Ah, kau pasti tahu bagaimana rasanya pertama kali jatuh cinta? Cinta yang diam-diam menyusup dalam hatimu yang hadirnyapun tak pernah kau sangka. Lagipula siapa yang bisa memutuskan kapan cinta harus hadir dan bagaimana perasaan itu tumbuh? Tak ada.
      Kata orang cinta itu harus diungkapkan. Namun, maafkan aku memilih pilihan lain. Sebab bagiku dikatakan atau tidak itu tetaplah cinta. Bahkan dalam diampun bagiku tetap cinta. Meskipun ia tak tahu bagaimana hariku diisi oleh  penantian untuk bertemu dengannya. Meskipun ia juga sama sekali tak tahu ada orang yang diam-diam merindukannya dan berdoa untuk keselamatannya. Dan itu adalah aku.
***
      Pertama kali aku bertemu sosoknya di Taman dekat komplek rumah. dengan sepeda merahnya ia melaju menghampiriku yang tengah sibuk mencari benda yang tak sengaja kujatuhkan.
"Sedang apa?"
"Cari kalung" kataku dengan mata yang sibuk mencari
"Aku bantu ya"
Aku mendongak. Menatap sosok anak lelaki itu. ia sekarang sama sibuknya denganku. Mencari kalung.
"Kamu benar menjatuhkannya di sini?" tanyanya dengan nafas yang memburu.
Aku mengangguk lemah.
"Tapi, kok tidak ada ya" katanya dengan kening yang berkerut.
Iya. Seharian sudah kami mencari kalung. Namun hasilnya nihil. Tidak ada benda berkilau itu disekitar taman. Padahal aku yakin betul kalau aku menjatuhkannya disini.
"Hari telah sore. Apa tidak sebaiknya kau pulang? orangtuamu pasti khawatir"
Aku menggeleng. Bagaimana aku bisa pulang?. Benda yang kuhilangkan adalah kalung pemberian Ibu saat aku ulang tahun kesebelas. Belum genap setahun. Ah, tidak! lebih tepatnya baru sebulan kalung pemberian Ibu kupakai. Yah, dan aku telah menghilangkannya.
"Kau mau?" katanya sambil membagi roti ditangannya menjadi dua bagian.
"Kau pasti lapar seharian mencari kalung. Ini buat nambah tenaga yang habis karena mencari kalung" katanya sambil mengulurkan sepotong roti untukku.
Aku hanya diam.
"Ambillah" katanya dengan senyum lebar memperlihatkan gusinya yang kemerahan.
 "Makasih" kataku lirih dengan senyum malu-malu.
***
      Sosok yang kutemui itu bernama Tama. Ternyata pertemuan di taman bukanlah yang pertama kali sekaligus yang terakhir. Tama baru saja pindah dari kotanya dan tinggal disini. Dan sekarang dia tinggal dua blok dari rumahku!. Bukan hanya itu saja Tama juga disekolahkan di tempat yang sama denganku. Bahkan ia juga sekelas denganku.
      Dimana ada Sita disitu juga pasti ada Tama. Begitulah kata banyak orang yang sering melihat kami. Yah, bagaimana tidak. Berangkat dan pulang sekolah dengan Tama. Bermain di rumah bahkan di sekolah dengan Tama. Pokoknya dimanapun ada aku pasti ada sosok Tama.Â
      Kalau kau tanya bagaimana perasaanku dengan Tama. Sungguh akupun tidak tahu jawabannya. Yang hanya ku tahu ialah aku akan sangat bahagia jika aku berada di samping Tama. Itu saja.
***
      Sejak lulus di bangku menengah pertama. Aku dan Tama melanjutkan sekolah menengah atas yang sama pula. Sosok Tama tidak begitu banyak berubah. Ia masih sama dengan Tama yang kutemui di Taman. Ia masih sama dengan Tama yang sering memboncengku dengan sepeda merahnya. Hanya badannya yang bertambah tinggi juga kulitnya yang sedikit lebih gelap. Dan sedikit tambahan. Tama yang sekarang jauh lebih populer!
      Duh, siapa sih siswa di sekolah yang tak mengenal Tama? ditahun ajaran pertama ia telah ikut tim Olimpiade Fisika. Tim Olimpiade biasanya beranggotakan siswa tahun ajaran kedua atau ketiga. Dan untuk menjadi anggota tim harus diseleksi dengan ketat oleh Guru. Namun Tama berhasil masuk ke tim olimpiade. Ah dan hebatnya lagi Tama dan timnya juara tingkat Nasional. Belum lagi di tahun ajaran kedua Tama menjadi kapten tim basket. Kalau sudah begitu murid mana coba yang tidak kenal dengan Tama.
"Lihat tuh Tam. cewek-cewek disana ngelihatin kamu sampai bola matanya mau keluar" kataku sambil melahap semangkuk bakso.
"Mereka ngelihatin kamu tahu, makannya lahap banget kaya nggak makan dari lahir" katanya sambil tertawa.
Sekarang aku malah yang ikutan melotot ke Tama.
      Jika ada yang bertanya bagaimana perasaanku saat itu?. Sungguh pada detik itu ingin sekali rasanya aku membekukan waktu. Biar kebersamaanku dengan Tama tak akan segera berlalu.
***
      Seperti siswa di tingkat akhir pada umumnya. Aku dan Tama sibuk untuk menghadapi ujian sekolah dan ujian masuk perguruan tinggi. Terlebih Tama ia pasti sangat sibuk mempersiapkan diri untuk ujian dan seleksi masuk perguruan tinggi tanpa tes.
"Aku bahkan tidak melihatnya seminggu ini Put"
"Pasti soal Tama" Jawabnya.
Apa yang dibilang sahabatku Putri benar, ini soal Tama. Akhir ini Aku jarang sekali bertemu dengan Tama. Dan puncaknya sudah seminggu aku sama sekali tak melihat sosoknya.
"Padahal kemarin aku melihat Tama dengan Bella di Kantin. Eh, apa kau tidak takut dengan Bella?"
Aku melongo bingung dengan maksud perkataan Putri.
"Begini biar aku jelaskan. Kau tidak takut Jika Tama dekat dengan Bella? Maksudku Bella itu satu kelas dengan Tama. Dia itu lumayan cerdas dan cantik. Ah tidak bukan lumayan tapi memang benar jika dia cerdas dan cantik dibanding kita"
Aku mengangguk, sepenuhnya setuju dengan pernyataan Putri bahwa Bella itu cantik dan juga cerdas.
"Hei aku tahu bahwa kau rindu dia Sita! Bohong kalau tidak, bagaimana kalau habis pelajaran ekonomi kita ke kelasnya!" usul Putri
"Nggak put. Aku nggak mau menganggu Tama. Ujian tinggal seminggu lagi dia pasti sangat sibuk"
"Siapa bilang? Buktinya dia masih bisa ke kantin dengan Bella, masa ngobrol sebentar denganmu nggak bisa? Ayolah apa susahnya Sita" rengek Putri.
Ah Putri Menyebut nama Bella lagi, ntah kenapa ketika mendengar nama Bella aku jadi tidak suka.
      Jika, kau menanyakan kapan aku jatuh cinta padanya. Aku tidak pernah tahu kapan persisnya. Aku pun juga tidak tahu bagaimana cinta bekerja hingga bisa bersemayam dalam hati. Tiba-tiba saja dia menyusup diam-diam dalam hatiku dan ketika aku menyadarinya Tama telah menempati tempat istimewa dalam hati.
***
      Ujian telah selesai dan pengumuman kelulusan pun akan segera diumumkan. Dan yang mengejutkan bagiku adalah nilaiku yang lumayan bagus. Nilai itu termasuk bagus untukku mengingat betapa minimnya aku belajar. Dan yang lebih mengejutkanku lagi ialah bahwa Tama lulus dengan nilai terbaik. Ah, Tama aku tahu bahwa kau pasti bisa.
"Selamat Sita, aku sungguh bangga padamu" ujar seseorang yang sudah kuhafal betul suaranya.
Tama!!! Aku berseru dalam hati.
"Hei harusnya aku yang bangga padamu, nilai ujianmu peringkat 1 di sekolah kita!"
Tama tersenyum. Senyum yang tak kulihat dua bulan terakhir.
"Apa kau mau pulang? Bareng denganku saja Sit naik si merah" ajaknya
      Tanpa banyak berpikir aku mengangguk setuju. Pulang bersama Tama dengan sepedanya, si merah. Aku sangat merindukannya. Ntah bagaimana aku menggambarkan perasaanku waktu itu. Tapi yang jelas. Sungguh aku ingin dianggap Tama bukan hanya sekedar sahabat atau teman kecilnya. Tapi lebih. Ntah bagaimana Tama menganggapku. Aku hanya bisa menebak-nebak. Tapi bukankah memang jatuh hati selalu sepaket dengan menduga-duga?
      Kali ini Tama tidak membawaku pulang ke rumah. Ia melajukan sepedanya ke taman dekat komplek rumah. Bagiku itu sama sekali tidak masalah. Kemanapun asal bersama Tama aku bahagia.
"Ada apa Tam?" kataku memecah keheningan diantara kami.
Kali ini dia tidak menjawab.
"Kenapa?" tanyaku lagi
"Aku akan pindah Sit"
Aku melongo. Pindah lagi?
"Aku mendapat beasiswa kuliah di Singapura Sit. Jadi aku akan pindah ke Singapura"
"Wah Tama. Selamat!" kataku dengan nada yang kubuat seriang mungkin.
Kali ini dia memilih untuk tersenyum.
"Kapan berangkat Tama?"
"Lusa"
 Glek. Secepat itukah?
"Kapan kau kembali lagi Tam?"
"Mungkin tahun depan atau kapan ya?. Aku tidak tahu Sit. Sungguh "
Aku tersenyum getir mendengarnya. Ah, Sita kamu harus menyambut rutinitas barumu. Melewati hari tanpa adanya Tama.
"Mungkin suatu saat aku bakal rindu tempat ini" katanya tiba-tiba.
Aku apalagi Tam. Aku bakal rindu taman ini. Dan tentunya juga kau.
Hening. Tidak ada percakapan diantara kami lagi. aku dan Tama sibuk tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Hingga langitpun memerah, matahari sudah beranjak ke tempat peraduannya, dan kami masih sama-sama memilih bungkam.
"Hari telah sore rupanya. Bagiamana jika kita pulang Sit?" katanya memecah keheningan sejak tadi.
Aku memilih mengangguk, mencoba berani menatap manik matanya. Mungkin ini adalah kesempatan terakhirku untuk melihat sosoknya? Atau mungkin bisa saja Tuhan menyiapkan kesempatan-kesempatan lain yang masih disembunyikan. Aku tidak tahu, tapi semoga saja.
      Ntahlah, Mau serindu apapun itu. Aku tak bisa mengungkapkannya. Memilih menyimpan perasaan istimewa ini di dalam hati. Ah, Maafkan memang aku tak punya pilihan lain! Sebab bagiku dikatakan atau tidak itu tetaplah cinta. Bahkan dalam diampun bagiku tetap cinta. Mungkin kali ini aku tak punya kesempatan untuk menyatakan kepadanya. Mungkin, kali ini akupun tidak mengetahui perasaan Tama. Namun soal urusan hati manusia. Siapa yang tahu?. Namun yang jelas. Biar waktu yang akan menjawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H