Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mesiu dan Bapak di Hari Raya

5 Juli 2016   20:36 Diperbarui: 5 Juli 2016   20:43 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Laras menyeringai, matanya menatap garis langit-langit kamar yang bersih namun kusam. Matahari menggelincir setengah dari titik tertinggi sementara lamat-lamat suara meriam karbit sahut menyahut berdentam tanda anak-anak tengah riang gembira menyambut berakhirnya bulan Ramadhan tahun itu.

“Bapak kapan pulang, ibu?” Laras melempar pertanyaan kepada ibunya yang tengah merapikan beberapa pakaian yang usai disetrika lalu memasukkannya satu persatu kedalam lemari berukir dengan urat-urat kayu yang kokoh dan menua.

“Bapakmu masih empat bulan lagi pulang Laras, tidak usahlah kamu tunggu-tunggu!” ibunya menoleh.

“Tetapi besokkan lebaran ibu, kenapa bapak malah pergi?”

“Bapakmu tidak pergi begitu saja, diminta bertugas. Kapanpun Negara meminta bapakmu pergi beliau harus pergi,”

“Kenapa bapak-bapak yang lain nggak ikut pergi, temanku yang lain dijanjikan pergi sama bapak-bapak mereka jalan-jalan besok, dihari raya,”

“Kan tugasnya bergilir, nanti bapak teman-temanmu juga akan diminta berangkat. Tidak mungkin semua harus berangkat,”  

“Aku ingin bapak pulang, aku ingin bapak menemani tidurku malam ini, mendengar takbir, mendengar pukulan bedug, aku ingin ia menyulutkan obor bambu untukku berkeliling, aku ingin bapak besok meneminiku shalat dilapangan. Aku ingin bapak pulang!” Laras setengah menjerit, suaranya tercekat kesedihan, Ia amat merindukan bapaknya yang berangkat beberapa bulan lalu untuk menerima perintah ke Timor-timur yang bergejolak. Ibunya mendekatkan Kepala Laras kedalam dadanya, Laras terisak dan tubuhnya berguncang-guncang.

Bertugas ke Timor-timur beberapa saat setelah deklarasi Balibo diumumkan untuk berintegrasi dengan Indonesia oleh beberapa partai disana menyebabkan sekian puluh ribu tentara Indonesia harus diberangkatkan kesana. Perlawanan Fretilin yang berhaluan ke Portugal yang saat itu dikuasai kaum komunis  berusaha melenyapkan UDT dan Apodeti sebagai partai yang menginginkan bergabung dengan Indonesia membuat Timor-timur menjadi perang tertutup.

Tak ada pengumuman tentang perang tetapi disana sesungguhnya tentara-tentara Indonesia bertempur  di negeri orang tanpa status keadaan perang. Mereka datang bergelombang dengan kapal-kapal dagang melalui Kupang agar tak terlihat seperti aneksasi wilayah. Karena Portugal saat itu selesai mengadakan pemilihan umum dan komunis memenangi pemilu maka Amerika dan Australia menutup mata namun pemerintah Republik Indonesia memilh untuk tidak menunjukkan pengerahan tentaranya ke dunia internasional.

Para tentara muda maupun senior bergelombang dikirim ke Timor-timur. Menghadapi perang gerilya yang tak tahu siapa musuhnya. Siang hari rakyat adalah teman namun malam hari serangan gerilya membabi buta membunuhi tentara yang tak tahu datang untuk apa. Yang mereka tahu, Negara memanggil dan Negara bertugas melindungi keinginan rakyat Timor-timur yang membuat petisi bergabung ke wilayah Indonesia dimana kelak pilihan itu dimentahkan lewat referendum pasca reformasi.

“Untuk apa sebetulnya bapak berangkat kesana ibu?” Laras menatap dua mata ibunya. Sang bu menggeleng dan memeluk Laras.

“Yang ibu tahu, Bapakmu adalah penjaga negeri ini.”

“Penjaga? kenapa bapak tidak menjagaku?”

“Laras, bapak menitipkanmu kepada ibu untuk menjagamu!”

“lalu kapan bapak pulang?”

“Seperti yang sudah ibu bilang, bapakmu akan pulang empat bulan lagi,”

“Aku kangen bapak!”

“Ibu juga kangen bapakmu.”

“Aku ingat bapak selalu menyalahkan mercon caber rawit didepan rumah, di malam takbiran, bagaimana malam nanti!” Laras tersenyum lalu matanya mulai kembali berkaca-kaca.

“Ya sudah, ibu nanti belikan petasan kecil itu, satu renteng. Nanti malam ibu nyalakan didepan rumah, persis seperti yang bapakmu lakukan,”

“Horee..betul ya bu!” Laras bersorak, ibunya mengangguk tersenyum.

Hari kemenangan diawali azan maghrib hari terakhir Ramadhan, Laras kecil tak sabar mendengar takbir yang pasti akan bersahutan syahdu, dentam bedug pasti bertalu-talu, sesekali suara meriam karbit dari kaleng bekas susu bubuk Sinta mendentum indah dari ujung parit-parit lapangan sepak bola.

Serenteng petasan cabe rawit menggantung dengan goyangan kecil tertiup angin malam takbiran. Laras memandangi petasan kecil yang suaranya meletup-letup mengagetkan dengan pijaran kecil disekelilingnya jika disulut.

Tahun lalu, bapak Laras selalu memberikan satu batang lidi yang diujungnya diikatkan obat nyamuk batangan dengan baranya yang memerah dan asap mengepul. Begitu juga ibu, yang malam itu memberikan Laras benda serupa.

“Meskipun  kamu anak perempuan, bapakmu memberikan ini supaya kamu berani. Berani memulai sesuatu yang menurut kamu menakutkan, meledakkan petasan. Sulutlah dengan ujung bara itu pada sumbunya. Doakan bapakmu di hari kemenangan ini, sulutlah!”

Laras menggenggam ujung lidi yang karena panjangnya nampak bergoyang-goyang. Laras mengarahkan ujung bara obat nyamuk kearah dimana sumbu petasan cabe rawit menjuntai.

“Semoga bapak cepat pulang!” doanya, ketika desis sumbu menyala menjalar menuju tubuh petasan-petasan sebesar sedotan limun itu.

Petasan meletup-letup, wangi mirip mesiu menjalar keseluruh teras depan dan asap menghembus kesegala arah dihentak oleh letupan petasan, Laras tertawa senang, ia gembira bukan alang kepalang letupan-letupan itu mengingatkannya pada bapaknya  yang pada saat yang sama juga mencium bau mesiu.

Kilatan pijar merah dari hutan ditanah timor lorosae bertubi-tubi mengarah bagai bintang jatuh, berbiji-biji menghujani tanah dan pepohonan. Teriakan bahasa tetun mengiringi lesatan pijaran api dan derap kaki berusaha bersembunyi dimalam yang gulita disambut teriakan bagai keriuhan yang mengerikan.

Asap membumbung, dalam gelap hutan, daun-daun yang berguguran terbakar, bau mesiu disana-sini. Malam itu tak ada takbir diiringi bunyi bedug, Teriakan takbir diikuti simbahan darah, darah para tentara yang tak tahu mengapa mereka dimusuhi. Satu dua tiga bahkan lebih tubuh tentara-tentara muda  tersungkur pada tanah. Peluru Fretilin dari AKA 47  menghujam tanpa ampun. Membunuh dan dibunuh, hanya dua hukum itu yang berlaku malam itu.

Laras menepis asap petasan cabe rawit  yang perlahan menghilang sementara bapaknya diatas tanah kering dihutan penuh bintang  menarik nafas terakhirnya dalam asap mesiu dengan hujaman dua peluru didada dan lehernya.

“Aku rindu bapaaak…Ibu!”

Malam itu malam takbiran. Hari kemenangan mempersembahkan harum darah syuhada dalam peperangan yang dimulai entah oleh siapa. Takbir menyampaikan kebesaran Tuhan, hari dimana peperangan menitipkan seorang anak yatim kepada Ibu Pertiwi.

Laras jatuh tertidur dalam pelukan ibunya, Kerahasiaan peperangan saat itu tak membolehkan setiap keluarga mendapatkan berita langsung kematian pemimpin keluarga mereka secepatnya hingga  kedua anak beranak itu melewati hari kemenangan tanpa kesedihan karena tak tahu apa yang terjadi pada bapak dan suami mereka. Kelak beberapa bulan setelahnya mereka baru mengetahui bahwa orang kesayangan mereka  ternyata tak pernah kembali lagi. 

Bapak ternyata tak pernah berjumpa fajar hari raya.     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun