Mohon tunggu...
Aryanda Putra
Aryanda Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Jika Kesalahan dan Kebenaran bisa untuk didialogkan, kenapa harus mencari-cari Justifikasi untuk pembenaran sepihak. Association - A Stoic

Ab esse ad posse

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menelusuri Defisit APBD Bukittinggi, Perspektif Kritis, Bukan Sekadar Tudingan

19 November 2024   23:59 Diperbarui: 20 November 2024   03:42 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bang Prof: "Ha-ha, kamu kritis juga, ya. Tapi bagus, memang sudah semestinya begitu! Kalau cuma ikut narasi umum tanpa telaah lebih dalam, nanti bisa salah paham. Jadi begini, soal defisit APBD, jangan langsung dibaca sebagai kegagalan. 

Sebenarnya, defisit itu kan hal yang lumrah, ya. Di seluruh dunia, bukan cuma di Indonesia, banyak pemerintah daerah yang mengalami defisit. Masalahnya, defisit ini sering dipakai sebagai alat politis. Kalau kita pakai kacamata yang netral, defisit bukan selalu berarti buruk” timpalnya. "

Defisit itu, terutama di daerah, bisa terjadi karena banyak faktor. Poin utamanya bukan soal defisit atau surplus, tapi bagaimana pengelolaan belanja dan pendapatan itu diprioritaskan untuk kepentingan rakyat. Sering kali publik melihat defisit sebagai kegagalan tanpa mempertimbangkan konteks kebijakan nasional dan faktor struktural lain. 

Padahal, defisit bukan berarti gagal, apalagi kalau kita bicara tentang perubahan besar seperti Undang-Undang No. 1 Tahun 2022. UU itu mengatur ulang pajak daerah dan retribusi, dan butuh waktu bagi daerah untuk beradaptasi, termasuk Bukittinggi." saya tegaskan lagi bahwa defisit tu bukan berarti pemimpin yang gagal. Defisit di APBD tu biasa, apalagi kalo daerah fokus pada pembangunan dan program sosial. Jangan langsung disimpulkan seolah-olah itu semata kesalahan pemerintah daerah.

Saya: "Saya ingat dulu, waktu awal di HMI, bertemu dengan bang Prof, Prof pernah bilang kalau

'tugas pemerintah bukan sekadar mencatat untung dan rugi kayak perusahaan.'

Pemerintah itu kan mengemban tanggung jawab untuk melayani publik. Memangnya, kalau terjadi defisit, langsung bisa dibilang ada pengelolaan yang buruk? Bang Prof tahu sendiri, setelah pandemi, semua serba naik – dari harga bahan pokok sampai biaya proyek pembangunan. Jadi logis kalau ada belanja yang lebih besar untuk kepentingan publik. Menurut bang Prof, apakah hanya karena ada defisit, langsung jadi tanda kegagalan?"

Bang Prof: "Memang benar, pemerintah daerah bukan perusahaan yang harus mencari untung. Justru, dengan belanja yang besar, kalau itu untuk kesehatan, pendidikan, bantuan sosial, ya berarti pemerintah bekerja. Itu artinya dana benar-benar sampai ke masyarakat. Kadang, kita ini memang lebih senang melihat angka-angka ketimbang dampak nyatanya. Padahal, bukannya lebih baik kita melihat apa yang bisa dihasilkan dari belanja itu? 

Kalau defisitnya untuk program-program yang bisa membantu masyarakat, saya rasa itu keputusan yang bisa diterima, apalagi dalam kondisi ekonomi yang sulit sekarang. Yang sering kali dilupakan adalah bahwa kebijakan publik, apalagi keuangan daerah, nggak bisa berjalan hanya dari sisi ideal saja, tapi juga harus mempertimbangkan realita sosial-ekonomi. 

Contohnya itu tadi sepeti yang disebutkan dalam berita yang kamu kirim kan kesaya tadi, bansos dan hibah yang dikritik sebagai 'biang' defisit itu kan juga penting untuk masyarakat yang masih perlu bantuan, meski kita tahu tingkat kemiskinan sudah menurun."

Saya: Saya menimpali sambil mengangguk. "Betul, Prof. Lagipula, pemda juga kan pasti punya hitungan, nggak mungkin mereka asal pasang target tinggi tanpa dasar. Kalau saya amati, target PAD tinggi itu bisa jadi refleksi bahwa pemerintah optimis atau setidaknya ingin menggenjot pendapatan daerah secara lebih serius," "Cuman ya itu, bangProf, sering kali masyarakat nggak tahu sisi lain, seperti potensi Silpa atau perubahan mekanisme pajak dan retribusi itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun