Sinkronisasi Narasi Evolusi pada Lalat, Capung, Kupu-kupu, Lebah, Nyamuk, Kelelawar, dan Burung
Pendahuluan
Dari nyamuk yang sulit, tapi masih bisa dibunuh hanya dengan tepukan tangan, karena mampu melakukan manuver terbang yang tak terduga; dan lalat yang harus dibunuh dengan sapu lidi karena mampu leluasa menghindari gerak tangan kita; juga dari capung yang harus dijebak dengan bekas permen karet karena mampu terbang zig zag sehingga sulit ditaklukkan dengan sapu lidi; lalu dari lebah yang selalu dihindari karena dengung sayapnya terdengar menakutkan; kemudian kupu-kupu yang terbang santai dan gemulai; serta kelelawar yang sering bikin kecewa karena memakan buah mangga matang yang direncanakan akan dipetik sejak kemarin sore; sampai kepada burung elang yang terbang tinggi lalu menukik mencuri anak ayam, kira sering dibuat takjub dengan binatang-binatang ini.
Ketujuh binatang itu mempunyai kesamaan yaitu adanya sayap yang membuat mereka mampu terbang. Saya ketika kecil berpikir bahwa untuk bisa terbang harus punya sayap, karena pesawat terbang pun punya sayap. Superman dan Batman juga kan punya "sayap". Bahkan malaikat pun bersayap, semakin banyak sayapnya semakin cepat mereka terbang. Tapi banyak binatang terutama dari kelas Aves yang punya sayap, tapi tidak bisa terbang. Lagipula Ironman bisa terbang tanpa sayap. Jadi, apa yang dibutuhkan untuk terbang?
Walaupun sama-sama punya sayap dan bisa terbang, binatang-binatang itu memiliki bentuk sayap, gaya terbang dan kemampuan terbang yang berbeda.
Dari segi manuver terbang, kupu-kupu tampak paling lemah kemampuannya, disusul dengan kelelawar, lebah, nyamuk, burung elang, lalat, dan juaranya adalah capung. Capung mampu terbang statis dan bahkan terbang mundur, bukan cuma tebang zig zag dan menukik tajam. Buat capung, elang mah cupu dan cemen.
Jika ada kesempatan melihat secara sekilas bentuk sayapnya, sayap nyamuk tampak paling lemah dan paling sederhana, lalu berurutan adalah lalat, lebah, capung, kupu-kupu, kelelawar, dan yang paling kuat adalah elang. Sayap nyamuk, lalat, lebah dan capung tampak memiliki rongga dan jaring, sementara kupu-kupu dan kelelawar sayapnya berbentuk membran, sedangkan burung sayapnya terdiri atas bulu-bulu yang tersusun rapi.
Sementara lalat bisa makan apa saja dari feses hingga serangga lainnya dan buah, nyamuk "makan" darah, capung makan nyamuk, burung makan capung, kupu-kupu dan lebah yang "makan" bunga, sedang kelelawar yang makan buah. Nyamuk, capung, burung, dan lalat secara langsung dan kentara membentuk rantai makanan. Binantang pada level rantai makanan tertinggi seharusnya memiliki kemampuan terbang tertinggi. Tapi kan kemampuan manuver terbang terbaik dimiliki oleh capung. Sedangkan elang yang menempati level rantai makanan tertinggi, manuver terbangnya dengan nyamuk aja masih kalah, apalagi dibandingkan dengan capung. Ahmulai tidak sinkron dan konsisten nih narasinya.
Itu pengamatan saya sewaktu kecil.
Bentuk sayap atau kompleksitas morfologi sayap tampak tidak selalu sinkron dan konsisten dengan kemampuan terbang. Capung yang sayapnya lemah jauh lebih jago melakukan manuver terbang ketimbang elang.
Kemampuan terbang dikembangkan sesuai dengan jenis makanannya, tapi kemampuan terbang yang tinggi tidak selalu berkorelasi dengan bentuk sayap yang kuat dan rumit. Kekuatan sayap juga tidak berarti tingginya efektivitas mendapatkan makanan atau mangsa. Efektivitas capung dalam menyergap mangsa mendekati 100 persen, sedangkan elang jauh di bawah itu.
Bagaimana sains dalam narasi-narasi evolusi menjawab rasa penasaran kita ini?
Pendekatan sains dibutuhkan karena jika pengamatan semata didasarkan kepada persepsi, maka persepsi setiap orang akan beragam dan berbeda-beda. Analoginya, bagi kebanyakan orang view gunung adalah keindahan yang luar biasa, tapi sebagian orang lainnya memandangnya semata gundukan tanah, batu, dan pasir. Sebagian yang mungkin memandang itu sebagai kumpulan sejumlah unsur dalam tabel periodik, atau partikel elementer, ataupun medan kuantum.
Korelasi Timeline Evolusi - Jumlah Kromosom
Mari kita bandingkan timeline evolusi dan jumlah kromosom dari lalat, capung, kupu-kupu, nyamuk, lebah kelelawar, dan burung.
 1. Lalat berasal sekitar 480 juta tahun yang lalu. Lalat buah (Drosophila melanogaster) sebagai contoh memiliki 4 pasang kromosom.
 2. Capung memiliki nenek moyang yang berasal lebih dari 300 juta tahun yang lalu. Capung Hemianax sebagai salah satu contoh ephippiger mempunyai jumlah diploid 14 kromosom.
 3. Kupu-kupu telah berevolusi lebih dari 200 hingga 250 juta tahun yang lalu menurut sejumlah sumber, tapi karena kupu-kupu sangat tergantung pada bunga, maka sangat mungkin terjadi co-evolution, evolusi bersama antara tumbuhan bunga dengan kupu-kupu sekitar 100 juta tahun lalu. Beberapa spesies dilaporkan memiliki jumlah diploid 360 kromosom.
 4. Nyamuk merupakan kelompok hewan kuno, berusia sekitar 217 juta tahun.  Nyamuk biasanya memiliki 6 kromosom.
 5. Burung telah berevolusi 150 juta tahun lalu dari dinosaurus karnivora kecil di Zaman Jurassic Akhir.  Burung modern dianggap sebagai ranting pada cabang pohon kehidupan dinosaurus.  Jumlah kromosom pada burung bisa sangat bervariasi, mulai dari 40 hingga 132 tergantung spesiesnya.
 6. Kelelawar di mana Fosil kelelawar paling awal yang diketahui berasal dari zaman Eosen pertengahan, antara 40-50 juta tahun yang lalu. Sumber lain mengatakan bahwa riwayat evolusi kelelawar bisa ditelusuri hingga 160 juta tahun lalu. Kelelawar bertelinga tikus (Myotis myotis) dilaporkan memiliki ukuran kromosom mulai dari 30 hingga 240 Mb.
7. Lebah sejarah evolusinya dimulai sejak 120 juta tahun lalu dengan jumlah kromosom 16.
Urutannya berdasarkan timeline evolusi adalah lalat, capung, nyamuk, lebah, kupu-kupu, burung dan kelelawar; atau urutannya adalah lalat, capung, nyamuk, kelelawar, burung, lebah, dan terakhir kupu-kupu menurut sumber yang lain. Kita melihat bahwa tidak acuan baku dan konsisten dalam narasi evolusi berdasarkan timeline evolusi. Sedangkan urutan menurut jumlah kromosom secara umum adalah lalat, nyamuk, capung, lebah, kelelawar, burung, dan kupu-kupu.
Dari perbandingan ini, kita dapat melihat bahwa tidak ada korelasi langsung antara umur suatu spesies (dalam garis waktu evolusinya) dan jumlah kromosomnya. Â Jumlah kromosom suatu spesies tidak serta merta bertambah atau berkurang seiring bertambahnya usia spesies tersebut. Narasi evolusi berdasarkan timeline evolusi tidak sinkron dengan narasi evolusi berdasarkan jumlah kromosom. Padahal seharusnya semakin panjang timeline, maka semakin kompleks organisme tersebut dan semakin panjang pula kromosomnya.
Korelasi Jumlah Kromosom - Panjang DNA.
Secara apriori kita dapat menduga bahwa semakin banyak jumlah kromosom suatu organisme, maka semaksimal pula jumlah panjang Dna-nya yang tergambar melalui jumlah pasangan basa nitrogen.
Kita lihat jumlah kromosom dan panjang DNA sejumlah binantang tersebut.
1. Panjang DNA dari lalat adalah 175 juta pasang basa nitrogen pada 4 kromosom.
2. Panjang DNA capung 1.7 milyar pada 14 kromosom.
3. Ada 273 juta pasang basa nitrogen pada 360 kromosom kupu-kupu.
4. 260 juta panjang DNA lebah tertumpuk pada 16 kromosom lebah.
5. Nyamuk memiliki 6 kromosom dengan 278 juta panjang DNA.
6. Panjang DNA 2 milyar pada sekitar 44 kromosom kelelawar
7. Burung menjejalkan 1.2 milyar pasang basa nitrogen pada 40 kromosomnya.
Urutannya berdasarkan jumlah basa nitrogen dari yang terendah adalah lalat, lebah, kupu-kupu, nyamuk, burung, capung, dan kelelawar. Bandingkan dengan urutan jumlah DNA yang disebut sebelumnya yaitu lalat, nyamuk, capung, lebah, kelelawar, burung, dan kupu-kupu. Jadi banyaknya jumlah kromosom tidak sinkron dan konsisten dengan banyaknya pasangan basa nitrogen.
Dari sini kita dapat menghitung kepadatan jumlah pasangan basa nitrogen pada setiap jumlah kromosom. Urutannya dari yang kepadatan terendah adalah kupu-kupu dengan 750 ribu, lebah 16.25 juta, burung 30 juta, lalat 43.75 juta, kelelawar 45 juta, nyamuk 46.33 juta dan terakhir capung dengan 121 juta pasang basa nitrogen per setiap kromosom.
Membandingkan data jumlah kromosom, dengan jumlah panjang DNA, dan kepadatannya saja sudah tidak sinkron, apalagi jika menghubungkan semua variabel itu dengan timeline evolusinya, ini tambah semakin tidak sinkron dan konsisten.
Korelasi Timeline Evolusi - Jumlah Species
Lalat, capung, kupu-kupu, lebah, nyamuk, kelelawar, dan burung berasal dari kelompok taksonomi yang berbeda. Lalat, capung, lebah, nyamuk, dan kupu-kupu adalah serangga; kelelawar adalah mamalia; sedangkan burung adalah aves. Secara umum mamalia muncul belakangan setelah burung dan serangga. Morphology mamalia lebih kompleks daripada burung, dan morphology burung lebih kompleks daripada serangga.
Kita bisa menduga bahwa semakin tua suatu organisme dalam rentang timeline evolusi, maka semakin kompleks organisme tersebut. Ini didasarkan kepada asumsi bahwa organisme berkembang dari organisme sederhana bersel tunggal seperti bakteri kepada organisme bersel banyak dan sangat kompleks seperti manusia.
Evolusi yang digerakkan oleh adaptasi dan seleksi alam membawa kita kepada asumsi bahwa timeline evolusi berkolerasi dengan kemampuan adaptasi. Kemudian semakin tinggi kemampuan adaptasi, maka semakin besar pula kemampuannya untuk mengembangkan jumlah spesies. Ini karena diversifikasi dan kelimpahan spesies digerakkan oleh seleksi alam.
Mari kita menguji asumsi dan hipotesis ini.
1. Timeline evolusi lalat 480 juta tahun, dengan jumlah spesies 120 ribu.
2. Dengan jumlah spesies 7 ribu, capung memiliki rentang timeline evolusi 380 juta tahun.
3. Kupu-kupu tersebar menjadi 35 ribu spesies setelah melalui timeline evolusi 100 juta tahun.
4. Lebah melalui timeline evolusi 120 juta tahun untuk mengembangkan 20 ribu spesies.
5. Dengan timeline evolusi 226 juta tahun telah berkembang menjadi 3500 spesies nyamuk.
6. Kelelawar berjumlah 1200 spesies melewati 160 juta tahun.
7. Dengan jumlah spesies 1200 burung berhasil beradaptasi selama 150 juta tahun timeline evolusi.
Urutan lama timeline evolusi dari yang terlama adalah lalat, capung, nyamuk, kelelawar, burung, lebah, dan kupu-kupu. Sedangkan urutan jumlah spesies dari yang paling sedikit adalah burung dan kelelawar, nyamuk, capung, lebah, kupu-kupu, dan lalat.
Jelas terlihat hubungan antara timeline evolusi dan jumlah spesies tidak sinkron dan konsisten. Lalat yang paling lama timeline evolusinya memang paling banyak menghasilkan spesies, bertolakbelakang dengan kupu-kupu yang paling pendek rentang timeline evolusi berada di urutan ke enam daftar binantang itu. Tapi urutan dari capung ke lebah dan burung tidak konsisten.
Korelasi Timeline Evolusi - Rantai Makanan
Sebagian spesies lalat, juga lebah, kupu-kupu bahkan nyamuk sangat tergantung kepada eksistensi tumbuhan bunga dan buah sebagai sumber makanan. Lalu nyamuk dimakan lalat daun, kemudian nyamuk dan lalat dimakan capung dan akhirnya burung makan capung, tapi nyamuk tergantung kepada burung untuk menyediakan darah. Dari aspek rantai makanan, tumbuhan bunga harus lebih dulu ada sebelum nyamuk, lalat, kupu-kupu, dan lebah. Beberapa spesies nyamuk harus lebih dulu ada sebelum lalat, pada saat yang sama beberapa spesies lalat harus lebih dulu sebelum nyamuk, karena nyamuk dan lalat bisa saling mangsa tergantung kepada spesiesnya. Lalat daun memangsa nyamuk, sedangkan nyamuk predator makan lalat. Capung menyusul di urutan selanjutnya dalam rantai makanan, diikuti oleh burung. Jadi burung karena berada di level teratas dalam rantai makanan merupakan spesies yang terakhir muncul di dalam ekosistem. Tapi nanti dulu. Nyamuk sangat tergantung kepada darah, salah satunya darah burung, untuk membantu reproduksinya. Jadi, burung harus eksis lebih dulu daripada nyamuk dong jika begitu. Sejumlah spesies lalat dalam rantai makanan berperan sebagai dekomposer karena memakan feses dan bangkai. Evolusi dalam narasi rantai makanan adalah satu blok utuh, satu siklus utuh.
Sementara berdasarkan timeline evolusi yang lebih awal eksis adalah lalat 480 juta tahun, capung 380 juta, nyamuk 226 juta, kelelawar 160 juta, burung 150 juta, lebah 120 juta dan kupu-kupu 100 juta tahun lalu.
Narasi evolusi berdasarkan timeline evolusi tidak sinkron dan konsisten dengan narasi evolusi berdasarkan rantai makanan.
Korelasi Timeline Evolusi - Kompleksitas Biologis
Kompleksitas biologis walaupun sulit diukur tapi bisa kita gunakan parameter berikut ini yaitu: jumlah sel, morfologi, fisiologi, metabolisme, dan tingkat kecerdasan serta tingkat kesadaran. Lebih lanjut aspek fisiologis memiliki sejumlah parameter di antaranya sistem pencernaan, sistem respirasi, sistem kardiovaskular, sistem sensorik, sistem nerves, sistem imun, dan sistem reproduksi.
Hipotesis yang bisa kita ajukan adalah semakin panjang rentang timeline evolusi suatu organisme, maka semakin tinggi tingkat kompleksitasnya.
Menguji parameter kompleksitas biologis dalam relasinya dengan timeline evolusi tidak akan kita bahas lebih lanjut di sini.
Suatu organisme bisa mengalami evolusi divergen pada satu aspek kompleksitas, sedangkan pada aspek kompleksitas yang lain mengalami evolusi konvergen. Sayap pada ketujuh binatang yang dibahas di sini bisa merupakan evolusi konvergen, sementara sistem reproduksinya adalah hasil evaluasi divergen.
Kenapa Tidak Sinkron
Mekanisme seleksi alam yang dipicu tekanan lingkungan telah berhasil mengembangkan biodiversitas, tapi sayangnya ini tidak bekerja secara sinkron dan konsisten pada beberapa narasi evolusi tersebut di atas. Seleksi alam yang bekerja pada level morfologi berkerja dengan cara berbeda dengan seleksi alam yang bekerja pada level filogenetik. Seleksi alam sepertinya diaduk dan dicampur begitu saja secara acak di antara semua "lapisan" yang ada yaitu lapisan waktu, lapisan morfologi, lapisan filogenetik, lapisan fisiologi, lapisan metabolisme, lapisan kecerdasan, lapisan kesadaran, dan lapisan ekosistem. Pertanyaannya, kenapa begitu?
Mari kita telusuri secara rinci mengapa narasi evolusi berdasarkan aspek-aspek seperti morfologi, filogenetika, jumlah kromosom, perkembangan organ, dan timeline tidak sinkron dengan sempurna.
1. Adaptasi dan Morfologi.
 Organisme dapat mengalami perubahan morfologi yang didorong oleh tekanan lingkungan tanpa perubahan signifikan dalam hubungan filogenetik mereka. Misalnya, pertimbangkan evolusi sayap pada kelelawar dan burung, di mana adaptasi morfologi untuk terbang terjadi secara independen.
2. Dinamika Genetik dan Filogenetika.
 Hubungan filogenetik ditentukan oleh data genetik, tetapi perubahan genetik tidak selalu berwujud sebagai perubahan morfologi segera. Sebuah contoh klasik adalah evolusi konvergen marsupial di Australia (misalnya, kanguru) dan mamalia plasenta di tempat lain, berbagi ceruk ekologi yang serupa tetapi memiliki sejarah filogenetik yang berbeda.
3. Evolusi Jumlah Kromosom.
 Perubahan dalam jumlah kromosom, seperti peristiwa poliploidi, mungkin terjadi tanpa perubahan morfologi yang substansial. Misalnya, gandum mengalami perubahan signifikan dalam jumlah kromosom melalui hibridisasi dan poliploidi, yang mengarah pada pengembangan gandum heksaploid modern.
4. Perkembangan Organ dan Regulasi Genetik.
 Perkembangan organ sangat terkait dengan regulasi genetik. Namun, variasi dalam perkembangan organ mungkin tidak mengikuti pola filogenetik dengan ketat. Evolusi perkembangan anggota tubuh pada vertebrata yang berbeda yaitu keragaman dalam struktur anggota tubuh tidak selalu sejalan dengan hubungan filogenetik mereka.
5. Timeline dan Keseimbangan Ekosistem.
Timeline evolusi mungkin tidak selaras dengan perubahan morfologi karena ada mekanisme keseimbangan ekologi yang menunjukkan bahwa evolusi melibatkan periode stabilitas relatif yang dihentikan oleh perubahan cepat. Ledakan Kambrium dan 5 episode kepunahan massal adalah contoh utama, di mana berbagai rencana tubuh kompleks muncul secara relatif tiba-tiba dalam catatan geologi.
Secara keseluruhan, diskoneksi antara narasi evolusi ini muncul dari interaksi kompleks faktor genetik, lingkungan, dan perkembangan. Evolusi adalah proses yang melibatkan berbagai aspek, dan aspek yang berbeda berkembang dengan kecepatan yang berbeda, serta merespons tekanan selektif yang beragam, yang mengarah pada narasi yang tidak sinkron dengan sempurna di berbagai dimensi ini.
Implikasi
Jika narasi-narasi evolusi yang tersebut di sini terbukti tidak sinkron dan konsisten, maka ada sejumlah implikasi yang bisa disebutkan.
1. Evolusi tidak ada sama sekali. Organisme mungkin saja dirangkai dan dirakit dari komponen organik, anorganik, maupun struktur biologi dari organisme yang sudah ada sebelumnya, tapi tidak berarti evolusi itu ada.
2. Evolusi adalah proses yang kompleks sehingga tidak dimungkinkan ada satu narasi tunggal yang dapat merangkum dan menyatukan semua narasi evolusi yang ada
3. Adanya kebutuhan mendesak untuk membentuk satu kerangka kerja evolusi yang baru.
4. Adanya kebutuhan untuk membangun satu teori evolusi tunggal yang menyatukan semua narasi evolusi yang ada.
5. Dimungkinkan adanya grand design dan blueprint atas semua mekanisme biologis yang ada dan mengatur semuanya.
Pertanyaan Lanjutan.
Fakta-fakta di atas membuat kita bertanya-tanya:
1. Jika dua atau lebih organisme mempunyai kemiripan genom yang sangat dekat, tetapi ekspresi gennya berbeda. Bagaimana mekanisme ekspresi gen terjadinya? Faktor apa saja yang mempengaruhi ekspresi gen?.
2. Jika informasi genom tidak plek-ketiplek 100 persen terhubung dengan morfologi, maka apa yang membentuk morfologi dan apa yang membentuk genom? Bagaimana mekanisme berbagi informasi di antara mereka?
3. Seleksi alam apakah hanya terbatas kepada fungsionalitas organ atau morfologi saja? Jika begitu, bagaimana itu bisa diwariskan? Butuh besaran populasi seperti apa sehingga morfologi bisa terhubung menjadi hereditas?
Bacaan Lanjutan:
https://phys.org/news/2024-01-fossil-evolutionary-mystery.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H