Mohon tunggu...
Aryanda Putra
Aryanda Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Jika Kesalahan dan Kebenaran bisa untuk didialogkan, kenapa harus mencari-cari Justifikasi untuk pembenaran sepihak. Association - A Stoic

Ab esse ad posse

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menelusuri Defisit APBD Bukittinggi, Perspektif Kritis, Bukan Sekadar Tudingan

19 November 2024   23:59 Diperbarui: 20 November 2024   03:42 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aryanda Putra
Aryanda Putra

Saya: "Terakhir, soal bansos dan hibah yang katanya bukan urusan Pemko, tapi jadi beban APBD. Nah, kalau bicara soal pelayanan publik, bantuan semacam ini sebetulnya bisa membantu masyarakat yang rentan, kan? Bukittinggi ini kan bukan sekadar soal anggaran, tapi juga soal dampak ke masyarakat. Bukankah lebih baik pemerintah hadir untuk masyarakat, meskipun artinya harus ngalah di anggaran? Menurut saya, bukannya Pemko sedang berupaya untuk memastikan masyarakat yang rentan bisa merasakan dampak langsung dari kebijakan mereka?"

Bang Prof: "Soal bansos dan hibah yang jadi beban APBD – memang ini dilematis, tapi tidak berarti itu kesalahan total.

 ‘Kadang kebijakan yang baik itu bukan yang paling menguntungkan angka, tapi yang paling bisa dirasakan masyarakat.’ 

Kalau ada masyarakat yang butuh bantuan langsung, dan Pemko bisa bantu, masa harus dicuekin? Ini memang bukan 100% tanggung jawab Pemko, tapi situasi di lapangan sering kali memaksa pemerintah daerah untuk turun tangan. Kalau kebijakan ini membantu masyarakat yang sedang kesusahan, saya rasa itu langkah yang berani dan layak dihargai."

Saya: Saya tersenyum, merasa sedikit tercerahkan. "Jadi, sebenarnya cap 'gagal' itu nggak tepat ya, Prof? Kalau begini, mungkin yang lebih fair adalah mendorong transparansi lebih jauh, bukan menuding gagal."

Bang Prof: "Betul," jawab Profesor. "Kalau kita fair, kita juga harus memahami proses adaptasi di balik kebijakan ini. Fokus kita, sebagai aktivis dan pemikir HMI, harus mengawal kebijakan ini dengan kritis namun tetap obyektif. 

Jadikan kritik yang kita lontarkan untuk konstruktif, supaya mendorong transparansi dan akuntabilitas, bukan sekadar menyalahkan. Jadi, kalau ada yang bilang defisit ini tanda Bang Wako (panggilan Walikota Erman Safar) gagal, ya itu terlalu simplistik. Ada banyak pihak yang memang menuntut pemerintah daerah bekerja lebih keras, dan itu wajar. 

Tapi, menilai seluruh kebijakan hanya dari angka defisit itu keliru. Selain itu, soal defisit, Dalam teori manajemen keuangan publik, defisit itu bukan selalu indikator kegagalan kok. 

Kadang malah menunjukkan kalau pemerintah lagi mengupayakan sesuatu yang lebih besar buat masyarakatnya. Pemerintahan itu dinilai dari dampak kebijakannya pada masyarakat, bukan cuma dari saldo keuangannya. Nah, kita di HMI kan selalu di ajarkan, kalau mau bersikap kritis, pastikan juga kalian melihat dari berbagai sudut. Jangan cuma ikut arus, cari tahu dulu data, pahami situasi. Kalau kita cuma main ikut-ikutan, kapan bisa dewasa dalam berpikir?"

Saya: "Benar juga, bangProf, kalau dilihat dari perspektif ini memang jadi lebih masuk akal. Kadang, publik lebih fokus ke isu permukaan, tapi jarang mau memahami kompleksitas di balik kebijakan pemerintah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun