Hujan Didamba, Syukur Dicoba
Hujan adalah pelukan lembut dari langit, membungkus bumi dengan kasih sayang. Ia meneteskan butiran-butiran cinta, sama seperti seorang ibu yang selalu memberikan kasih sayang tanpa syarat kepada anaknya. Hujan membersihkan dunia dari debu dan kotoran, begitu pula kasih ibu yang membersihkan hati anak-anaknya dari segala kekhawatiran dan kegelisahan
Kitab suci Agama Islam, Al-Quran, dengan indah menggambarkan hujan sebagai anugerah yang tak terhingga dari Sang Pencipta. Dalam ayat 9 surat Qaaf, Allah menyatakan bahwa hujan adalah air yang penuh dengan keberkahan. Bayangkan setiap tetes air yang jatuh dari langit membawa berkah yang tak terhitung jumlahnya. Allah berfirman :
"Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu pepohonan yang rindang dan biji-bijian yang dapat dipanen" (QS. Qof :9)
Hujan adalah keajaiban, bukan hanya fenomena alam biasa. Dengan hujan, tanah yang kering menjadi subur, tanaman tumbuh, dan lebih banyak kehidupan muncul. Pohon-pohon tinggi, berbuah lebat, dan memberikan makanan kepada semua hewan. Setelah ditanam dalam tanah, biji-biji itu tumbuh menjadi tanaman yang bermanfaat.
Air Hujan Laksana Emas
Selama empat bulan musim kemarau, saya rutin menyiram tanaman dengan air PAM setiap pagi dan sore. Namun, siraman ini hanya cukup untuk mencegah tanaman mati. Bahkan sulit untuk sekadar bertunas, tanaman tersebut sepertinya terhenti dalam proses pertumbuhannya.
Dua minggu yang lalu hujan turun, meskipun hanya sebentar. Kemudian terjadi keajaiban: tanaman tampak segar kembali. Mereka mulai tumbuh tunas seminggu kemudian dibarengi dengan kuncup bunga yang menghasilkan bunga yang indah. "Dan Kami menjadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air" adalah firman-Nya yang sangat mendalam yang saya pelajari dari peristiwa ini. Ini adalah pengingat yang jelas tentang bagaimana air dapat menyuburkan kehidupan dan betapa pentingnya rahmat Allah dalam setiap bagian ciptaan-Nya.
Menurut Islam, hujan adalah bukti rahmat Allah yang tak terbatas. Kita diajarkan dalam Al-Quran untuk melihat hujan sebagai tanda kebesaran Allah dan sebagai cara untuk bersyukur kepada-Nya. Dengan hujan, kita diingatkan bahwa kita bergantung pada Allah sebagai sumber rezeki dan kehidupan.
Oleh karena itu, wajar jika Nabi Muhammad mengajarkan kita untuk membaca doa, "Allohumma Syoyyiban nafi'an" ketika hujan turun, karena doa ini merupakan harapan agar hujan membawa berkah dan manfaat bagi kehidupan kita. Dengan membaca doa ini, kita mengingat kembali betapa pentingnya air sebagai sumber kehidupan dan bagaimana Allah memberikan rahmat kepadanya.
Di desa Nusamakmur Air Kumbang, air hujan ibarat emas yang tak ternilai harganya. Tanpa air hujan, kami kesulitan untuk mencuci pakaian, apalagi memenuhi kebutuhan air minum sehari-hari. Kehidupan tanaman pun bergantung sepenuhnya pada hujan; tanpa air dari langit, mustahil tumbuhan bisa tumbuh dengan subur dan normal. Hujan adalah berkah yang tak tergantikan bagi kehidupan kami di desa ini.
Air tanah di daerah kami memiliki karakteristik yang kurang bersahabat. Rasa masam atau kelat menyelimuti setiap tegukan, sementara warnanya cokelat kehitam-hitaman, mencerminkan ketidaklayakannya untuk digunakan. Jika dipakai mencuci pakaian, khususnya baju putih, warnanya akan berubah menjadi cokelat kusam, dan teksturnya menjadi kaku, dengan aroma yang menyerupai kayu busuk. Lebih parah lagi, jika air ini digunakan untuk menyiram tanaman, lambat laun tanaman akan layu dan akhirnya mati.
Jangan pernah mencoba menelan air ini; bahkan berkumur dengan air tersebut ketika wudu saja sudah membuat gigi kita berubah warna, dengan sela-selanya menjadi hitam. Oleh karena itu, air hujan menjadi anugerah yang sangat didamba oleh kami, penduduk Nusamakmur, hingga saat ini. Turunnya hujan adalah berkah yang tak tergantikan dalam kehidupan sehari-hari kami.
Air sungai di Nusamakmur memang tampak jernih, sehingga apa pun yang ada di dasar sungai bisa terlihat dengan jelas. Namun, di sepanjang pinggir sungai, tanah yang pernah terendam air berubah warna menjadi cokelat, dan jika disentuh, terasa kasap dan kasar. Penduduk Nusamakmur menyebut lapisan ini sebagai "karat". Itulah yang menjadi penyebab tanaman yang disiram dengan air sungai lama kelamaan mati, bukannya tumbuh subur. Meskipun airnya terlihat bersih, kandungan di dalamnya ternyata merusak dan tidak mendukung kehidupan tanaman.
Pada musim kemarau yang panjang tahun 1990, pernah terjadi musibah di Nusamakmur ketika banyak warga yang terkena muntaber akibat mengonsumsi air sungai. Jenis airnya sama dengan yang saya ceritakan sebelumnya (berwarna cokelat kehitaman, masam, dan kelat) meskipun sudah dijernihkan dengan kapur. Kejadian itu membuat desa kami gempar.
Andai saja saat itu sudah ada internet, saya yakin berita tentang kejadian ini akan tersebar luas dan banyak wartawan datang meliput. Namun, kenyataan pahitnya, kami hanya bisa merasakan kesedihan di tengah keterbatasan, mengandalkan apa yang ada demi bertahan hidup di Nusamakmur.
Melihat kondisi air yang tak layak konsumsi seperti yang telah diuraikan sebelumnya, warga Nusamakmur akhirnya berinisiatif untuk menampung air hujan sebagai solusi. Berbagai macam sarana dan wadah pun mereka siapkan, mulai dari membuat bak penampungan dari batu bata, menggunakan bak plastik, hingga membeli torn air. Setiap keluarga di Nusamakmur memiliki penampungan air hujan sendiri, karena air hujan menjadi sumber utama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tak heran jika bagi kami, air hujan di Nusamakmur bagaikan emas yang sangat berharga.
Siklus Hujan Terganggu
Dengan ritmenya yang natural, hujan adalah guru yang sabar. Ia mengajarkan kita untuk menerima takdir kita dan menunggu dengan sabar saat langit enggan menurunkan hujan. Setiap hal memiliki waktu yang tepat. Kehidupan memiliki ritme tertentu, seperti siklus hujan yang datang dan pergi. Sebenarnya, menunggu hujan adalah latihan kesabaran dalam menghadapi tantangan hidup.
Belajar dari hujan, orang Nusamakmur adalah orang sabar, menunggu hujan dan menunggu janji orang yang akan membuat penampungan air hujan (embung). Menunggu hujan turun sama tidak pastinya dengan menunggu realisasi jajni yang mau membuat embung.
Allah telah menjanjikan akan menurunkan berkah berupa hujan bagi mereka yang beriman dan bertakwa kepada-Nya. Janji ini adalah pengingat bahwa keberkahan dari langit hanya akan turun jika kita hidup dalam keimanan dan ketaatan kepada Allah. Sebaliknya, jika kita tidak beriman dan takwa, maka jangan berharap berkah itu akan turun. Sebagaimana firman Allah :
"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-A'raf Ayat 96)
Sementara itu, janji lain yang sering kita dengar, seperti janji untuk membangun embung di desa, biasanya muncul saat masa kampanye politik, seperti ketika seseorang ingin mencalonkan diri sebagai anggota DPR. Namun, janji semacam ini seringkali hanya angin lalu, apalagi jika yang bersangkutan tidak terpilih. Harapan untuk melihat janji itu ditepati menjadi semakin tipis, meninggalkan warga dengan kekecewaan yang mendalam.
Belakangan ini, hujan semakin jarang turun, dan siklusnya pun sudah berubah. Dahulu, orang-orang tua di desa kami pandai membaca musim. Jika bulan berakhiran "er" seperti September, Oktober, November, dan Desember, itu tandanya musim hujan telah tiba, mereka menyebutnya "ngember" yang berarti banyak air. Pada bulan Januari hingga Februari, intensitas hujan mulai berkurang, dan ketika masuk bulan Maret, hujan berhenti sama sekali. Menurut cerita orang tua dulu, Maret berasal dari kata "Mak ret," yang berarti berhenti seketika.
Dulu, pola ini bisa diprediksi dengan akurat, tetapi sekarang semuanya sudah berubah. Kebiasaan dan hitungan yang dulu menjadi pedoman, kini tak lagi berlaku karena perubahan siklus hujan yang tak menentu. Kami hanya bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang semakin sulit dipahami ini.
Dari berbagai literasi, ternyata bahwa kerusakan lingkungan telah mengganggu siklus hujan seiring dengan waktu. Deforestasi, polusi, dan perubahan iklim merusak keseimbangan ekosistem dan mengancam ketersediaan air bersih. Ketiga komponen ini saling terkait dan memiliki dampak yang signifikan terhadap ketersediaan air bersih dan keseimbangan ekosistem.
Penggundulan hutan, juga dikenal sebagai deforestasi, berarti mencabut akar kehidupan dari Bumi. Hutan berfungsi sebagai paru-paru dunia dengan menyerap karbon dioksida dan menghasilkan oksigen. Selain itu, hutan menahan air hujan, menghentikan erosi tanah, dan memberikan habitat bagi berbagai spesies flora dan fauna. Siklus hidrologi terganggu ketika hutan ditebangi, yang menyebabkan kekeringan di beberapa tempat dan banjir di tempat lain.
Jadi dengan dalih apapun, penggundulan hutan adalah tindakan tidak terpuji dan merugikan masyarakat sekitar hutan.
Polusi, baik udara, air, maupun tanah, mencemari sumber air kita. Limbah industri, pertanian, dan domestik mengandung berbagai zat kimia berbahaya yang mencemari sungai, danau, dan laut. Akibatnya, kualitas air menurun drastis, menjadi tidak layak untuk dikonsumsi dan mengancam kehidupan makhluk air.
Pola cuaca ekstrem disebabkan oleh perubahan iklim, yang sebagian besar disebabkan oleh emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Peningkatan suhu di seluruh dunia menyebabkan penguapan air meningkat, tetapi distribusi curah hujan menjadi tidak rata. Beberapa wilayah mengalami kekeringan kronis, sementara wilayah lain dilanda banjir.
Ketiga hal tersebut adalah faktor utama yang merusak lingkungan, dan kerusakan lingkungan inilah yang pada akhirnya memengaruhi siklus hujan. Siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan ini? Tentu saja, manusia itu sendiri yang menjadi pelakunya.Â
Dengan berbagai alasan (mulai dari pembangunan, eksploitasi sumber daya alam, hingga aktivitas industri) manusia sering kali mengabaikan dampak jangka panjang dari tindakannya terhadap alam. Pada akhirnya, lingkungan yang rusak menciptakan ketidakseimbangan alam, termasuk terganggunya turunnya hujan yang sangat dibutuhkan bagi kelangsungan hidup kita semua.
Seluruh makhluk hidup di Bumi merasakan dampak kerusakan lingkungan ini, bukan hanya mereka yang melakukannya. Dalam Surat Ar-Rum ayat 41, Allah berfirman,
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ar-Rum 30: 41).
Oleh karena itu, adalah kewajiban kita bersama untuk menjaga kelestarian lingkungan. Kita harus berusaha untuk mengurangi dampak negatif tindakan manusia terhadap lingkungan, seperti mengurangi penggunaan plastik, menghemat energi, dan menanam pohon. Dengan menjaga kelestarian lingkungan, kita tidak hanya melindungi diri kita sendiri dan generasi mendatang, tetapi juga mengikuti perintah Allah SWT dan sunnah Nabi Muhammad.
Dalam Shahih Muslim-2747, Rasulullah Saw. bersabda,
"Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau. Dan sesungguhnya Allah telah menguasakannya kepadamu sekalian. Kemudian Allah menunggu (memperhatikan) apa yang kamu kerjakan (di dunia itu). Karena itu takutilah dunia dan takutilah wanita, karena sesungguhnya sumber bencana Bani Isarail adalah wanita." (HR. Muslim)
Hujan, anugerah ilahi yang tak ternilai, adalah sumber kehidupan bagi seluruh makhluk di muka bumi. Tetes demi tetes airnya menyuburkan tanah, menghidupi tanaman, dan menjadi sumber air minum bagi manusia dan hewan. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an, "Dan Kami turunkan dari langit air yang penuh keberkahan lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam." (QS Qaaf: 9).
Melalui ayat ini, Allah SWT mengajak kita untuk bersyukur terus-menerus atas nikmat hujan yang sangat besar. Hujan menunjukkan kasih sayang Allah kepada semua orang. Jika kita merenungkan ayat ini, kita semakin menyadari betapa kecil dan tidak berdayanya kita di hadapan kebesaran Allah. Marilah kita selalu memanfaatkan air hujan dengan sebaik-baiknya dan selalu menjaga kelestarian alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H