Mohon tunggu...
Asep Saepul Adha
Asep Saepul Adha Mohon Tunggu... Guru - Guru SD

Senang membaca dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hujan Didamba, Syukur Dicoba

25 September 2024   20:41 Diperbarui: 26 September 2024   06:13 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber gambar adalah dokumen pribadi
Sumber gambar adalah dokumen pribadi
Air sungai di Nusamakmur memang tampak jernih, sehingga apa pun yang ada di dasar sungai bisa terlihat dengan jelas. Namun, di sepanjang pinggir sungai, tanah yang pernah terendam air berubah warna menjadi cokelat, dan jika disentuh, terasa kasap dan kasar. Penduduk Nusamakmur menyebut lapisan ini sebagai "karat". Itulah yang menjadi penyebab tanaman yang disiram dengan air sungai lama kelamaan mati, bukannya tumbuh subur. Meskipun airnya terlihat bersih, kandungan di dalamnya ternyata merusak dan tidak mendukung kehidupan tanaman.

Pada musim kemarau yang panjang tahun 1990, pernah terjadi musibah di Nusamakmur ketika banyak warga yang terkena muntaber akibat mengonsumsi air sungai. Jenis airnya sama dengan yang saya ceritakan sebelumnya (berwarna cokelat kehitaman, masam, dan kelat) meskipun sudah dijernihkan dengan kapur. Kejadian itu membuat desa kami gempar.

Andai saja saat itu sudah ada internet, saya yakin berita tentang kejadian ini akan tersebar luas dan banyak wartawan datang meliput. Namun, kenyataan pahitnya, kami hanya bisa merasakan kesedihan di tengah keterbatasan, mengandalkan apa yang ada demi bertahan hidup di Nusamakmur.

Sumber gambar adalah dokumen pribadi
Sumber gambar adalah dokumen pribadi
Melihat kondisi air yang tak layak konsumsi seperti yang telah diuraikan sebelumnya, warga Nusamakmur akhirnya berinisiatif untuk menampung air hujan sebagai solusi. Berbagai macam sarana dan wadah pun mereka siapkan, mulai dari membuat bak penampungan dari batu bata, menggunakan bak plastik, hingga membeli torn air. Setiap keluarga di Nusamakmur memiliki penampungan air hujan sendiri, karena air hujan menjadi sumber utama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tak heran jika bagi kami, air hujan di Nusamakmur bagaikan emas yang sangat berharga.

Siklus Hujan Terganggu

Dengan ritmenya yang natural, hujan adalah guru yang sabar. Ia mengajarkan kita untuk menerima takdir kita dan menunggu dengan sabar saat langit enggan menurunkan hujan. Setiap hal memiliki waktu yang tepat. Kehidupan memiliki ritme tertentu, seperti siklus hujan yang datang dan pergi. Sebenarnya, menunggu hujan adalah latihan kesabaran dalam menghadapi tantangan hidup.

Belajar dari hujan, orang Nusamakmur adalah orang sabar, menunggu hujan dan menunggu janji orang yang akan membuat penampungan air hujan (embung). Menunggu hujan turun sama tidak pastinya dengan menunggu realisasi jajni yang mau membuat embung.

Allah telah menjanjikan akan menurunkan berkah berupa hujan bagi mereka yang beriman dan bertakwa kepada-Nya. Janji ini adalah pengingat bahwa keberkahan dari langit hanya akan turun jika kita hidup dalam keimanan dan ketaatan kepada Allah. Sebaliknya, jika kita tidak beriman dan takwa, maka jangan berharap berkah itu akan turun. Sebagaimana firman Allah :

"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-A'raf Ayat 96)

Sementara itu, janji lain yang sering kita dengar, seperti janji untuk membangun embung di desa, biasanya muncul saat masa kampanye politik, seperti ketika seseorang ingin mencalonkan diri sebagai anggota DPR. Namun, janji semacam ini seringkali hanya angin lalu, apalagi jika yang bersangkutan tidak terpilih. Harapan untuk melihat janji itu ditepati menjadi semakin tipis, meninggalkan warga dengan kekecewaan yang mendalam.

Belakangan ini, hujan semakin jarang turun, dan siklusnya pun sudah berubah. Dahulu, orang-orang tua di desa kami pandai membaca musim. Jika bulan berakhiran "er" seperti September, Oktober, November, dan Desember, itu tandanya musim hujan telah tiba, mereka menyebutnya "ngember" yang berarti banyak air. Pada bulan Januari hingga Februari, intensitas hujan mulai berkurang, dan ketika masuk bulan Maret, hujan berhenti sama sekali. Menurut cerita orang tua dulu, Maret berasal dari kata "Mak ret," yang berarti berhenti seketika.

Dulu, pola ini bisa diprediksi dengan akurat, tetapi sekarang semuanya sudah berubah. Kebiasaan dan hitungan yang dulu menjadi pedoman, kini tak lagi berlaku karena perubahan siklus hujan yang tak menentu. Kami hanya bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang semakin sulit dipahami ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun