Mohon tunggu...
aryavamsa frengky
aryavamsa frengky Mohon Tunggu... Lainnya - A Passionate and Dedicated Educator - Dhammaduta Nusantara

Aryavamsa Frengky adalah seorang pembelajar, pendidik, juga pelatih mental untuk diri sendiri dan banyak orang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Strategi Hadapi Perundungan

1 Oktober 2023   10:46 Diperbarui: 3 Oktober 2023   00:04 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perundungan (Sumber: Pexels)

Perundungan adalah kisah klasik yang terus menjadi hot news dunia pendidikan. Kurikulum apapun dari menteri siapapun peristiwa perundungan tetap saja terjadi di lingkungan sekolah. 

Di era internet ini, perundungan malahan menjadi sebuah tontonan dan memberikan dampak viral sehingga banyak penikmat perundungan mendapat keuntungan dengan menyebarluaskan video perundungan yang terjadi.

Apakah perundungan merupakan kegagalan sebuah sekolah seperti yang dikatakan beberapa media, dan seakan-akan sekolah disebutkan bukan lagi sebagai tempat yang aman untuk para peserta didik dalam mengenyam pendidikan?

Penulis yang besar di dunia pendidikan yang juga mendapat perundungan malah menjadikan penulis sebagai orang yang lebih tegar dan tangguh dalam menghadapi dunia yang memang tidak terlepas dari namanya perundungan.

Perundungan tidak hanya terjadi di dunia pendidikan, di dunia kerja bahkan di masyarakat perundungan pun kerap kali terjadi apalagi saat ini sedang menuju pemilihan presiden, pasti terjadi kubu yang saling memberikan perundungan baik verbal atau dalam bentuk lainnya. Bahkan perundungan saat ini banyak terjadi dalam bentuk reklame, tulisan, komik dan lainnya.

Sumber: www.freepik.com
Sumber: www.freepik.com

Sebagai pendidik, penulis mengerucut tulisan ini ke arah dunia pendidikan yang disorot media terkait perundungan yang terjadi saat-saat ini. 

Menurut penulis, perundungan itu adalah reaksi antara mereka yang merasa superior dan mereka yang merasa inferior, dan ini adalah kenyataan dalam kehidupan kita sehari-hari, selalu ada pihak yang merasa superior yaitu pihak yang merasa paling hebat, paling kuat, paling berkuasa, mayoritas dan pihak yang merasa inferior yaitu pihak yang lemah, tidak populer, minoritas, tertindas.

Kedua kubu ini wajar terjadi di dunia manapun termasuk di dunia pendidikan, namun sekolah dapat membuat kedua kubu ini sebagai ragam kehidupan yang unik dan bukan saling berinteraksi dengan konflik yang menekan, merundung pihak yang merasa inferior. 

Sekolah wajib hadir di keragaman ini dan tugas ini menjadi tanggung jawab kepala sekolah sebagai pimpinan pelaksana tertinggi di sekolah, dan bukan kesalahan Bapak Menteri yang jauh di sana.

Kadang penulis agak geli dengan komentar yang diberikan orang-orang yang sering disebut pakar pendidikan yang senantiasa menyalahkan pihak negara terkait masalah sekolah, apalagi masalah peserta didik yang berkonflik. Ini pakar pendidikan yang kurang ke lapangan menurut penulis. Perihal konflik antar peserta didik sudah jelas sekali merupakan kurang tanggapnya pihak sekolah terhadap keberadaan peserta didik mereka.

Sebagai orang yang pernah menjadi kepala sekolah di unit SMP dan SMA, penulis paham betul bahwa konflik antar peserta didik datang bukan karena kesalahan kurikulum dan menteri pendidikan, apalagi dinas pendidikan, tetapi dari kurang kreatifnya sekolah dalam melakukan pembinaan para peserta didiknya.

Sekolah perlu hadir untuk para peserta didiknya bukan hanya mengisi ruang-ruang di jam pembelajaran reguler di kelas, namun juga perlu hadir di saat mereka datang ke sekolah, di saat mereka istirahat, di saat mereka pulang sekolah. Area-area inilah area yang rawan terjadi konflik antar peserta didik. Sedikit sekali kejadian perundungan yang terjadi di jam pelajaran yang reguler.

Berdasarkan pengalaman, penulis di saat awal menjadi kepala sekolah, penulis terkaget-kaget karena sekolah yang hadir hari ini tidak jauh berbeda dengan sekolah yang ada waktu penulis bersekolah 20 tahun yang lalu. Guru masih asyik menyelesaikan tugas utamanya yaitu memberi pembelajaran di kelas, setelah itu duduk kembali di ruang guru dengan kesibukannya mengkoreksi, membuat soal atau bahkan cukup ada hiburan dengan membuka media sosial. Program pengayaan masih minim, hanya ada pertemuan antar kelas waktu selesai ujian, lalu kegiatan ektrakurikuler. Mata pelajaran masih sama tidak ada perubahan yang signifikan.

Di jam-jam rawan seperti waktu kedatangan, waktu istirahat, waktu pulang sekolah tidak ada pengawasan yang dilakukan oleh pihak sekolah, bahkan tidak ada yang duduk bersama para peserta didik sambil berbincang-bincang bicara atau cukup mendengarkan saja perbincangan mereka yang unik.

Pengamatan ini membawa penulis untuk melakukan perombakan dalam tata kelola sekolah. Standarisasi yang diberikan oleh kementerian tetap dijalankan, karena namanya standarisasi tentu itu sesuatu yang minim, untuk itu penulis menambahkan bagian-bagian yang penting untuk mempersiapan peserta didik menuju masa depan mereka. Penulis tidak mau peserta didik bersekolah persis seperti sekolah waktu penulis bersekolah 20 tahun silam.

Penulis mulai menyusun strategi yang diawali dengan membentuk tim guru yang se-visi. Penulis meminta para guru untuk membuat sebuah tulisan singat tentang profil mereka, dan mengapa mereka memilih profesi sebagai guru, hal ini jarang sekali dilakukan oleh kepala sekolah manapun di negara ini. Penulis ingin para guru menyegarkan kembali marwah mereka sebagai seorang guru.

Beberapa guru senior mempertanyakan hal ini dan enggan untuk membuat hal yang dipinta penulis waktu itu, penulis dekatkan dengan baik dan jelaskan dengan baik dan penulis tekankan, "Apakah Bapak/Ibu sudah tidak dapat menulis lagi? Dan bagaimana Ibu/Bapak memberikan tugas menulis ke peserta didik sementara Bapak/Ibu sendiri tidak mau menulis?".

Syukurlah akhirnya mereka semua para guru mau menulis dan tulisan itu penulis simpan sebagai bentuk komitmen mereka kepada diri mereka dan profesi mereka. 

Di saat penulis membaca semua tulisan para guru tersebut, penulis mendapat inspirasi dari mereka, bahwa mereka sesungguhnya adalah orang-orang hebat yang memerlukan pemimpin yang dapat membuat mereka lebih hebat dan tentu kreatif.

Setelah penulis mendapat energi baik dari para guru, penulis mulai membuat program pengayaan dan melakukan pengelolaan persekolahan. 

Penulis menyiapkan tempat untuk guru yang tidak mengajar agar bergilir memberikan pengawasan terhadap area-area yang tak tampak oleh mata, termasuk toilet dan area parkir serta wilayah-wilayah yang rawan terjadi konflik.

Selanjutnya penulis menambahkan jam pembelajaran khusus untuk memberikan ruang bagi para peserta didik untuk belajar memahami dirinya, waktu itu penulis memberikan judulnya,"Life Skill Program". Oleh karena ini program baru, maka penulis sendirilah yang mengajar. 

Penulis bersama tim guru juga menyusun sistem poin yang menjadi syarat kenaikan kelas. Poin ini diakumulasi per jenjang dan setiap jenjang diberikan target poin yang  harus dicapai peserta didik.

Gerakan ini penulis sebut sebagai gerakan lomba berbuat baik. Penulis tidak menyematkan gerakan anti bullying, atau anti perundungan, karena penulis yang pernah belajar tentang bagaimana pikiran bekerja memahami kalimat itu malah menyeret pikiran ke perundungan. 

Hal ini dapat dijelaskan dengan mudah seperti berikut, misalkan pembaca diminta untuk mengikuti intruksi, "Jangan pikirkan gajah!", apakah pembaca malah kepikiran seekor gajah?, jika betul inilah yang salah dalam kalimat ajakan kita selama ini, kita melarang merokok, melarang narkoba tetapi di pikiran kita malah muncul rokok dan narkoba, begitu juga anti perundungan yang muncul adalah pikiran tentang perundungan.

Sekarang intruksinya penulis ganti dengan," Pikirkan seekor semut sekarang!", lihat pikiran kita dengan mudah memikirkan semut bukan. Ini adalah bagian penting bagaimana kita memahami pikiran kita bekerja, sehingga kita tidak salah dalam menanggulangi perundungan walau hanya sebuah kalimat, namun sekali ini kalimat ini mengarahkan pikiran kita.

Untuk itulah penulis melakukan gerakan lomba berbuat baik dengan mengumpulkan poin sebanyak mungkin, tentu gerakan ini membuat mereka terhindar untuk berbuat tidak baik seperti perundungan salah satunya. 

Sejak peluncuran program ini para orangtua dan yayasan mendukung penuh, dan alhasil peserta didik pun berlomba-lomba untuk aktif dalam segala kegiatan positif seperti menjadi pengurus OSIS, menjadi panitia kegiatan sekolah, mengikuti lomba-lomba di luar sekolah, membantu teman, membantu guru dan segala hal baik mendapat poin kebaikan.

Atmosfir sekolah secara berangsur-angsur berubah menjadi suasana yang penuh gairah kebaikan. Peserta didik mau menyapa, memberi salam, membantu adik kelasnya, merawat pertemanan dan segala hal baik pun berlangsung dengan otomatis. Perubahan ini sungguh membawa semangat kepada para guru untuk melakukan kreativitas yang tentunya inovatif sehingga menghadirkan sekolah yang kekinian.

Program perlombaan olahraga di akhir ujian sekolah yang selalu ada sejak penulis bersekolah pun penulis ubah menjadi program pengembangan diri. Penulis mengundang orangtua peserta didik untuk menjadi narasumber dalam menjelaskan tentang profesi pekerjaan mereka. 

Suatu ketika ada orangtua yang pekerjaannya sebagai kurator lukisan, mendatangkan pelukis terkenal yang menjelaskan profesi seorang pelukis. Para peserta didik pun diajak melukis bersama dengan pelukis ini di atas kanvas sebesar 1,5 meter x 2 meter.

Selain itu penulis mengajak kerjasama kepada orangtua peserta didik pun untuk memberikan kesempatan para peserta didik belajar bekera di tempat mereka bekerja jika diijinkan. 

Peserta didik pun belajar untuk membuat Curriculum Vitae (CV), mengikuti wawancara, dan mereka belajar kode etik serta etos kerja. Peserta didik menjadi memahami arti pentingnya memanfaatkan jam, memahami arti rupiah serta memahami arti organisasi dalam bekerja.

Penulis juga mengajak peserta didik yang lebih tinggi jenjangnya untuk melakukan kegiatan menebar benih kasih sayang ke panti anak baik anak yatim piatu atau anak berkebutuhan khusus. Mereka memberikan pelayanan di sana sebagai asisten pendidik, juga membantu membersihkan area panti, serta memberikan pembelajaran. 

Mereka juga wajib mencari donasi untuk membeli perlengkapan yang dibutuhkan pihak panti dalam menunjang pelayanan mereka. Peserta didik dalam kelompoknya bekerjasama untuk membuat kegiatan berupa penggalangan dana baik melalui berjualan sesuatu atau keliling mengetuk pintu hati donatur.

Inilah sebagian kecil yang penulis lakukan bersama tim guru untuk sebuah gerakan lomba berbuat baik sebagai salah satu cara mengurangi perundungan, dan perundungan di sekolah yang penulis pimpin waktu itu dapat dikatakan nol. Penulis pun bangga dengan para peserta didik, orangtua peserta didik, tim guru dan juga yayasan yang mendukung segala program yang dibuat.

Ada satu hal lain yang ingin penulis bagikan juga dalam kesempatan ini adalah ajakan untuk semua kepala sekolah dan guru dimanapun anda berada yang peduli terhadap profesinya, kecintaannya terhadap kemajuan para peserta didiknya, mari kita selalu hadir bersama peserta didik kita, duduklah bersama mereka, makan bersama mereka, bercerita bersama mereka, mendengarkan mereka, bermain bersama mereka, agar mereka dapat mengembangkan emosi yang positif yaitu kasih sayang dan kepedulian hal ini tentu berdampak zero bullying atau nol perundungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun