Pada tahun 1870 Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan Besluit Tegalwaru Landen di wilayah Karesidenan Karawang. Isinya diantaranya adalah penguasaan lahan tak bertuan oleh Pemerintah Kolonial.
Tanah-tanah tak bertuan oleh Belanda disewakan kepada para tuan tanah China. Lokasinya membentang dari Tegalwaru, Telukjambe hingga Ciampel. Salah satu produknya adalah kopi.
Salah satu lokasi Tegalwaru Landen adalah Kuta Tandingan. Daerah Kuta Tandingan yang terdapat banyak pohon kopi liar adalah di Kuta Gombong. Sekitar keramat Ki Hideung peninggalan Pajajaran.
Setelah Indonesia merdeka, tanah Tegalwaru Landen menjadi lahan tak bertuan.
Sebagian lahan ada yang dikuasai oleh negara, ada yang jadi pabrik atau kawasan industri dan sebagian lainnya jadi perkebunan. Tanah yang belum jelas statusnya oleh para petani lokal digarap jadi perkebunan. Diantaranya ada yang dimanfaatkan untuk kopi.
Pada periode 1990-2000, petani Karawang menanam kopi dengan cara sederhana. Mereka memunguti biji kopi yang jatuh dari pohonnya. Kemudian menanamnya lalu ditinggalkan begitu saja.
Perkebunan Kopi Sanggabuana dan Kuta Tandingan
Kopi Karawang belum jadi komoditi yang dikelola serius. Oleh sebab itu produknya terbatas. Pengelolaannya juga masih tradisional.
Namun pada awal tahun 2000 penanaman kopi mulai meningkat. Kebun kopi tidak hanya berkembang di pegunungan Sanggabuana, tapi juga di perbukitan Kuta Tandingan.
Perkebunan kopi Sanggabuana menghasilkan jenis Robusta sedangkan perkebunan kopi Kuta Tandingan didominasi jenis Liberika.
Diperkirakan biji Kopi Liberika dibawa oleh para petani dari Lampung pada pertengahan 2015.
Produksi Kopi Karawang sekarang ini berkisar di angka 1 sampai 5 ton perhektar. Sebagian besar kopi dijual ke Lampung lewat tengkulak dari Cianjur dan Sukabumi.