"Tapi Prof, ada juga isu soal kebocoran retribusi parkir dan pendapatan Pasar Atas yang dianggap membebani APBD. Apakah ini benar-benar mencerminkan lemahnya pengawasan atau bisa ada perspektif lain?"
Bang Prof: Profesor menghela napas, "Itu isu klasik di banyak daerah, pengawasan retribusi memang tidak semudah teori. Butuh sumber daya, teknologi, dan integrasi antar-dinas untuk benar-benar mengontrol setiap pos retribusi. Tapi ingat, adanya target PAD yang tinggi di sektor itu justru menunjukkan bahwa pemda serius dalam mengejar pendapatan, meski hasilnya belum optimal."
Saya: "Lalu , dari berita yang saya baca ada yang menyinggung soal deposito, memang ada ya aturan kalau setiap kali defisit langsung harus diambil? Deposito itu kan cadangan, seperti kata Prof, ‘payung untuk jaga-jaga’. Bukan berarti begitu ada awan mendung langsung dipakai juga, kan? Siapa tahu, Pak Erman dan tim berpikir panjang soal ketahanan fiskal untuk jangka ke depan. Kalau cadangan ini dihabiskan sekarang, nanti kalau ada krisis yang lebih parah, kita bisa kekurangan dana yang benar-benar darurat. Atau ini saya yang naif, Pak Prof?"
Bang Prof: "Soal deposito, betul sekali. Deposit itu bukan uang yang bisa diambil kapan saja seperti ambil uang di ATM. Ada aturan dan pertimbangan fiskal jangka panjang. Apalagi kalau kondisinya bukannya krisis total, mungkin Pemko berpikir untuk mempertahankan cadangan itu.
Lagipula, kita kan nggak mau juga nanti kalau ada situasi yang lebih darurat, Bukittinggi jadi tak punya bantalan dana. Jadi, jangan asal teriak minta deposito dicairkan. Harus lihat juga apakah keputusan itu bijak di jangka panjang."
Saya: "Lalu soal Silpa yang katanya ‘hilang’ 30 miliar itu. Nah, ini nih yang sering jadi isu, padahal Silpa itu bisa ada berbagai sebab, termasuk karena program yang tidak terealisasi tepat waktu atau penggunaan anggaran yang memang perlu dipertimbangkan lagi. Kalau ada sisa anggaran yang nggak digunakan, masa iya langsung dicap 'hilang'? Saya pikir, mungkin perlu diperjelas, audit saja biar publik juga tahu situasinya. Bukankah ini bentuk transparansi?"
Bang Prof: "hehehe.., Aduh, ini memang sering jadi bahan gosip ya. Begini, Silpa atau sisa lebih perhitungan anggaran itu bukan serta-merta 'dana hilang.' Silpa terjadi ketika ada anggaran yang tidak terserap atau terserapnya terlambat.
Ini perlu audit yang jelas supaya tidak timbul spekulasi. Jangan-jangan ini bukan soal dana hilang, tapi soal administrasi saja yang belum tuntas. Nah, ini tugas kita juga untuk memastikan transparansi. Kalau ada kekurangan, betul, mari kita tagih akuntabilitas, tapi jangan asal tuduh juga."
Saya: "Dari berita yang saya baca tentang kas daerah yang kosong, kira-kira sebenarnya kenapa sih kas daerah bisa sampai kosong? bahkan Saya dengar Pajak Bumi Bangunan (PBB) juga belum bisa dibayarkan? bagaiamana taanggapan bang prof”
Bang Prof: “Masalah likuiditas itu biasa terjadi di daerah-daerah, apalagi menjelang akhir tahun. Dalam kondisi tertentu, bahkan pemerintah pusat pun kadang harus menutup defisit kasnya sementara waktu.
Likuiditas yang rendah bukan berarti mismanajemen, bisa saja ini efek dari pola pencairan Dana Alokasi Umum (DAU) atau transfer pusat. Kalau pemerintah daerah proaktif, mereka bisa memanfaatkan Silpa dari tahun sebelumnya sebagai cadangan untuk kondisi seperti ini.”