Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mesiu dan Bapak di Hari Raya

5 Juli 2016   20:36 Diperbarui: 5 Juli 2016   20:43 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari kemenangan diawali azan maghrib hari terakhir Ramadhan, Laras kecil tak sabar mendengar takbir yang pasti akan bersahutan syahdu, dentam bedug pasti bertalu-talu, sesekali suara meriam karbit dari kaleng bekas susu bubuk Sinta mendentum indah dari ujung parit-parit lapangan sepak bola.

Serenteng petasan cabe rawit menggantung dengan goyangan kecil tertiup angin malam takbiran. Laras memandangi petasan kecil yang suaranya meletup-letup mengagetkan dengan pijaran kecil disekelilingnya jika disulut.

Tahun lalu, bapak Laras selalu memberikan satu batang lidi yang diujungnya diikatkan obat nyamuk batangan dengan baranya yang memerah dan asap mengepul. Begitu juga ibu, yang malam itu memberikan Laras benda serupa.

“Meskipun  kamu anak perempuan, bapakmu memberikan ini supaya kamu berani. Berani memulai sesuatu yang menurut kamu menakutkan, meledakkan petasan. Sulutlah dengan ujung bara itu pada sumbunya. Doakan bapakmu di hari kemenangan ini, sulutlah!”

Laras menggenggam ujung lidi yang karena panjangnya nampak bergoyang-goyang. Laras mengarahkan ujung bara obat nyamuk kearah dimana sumbu petasan cabe rawit menjuntai.

“Semoga bapak cepat pulang!” doanya, ketika desis sumbu menyala menjalar menuju tubuh petasan-petasan sebesar sedotan limun itu.

Petasan meletup-letup, wangi mirip mesiu menjalar keseluruh teras depan dan asap menghembus kesegala arah dihentak oleh letupan petasan, Laras tertawa senang, ia gembira bukan alang kepalang letupan-letupan itu mengingatkannya pada bapaknya  yang pada saat yang sama juga mencium bau mesiu.

Kilatan pijar merah dari hutan ditanah timor lorosae bertubi-tubi mengarah bagai bintang jatuh, berbiji-biji menghujani tanah dan pepohonan. Teriakan bahasa tetun mengiringi lesatan pijaran api dan derap kaki berusaha bersembunyi dimalam yang gulita disambut teriakan bagai keriuhan yang mengerikan.

Asap membumbung, dalam gelap hutan, daun-daun yang berguguran terbakar, bau mesiu disana-sini. Malam itu tak ada takbir diiringi bunyi bedug, Teriakan takbir diikuti simbahan darah, darah para tentara yang tak tahu mengapa mereka dimusuhi. Satu dua tiga bahkan lebih tubuh tentara-tentara muda  tersungkur pada tanah. Peluru Fretilin dari AKA 47  menghujam tanpa ampun. Membunuh dan dibunuh, hanya dua hukum itu yang berlaku malam itu.

Laras menepis asap petasan cabe rawit  yang perlahan menghilang sementara bapaknya diatas tanah kering dihutan penuh bintang  menarik nafas terakhirnya dalam asap mesiu dengan hujaman dua peluru didada dan lehernya.

“Aku rindu bapaaak…Ibu!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun