaimana dituliskan selama ini. Faktor Lorentz bisa kita notasikan tersendiri dengan simboll Gamma. 

Tapi itu pun masih belum cukup untuk mencapai kuantitas waktu yang dimaksud oleh Al Qur'an. Untuk mencapai kuantitas dilatasi waktu yang dimaksud Al Qur'an, yaitu satu hari setara seribu tahun atau lima puluh ribu tahun yang berarti 1:365.000 atau 1:18.250.000, dibutuhkan kecepatan lebih besar dari kecepatan cahaya. Ini syarat yang berada di luar asumsi relativitas khusus. 

Dilatasi waktu yang dicapai oleh proton di akselerator partikel LHC yang mencapai 0.999999991 kecepatan cahaya hanya mencapai dilatasi waktu sekitar 1:7.300. Ini masih seratus dan seribu kali lipat di bawah dilatasi waktu yang diminta oleh Al Qur'an. 

Keberatan kita yang lain terhadap relativitas khusus adalah foton sebagai satu-satunya entitas fisika yang mampu bergerak dengan kecepatan cahaya tidak tampak mengalami dilatasi waktu, kontraksi panjang, dan penambahan massa bagi kita sebagai pengamat diam seperti diprediksi oleh relativitas khusus.  Alih-alih terjadi dilatasi waktu, foton tidak terpengaruh waktu. Alih-alih terjadi pertambahan massa, foton tanpa massa. Alih-alih terjadi kontraksi panjang, foton malah bersifat non locality di mana ruang tampak tidak ada atau bersifat diskrit. 

Iya saya tahu, anda pasti berdesis dan bergumam bahwa foton sebagai entitas fisika tak bermassa tidak bisa disamakan dengan entitas fisika bermassa. Foton adalah kekecualian dalam relativitas khusus bahkan merupakan standar pengukuran dalam relativitas khusus. Foton dengan kecepatan cahayanya merupakan konstanta dasar dalam persamaan dilatasi waktu relativitas khusus. 

Sebelum anda menepuk pundak saya dengan mengatakan bahwa saya salah dalam memahami konsep relativitas waktu dan saya terjebak dalam logical fallacy, tolong cerna ini dulu. Perbedaan kita sebenarnya terletak pada asumsi tentang sifat-sifat foton. Jika anda memandang itu sebagai kekecualian dalam relativitas khusus, saya melihat itu sebagai sesuatu yang di luar jangkauan relativitas khusus. Ini karena saya melihat entitas fisika bermassa pun ketika bergerak dengan kecepatan cahaya seharusnya berperilaku seperti foton yaitu tidak bermassa.

Dalam perspektif saya, suatu entitas fisika bermassa ketika bergerak, maka massanya terus bertambah sampai batas kecepatan tertentu, tapi kemudian massanya menurun seiring bertambahnya kecepatan, sehingga akhirnya massanya hilang ketika kecepatannya sudah mencapai kecepatan cahaya.

Silahkan saja anda meringis dengan hipotesis ini, tapi selama tidak ada entitas fisika bermassa yang secara nyata bergerak mendekati dan mencapai kecepatan cahaya, maka baik relativitas khusus maupun hipotesis saya, sama-sama tidak bisa dibuktikan. 

Terbayangkan bagaimana mimik wajah Sabine Hossenfelder jika mengetahui hal ini. Dia pasti akan pusing dengan hal ini. Padahal sih gampang aja, tinggal sebutkan saja apa entitas fisika bahkan partikel elementer bermassa yang mampu bergerak mendekati kecepatan cahaya dan berperilaku seperti diprediksi oleh relativitas khusus.

Iya memang proton dalam akselerator LHC yang dipercepat mencapai 0.999999991 kecepatan cahaya membutuhkan 6 Tev  energi yang 7.300 lebih besar dari energi diamnya menunjukkan pertambahan massa akibat efek relativitas khusus. Tapi saya melihat, ketika kecepatannya terus ditingkatkan, maka proton akan secara spontan mengalami peluruhan atau decay menjadi photon sehingga akhirnya tidak bermassa. 

Jika begitu, jika relativitas khusus tidak bisa menjangkau maksud dari konsep waktu di dalam Al Qur'an, barangkali kita bisa mencoba memahami Al Qur'an dalam kerangka relativitas umum. Untuk maksud itulah diskusi ini dibuat. Yuk kita lihat. 

Konsep Waktu dalam Al Qur'an

Konsep relativitas waktu dan dilatasi waktu dapat kita turunkan pemahamannya dari 6 titik ayat-ayat ini, yaitu:

1. QS. 22:47. Ayat ini menyinggung tantangan kaum kafir untuk disegerakan datangnya azab. Tantangan ini dijawab Allah bahwa azab itu sebenarnya sudah sangat dekat. Eksistensi dilatasi waktu saja yang menyebabkan itu terasa lama. Allah menyatakan bahwa satu hari dalam kerangka acuan Allah adalah seribu tahun dalam kerangka acuan manusia. Ini juga menjadi indikasi bahwa waktu terikat pada ruang. Secara eksplisit dikatakan satu hari setara dengan seribu tahun.

2. QS. 32:5. Ayat ini menyatakan waktu yang terikat dengan kecepatan malaikat melakukan perjalanan Bumi - Langit. Dalam ayat ini pun dinyatakan bahwa satu hari setara dengan seribu tahun.

3. QS. 70:4. Sama seperti ayat sebelumnya, ayat ini membahas tentang relativitas waktu yang berkaitan dengan perjalanan malaikat pp Bumi - Langit. Kali ini malaikat tersebut bergerak lebih cepat dari malaikat yang disebutkan di ayat point 2 sebelumnya, sehingga waktu melambat 50 kali, di mana satu hari setara dengan 50 ribu tahun. Ini juga membawa pemahaman waktu yang terikat dengan gerak dan kecepatan bergerak.

4. QS. 18:25. Ayat ini menceritakan para Ashabul Kahfi yang merasa tertidur cuma setengah hari atau satu hari saja, padahal mereka sebenarnya telah tertidur selama 309 tahun. Ini sebenarnya tidak menunjukkan dilatasi waktu, tapi hanya sebatas kepada waktu bersifat relatif terhadap persepsi dan sisi subyektif manusia. Tapi ini tidak sampai membawa kita kepada pemahaman bahwa waktu adalah ilusi, seperti yang sebagian orang pahami saat ini.

5. QS. 36:38-40. Siklus Bulan dan Siklus Semu Matahari dalam peranannya untuk penghitungan waktu dibahas di ayat ini. Ayat-ayat ini menegaskan relativitas waktu yang terikat pada gerak. Ayat-ayat ini juga menjelaskan bagaimana waktu di Bumi diukur dan dihitung.

6. QS. 36:52. Ayat ini menggambarkan manusia ketika dibangkitkan dari alam kubur saat drama kiamat terjadi. Mereka merasa hanya tertidur sebentar saja, padahal telah terkubur milyaran tahun. Ini merupakan indikasi waktu yang terikat dengan dimensi. Semakin tinggi dimensinya, yang dalam konteks ayat ini adalah alam barzah, semakin lambat waktu berjalan. 

Kerangka Acuan dalam Konsep Waktu

Dari 6 titik ayat-ayat al Qur'an seperti tersebut di atas yang bisa dipahami sebagai konsepsi tentang relativitas waktu maupun dilatasi seperti tersebut di atas, semua ini membawa kita mengerti bahwa :

1. Relativitas waktu tergantung kepada kerangka acuan. Waktu satu hari di sisi Allah bisa setara dengan seribu tahun dalam hitungan manusia di Bumi.

2. Relativitas waktu tergantung kepada kerangka gerak. Rotasi Bumi, juga Revolusi Bulan dan Bumi menunjukkan hubungan antara kerangka gerak dengan kerangka waktu. Analoginya seperti hubungan antara roda gigi jam yang menunjukkan detik dengan roda gigi yang menunjukkan menit. Satu hari dan satu tahun di Jupiter berbeda dengan satu hari dan satu tahun di Bumi. 

3. Relativitas waktu tergantung kepada kecepatan. Waktu yang berlaku pada para malaikat yang bergerak pulang pergi Bumi - Arsy bergerak lambat. Semakin cepat malaikat bergerak, perlambatan waktunya semakin besar. Dalam konstruksi kecepatan ini waktu bisa melambat bukan saja sehari setara seribu tahun, tapi bahkan sehari setara lima puluh ribu tahun. 

4. Relativitas waktu tergantung kepada ruang atau tempat. Waktu di Arsy lebih lambat ketimbang di Bumi. Waktu di semesta awal berjalan lebih lambat daripada di semesta kontemporer. Waktu di permukaan Bumi berjalan lebih lambat dari waktu di luar angkasa. Waktu di sekitar event horizon tidak setara dengan waktu di dalam black hole. 

5. Relativitas waktu tergantung kepada dimensi. Orang tidur seperti Ashabul Kahfi dan manusia di alam barzah merasa waktu berjalan sangat lambat dibandingkan dengan manusia yang dalam keadaan sadar maupun manusia yang masih hidup di dunia. Dalam semesta manifold, waktu mengalir dengan kecepatan berbeda.  Ini bisa menjadi perspektif baru dalam kita memandang relativitas waktu dan dilatasi waktu. 

Jadi konsep relativitas waktu dan dilatasi waktu dalam Al Qur'an terikat dengan kerangka acuan, ruang, dimensi, gerak, dan kecepatan.

Bagaimana Dilatasi Waktu Dipahami

Jika relativitas waktu dan dilatasi waktu tergantung kepada kerangka acuan, ruang, dimensi, gerak, dan kecepatan seperti kesimpulan sementara kita di atas, maka implikasinya waktu dapat dipahami dan dihitung sebagai berikut:

1. Putaran atau siklus. Analogi sederhana dari pendekatan ini adalah seperti roda gigi pada mesin jam di mana satu putaran penuh roda gigi  menit setara dengan enam puluh putaran roda gigi detik. Jadi jika suatu peristiwa fisika, kimia, dan biologi ketika berada dalam suatu sistem mengalami 10 siklus, sementara entitas yang sama dalam sistem lainnya hanya terjadi satu kali siklus, maka dapat dikatakan sistem kedua mengalami perlambatan waktu.

2. Jarak yang ditempuh dalam satu rotasi atau panjang keliling obyek dalam melakukan rotasi. Jika obyek a berotasi memiliki keliling sebesar 1, sementara obyek b dengan kecepatan rotasi yang sama memiliki keliling 10 kali lebih panjang, maka obyek b mengalami dilatasi waktu 10 kali. Bisa juga jika karena suatu sebab Bumi bertambah besar sehingga kelilingnya menjadi 10 kali lebih besar, maka Bumi pada saat itu mengalami dilatasi waktu 10 kali bila kecepatan rotasinya tetap.

3. Kecepatan rotasi. Jika karena sebab ditabrak meteor misalnya kecepatan rotasi Bumi menjadi lebih lambat 10 kali dari biasanya dengan ukuran Bumi yang sama, maka Bumi mengalami perlambatan waktu 10 kali.

4. Obyek berada jauh dari pusat gravitasi sehingga masa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu putaran revolusi lebih panjang. Jika tabrakan meteor membuat Bumi menjauh dari Matahari sehingga satu tahun dalam jarak yang baru ini sama dengan 10 tahun dalam kondisi yang lama, maka perlambatan waktu Bumi adalah 10 kali. Ini sinkron dengan persamaan gravitasi Newton.

5. Persamaan gravitasi Newton juga membawa kondisi di mana jika massa pusat gravitasi sangat besar sehingga kecepatan revolusi menjadi lambat. Jika suatu keadaan menyebabkan massa Matahari menjadi 10 kali lebih besar sehingga kecepatan revolusi Bumi menjadi lebih lambat, maka Bumi mengalami dilatasi waktu 10 kali. Ini juga sesuai dengan prediksi relativitas umum. 

6. Slow motion. Jika karena suatu sebab yang tak terduga tekanan atmosfer bertambah ataupun gaya gravitasi Bumi bertambah, sehingga untuk menempuh jarak 10 meter dibutuhkan waktu 10 kali lebih lama, maka kita di Bumi merasakan waktu melambat 10 kali karena kecepatan kita bergerak melambat.

Tapi keenam skenario ini bukanlah sepenuhnya dilatasi waktu seperti yang dimaksud oleh Einstein dalam relativitas khusus maupun relativitas umum.

Walaupun begitu, tidak urung kita bertanya tentang bagaimana memahami keenam skenario itu ke dalam konsep dilatasi waktu dalam Al Qur'an?

Satu Hari Setara Seribu Tahun 

Al Qur'an secara eksplisit menyatakan dilatasi waktu satu hari yang setara dengan seribu tahun dan sehari setara dengan lima puluh ribu tahun. Jika seribu tahun terdilasi selama satu hari berarti 1:365.000, dan jika lima puluh ribu tahun terdilasi selama satu hari berarti perbandingannya 1:18.250.000.

Satu hari Bumi 24 jam adalah ukuran waktu rotasi Bumi yang berarti jaraknya adalah sebesar keliling Bumi, di mana keliling Bumi saat ini adalah sekitar 40 ribu km. Jika kita memahami dilatasi waktu sebagai jarak yang ditempuh Bumi untuk berotasi yang berarti sejauh keliling Bumi, maka kerangka acuan Allah adalah besarnya 365.000 kali keliling Bumi. Ini jelas tempat atau obyek langit yang sangat besar. 

Dengan keliling Bumi saat ini sebesar 4 10^3 km, jari-jarinya lebih dari 6 10^3 km, maka volumenya adalah 1 10^12  km kubik. Dengan massa jenis sebesar 5.5 10^2 kg/m^3, maka diketahui massa Bumi adalah 5.5 10^24 kg. Sedangkan massa Matahari adalah 2 10^30 kg atau setara dengan 3.3 10^5 kali massa Bumi. 

Angka-angka di atas diperoleh dari turunan persamaan berikut ini:

K = 2 phi r 

r = K / 2 phi

V = 4/3 phi r^3

m = V rho

Jika kelilingnya menjadi 365 10^3 kali sebagai perbandingan dilatasi waktu satu hari sama dengan seribu tahun, dengan menggunakan rumus yang menghubungkan antara keliling, jari-jari, volume, dan massa seperti tersebut di atas, maka diketahui massanya adalah 2.7 10^35 kg. Dalam melakukan pengecekan perhitungan jangan lupa untuk melakukan konversi satuan, terutama satuan rho atau massa jenis Bumi.

Dengan massa Matahari sebesar 2 10^30 kg seperti tersebut di atas, maka massa objek itu adalah 10^5 lebih besar dari Matahari. Bandingkan juga dengan Sagitarius A yang merupakan black hole di pusat galaksi Bima Sakti kita memiliki massa setara 4 10^6 massa Matahari, maka tempat yang dijadikan kerangka acuan Allah masih sedikit lebih kecil dari itu. Bisa saja kan bahwa kerangka acuan yang dimaksud Allah adalah pusat galaksi Bima Sakti yaitu black hole Sagittarius A. 

Untuk hidup di tempat dengan massa obyek dan kekuatan gravitasi sebesar itu butuh kekuatan yang sangat besar. Organisme di Bumi tidak ada yang mampu hidup dalam tarikan gravitasi sebesar ini. Kita bisa mengukurnya mengikuti kesetaraan energi kinetik dan energi potensial berikut ini.

m v^2 = m g h

Sekarang bagaimana jika dilatasi waktunya 1:18 10^6? Dengan rumus turunan yang sama yang kita gunakan sebelumnya, maka massa tempat yang menjadi kerangka acuan Allah adalah sekitar 10^16 massa Matahari atau 10^6 massa black hole TON618. Massa sebesar itu jelas harus berada di luar semesta kita saat ini. Jika berada di dalam semesta, ada dua kemungkinan bisa terjadi. Pertama, seluruh semesta bisa kolaps menjadi black hole. Kedua, kain spacetime semesta kita saat ini bisa robek. Mungkin akan memasuki wormhole. Semua ini jelas masih di luar jangkauan fisika kita saat ini.

Sampai titik ini, kita sampai kepada hipotesis bahwa tempat yang menjadi kerangka acuan Allah adalah sebuah supermassive black hole. Besaran black hole tersebut mencapai sejuta kali massa TON 618 yang merupakan black hole terbesar sampai saat ini.

Tapi apakah benar bahwa obyek langit yang besarnya sampai 10^6 kali black hole terbesar TON 618 itu menciptakan dilatasi waktu sampai titik di mana satu hari setara dengan lima puluh ribu tahun? Bagaimana ini dijelaskan dengan gravitational time dilation?

Waktu Psikologis 

Waktu bukanlah entitas fisika. Waktu merupakan pengalaman subyektif yang terikat dengan kesadaran kita. Ketika kita tidur, waktu berhenti atau bahkan tidak ada. Ketika kita bangun kembali, barulah kita mengukur waktu berapa lama kita tidur. Ketika itu kita justru merasa waktu berjalan sangat cepat. 

Dalam dimensi psikis, waktu tidak berjalan dengan kecepatan yang sama pada setiap orang dan pada setiap keadaan. Bahkan waktu tidak berlaku tanpa adanya kesadaran.

Para pemikir di Abad Pertengahan baik dari kalangan Islam maupun Barat seperti Al Ghazali dan Saint Augustine memahami dilatasi waktu dan relativitas waktu dari sisi psikologi ini. Orang-orang yang mengalami kondisi psikologis tertentu akan merasakan waktu berjalan dengan kecepatan berbeda.

Ketika sedang menunggu atau ketika sedang mengalami kesusahan, waktu terasa berjalan lambat.  Berbeda jika kita sedang dalam kondisi senang atau sedang melakukan suatu passion kita, waktu akan terasa berjalan cepat.

Arrow of time atau time flow yang terbagi menjadi tiga segmen yaitu masa lalu, masa kini, dan masa depan adalah pembagian waktu hasil definisi persepsi kita. Kita akan melihat masa lalu bergerak dengan cepat, sementara masa depan mengalir dengan lambat. Keuangan berlalu seperti angin, sementara harapan tak juga kunjung datang. 

Jika begitu, dapatkah dilatasi waktu yang disebutkan oleh Al Qur'an adalah makna waktu secara psikologi? Secara pasti belum ada manusia yang mengalami waktu psikologis melambat sampai seribu atau lima puluh ribu tahun. Tapi QS. 22:47 secara tersirat mengungkap waktu psikologis orang kafir dalam menantang datangnya azab. Lalu QS. 18:25 adalah dilatasi waktu dalam kondisi tidur. Serta QS. 36:52 adalah kondisi psikis manusia ketika bangkit dari alam barzah. 

Atau mungkin ini merupakan waktu psikologis dalam makna metafora untuk menggambarkan masa depan yang jauh sekali. Hipotesis ini terbantahkan jika kita melihat konteks ayat. Konteks ayat tidak sesuai dengan penafsiran atau hipotesis ini. Konteks QS. 22:47 adalah kerangka acuan yang bisa bermakna psikologis maupun objektif fisika, lalu QS. 32:5 dan QS. 70:4 adalah kerangka gerak dengan percepatan, sedangkan QS. 36:38-40 adalah kondisi waktu objektif yang berkaitan dengan rotasi Bumi, revolusi Bulan, dan revolusi Bumi.

Walaupun begitu, hingga kini kita belum bisa menentukan bagian otak spesifik yang berhubungan dengan waktu. Bagian otak yang diduga berhubungan dengan persepsi waktu juga merupakan bagian otak yang terhubung dengan sensor gerak, sensor spatial, dan sensor kronologis serta rentang waktu atau durasi suatu peristiwa. 

Waktu Biologis 

Sistem biologis terutama sistem pencernaan, sistem metabolisme, dan sistem fisiologis harus berjalan normal. Ketika ketiga sistem oleh karena pengaruh waktu menjadi lebih lambat prosesnya, ataupun lebih cepat daripada kondisi normal, maka proses kehidupan akan terganggu.

Sistem waktu biologis tidak boleh terganggu oleh sistem waktu fisika maupun sistem waktu psikologis. 

Jika kita bergerak mendekati kecepatan cahaya di mana waktu fisika melambat atau ketika kita sedang dalam kondisi susah dan bosan yang membuat waktu psikologis terasa bergerak lambat, waktu biologis harus tetap stabil. Ini untuk menjamin semua fungsi biologis baik sistem hormon, sistem enzim, sistem protein, maupun sistem asam amino tetap berjalan normal. Gangguan kesehatan terjadi salah satunya akibat keempat sistem turunan protein itu tidak berjalan normal. 

Waktu biologis sudah disetting sedemikian rupa untuk sinkron dengan waktu geografis Bumi. Pada titik ini kita menolak konsepsi twin paradoks yang sering dipakai untuk menjelaskan relativitas khusus. Manusia harus melakukan evolusi total dan masif terhadap sistem metabolisme dan fisiologisnya jika ingin melakukan koloni di Bulan dan di Mars, ataupun melakukan perjalanan antar galaksi dan perjalanan ruang-waktu melalui wormholes. 

Jadi dari sini kita dapat langsung melihat bahwa konsep waktu biologis tidak sinkron dengan konsep relativitas waktu dan dilatasi waktu dalam Al Qur'an. Dilatasi waktu dinyatakan oleh Al Qur'an di luar sistem fisika dan sistem biologis yang kita kenali kini. 

Slow motion 

Ketika dilatasi waktu membawa konsekuensi slow motion sehingga gerak motorik melambat, maka kehidupan tidak bisa menopang kondisi seperti ini. Sistem otot, sistem rangka, dan sistem neurologis harus dirombak total agar fit dengan kondisi slow motion ini. 

Dilatasi waktu dalam Al Qur'an tidak bisa dipahami dalam konteks slow motion ini. Ini jelas membutuhkan setting sistem fisika dan sistem biologis yang berbeda dari apa yang sains kita capai saat ini. Kita tidak bisa membayangkan hukum fisika dan jenis kehidupan yang memungkinkan satu hari setara dengan seribu dan lima puluh ribu tahun dalam konteks slow motion. Kita jadi mengerti bagaimana waktu bekerja dalam kerangka gerak seekor siput.

Rentang Waktu

Jika dilatasi waktu berarti rentang waktu atau time interval, maka pemahaman ini berasal dari konstruksi waktu astronomis bahwa waktu di Jupiter lebih lama daripada waktu di Bumi di mana satu hari di Jupiter lebih lama dari di Bumi karena keliling Jupiter lebih panjang daripada keliling Bumi serta satu tahun di Jupiter lebih lama karena jarak tempuh revolusi Jupiter mengitari Matahari lebih panjang daripada jarak revolusi Bumi. Jika waktu siang di kutub utara lebih lama daripada waktu siang di khatulistiwa, maka waktu pun terasa melambat dalam pemahaman ini. Tapi dalam kedua contoh ini, jam atom tetap berdetak dalam ritme yang sama. Sedangkan jika terjadi dilatasi waktu, maka jam atom berdetak lebih lambat pada kondisi bergerak mendekati kecepatan cahaya, dekat dengan pusat gravitasi, dan berada di dalam kondisi dekat dengan awal semesta.

Dilatasi waktu dalam konsepsi sains terbagi atas special relativity time dilation, gravitational time dilation, dan cosmological time dilation. Kali ini fokus kita diarahkan kepada gravitational time dilation dan cosmological time dilation.

Jika special relativity time dilation terkait dengan dilatasi waktu akibat gerak mendekati kecepatan cahaya di mana perlambatan waktu semakin besar ketika gerak obyek semakin mendekati kecepatan cahaya, sedangkan gravitational time dilation adalah akibat gravitasi di mana perlambatan waktu semakin besar pada objek dengan massa besar dan semakin dekat dengan pusat gravitasi atau pusat massa, dan cosmological time dilation adalah akibat perluasan semesta di mana perlambatan waktu semakin besar pada kondisi di awal semesta atau obyek yang semakin jauh dari Bumi. 

Cosmological Time Dilation

Cosmologicall time dilation diturunkan dari Metrik FLWR. Metrik FLRW adalah turunan dari Persamaan Medan Einstein pada kondisi semesta yang isotropik dan homogen. Persamaan cosmological time dilation dirumuskan sebagai : 

t0/t1 = z + 1 

t0 adalah waktu diukur oleh pengamat diam.

t1 adalah waktu diukur oleh pengamat jauh, yang mengalami emisi perluasan semesta.

z adalah pergeseran merah.

Pada z = 14 yaitu batas kemampuan teleskop luar angkasa seperti JWST sekarang atau sekitar 400-600 juta tahun setelah Big Bang, maka dilatasi waktu mencapai 1:15.

Sedangkan dengan umur semesta sekarang yaitu mencapai 13.8 milyar tahun, maka pergeseran merah dihasilkan adalah 11.100, yang berarti dilatasi waktu yang dicapai mencapai 1:11.101.

Observasi faktual terhadap galaksi yang berjarak 1 milyar tahun setelah Big Bang mencapai 1:5 saja.

Ketika kita ingin mencapai dilatasi waktu yang digambarkan al Qur'an yaitu 1:365.000 dan bahkan 1:18.250.000, maka itu di luar pengukuran fisika dari cosmological time dilation yang kita capai saat ini, atau jauh di luar semesta kita saat ini sebesar puluhan kali sampai ribuan kali jauhnya dari semesta kita sekarang ini.

Gravitational Time Dilation

Bukan cuma kecepatan dan perluasan semesta yang menyebabkan dilatasi waktu, tapi juga gravitasi. Persamaan gravitational time dilation diturunkan dari Metrik Schwarzschild yaitu turunan dari Persamaan Medan Einstein pada kondisi black hole tanpa pusaran dan tanpa muatan. Gravitational; time dilation dirumuskan sebagai:

t0/t1 = akar dari 1 - (2GM/c^2r)

t0 adalah waktu diukur oleh pengamat diam.

t1 adalah waktu diukur pada objek pada jarak tertentu dari pusat gravitasi.

G adalah konstanta gravitasi universal.

M adalah massa objek.

c adalah kecepatan cahaya.

r adalah radius.

Pada black hole TON 618 yang merupakan black hole dengan massa terbesar yang dikenal sampai saat ini, dilatasinya mencapai 0.7 atau berada dalam perbandingan 1:1.7 yaitu pada radius di sekitar event horizon TON 618 tersebut. Sebuah nilai dilatasi waktu yang sangat kecil. 

Ketika perbandingan 1:365.000 dan 1:18.250.000 ingin dicapai sebagaimana isyarat dalam al Qur'an, maka itu membutuhkan efek dilatasi waktu yang ratusan ribu dan puluhan juta kali dari efek dilatasi waktu di sekitar event horizon black hole TON 618. Nilai dilatasi waktu sebesar itu di luar jangkauan perhitungan fisika dan matematis gravitational time dilation kita saat ini.

Penutup

Sejauh ini kita sampai kepada hipotesis terakhir bahwa konsep dilatasi waktu yang disyaratkan oleh al Qur'an berada di luar kemampuan persamaan cosmological time dilation dan gravitational time dilation yang kita capai saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun