Cengang. Mataku mencelang selembar kertas putih tergeletak di atas meja, sepertinya milik penghuni rumah ini. Setelah kuperhatikan lebih lama, kertas ini berisi sebuah surat seorang kurcaci. Kurcaci???. Rasa ingin tahuku membuncah, akupun membaca surat itu dengan geletar tubuh yang menggigil :ingin tahu. Rupanya, surat ini berisi tentang keluh kesah dan harapan seorang kurcaci tuk menjadi sesosok manusia gagah yang dikagumi para wanita. Pun juga kuterka sebuah ungkapan jiwanya yang begitu bijak bak seorang rahib kuil tua ;
                                                Teruntuk manusia yang
                                                Tak selamanya sempurna
Â
 Aku memang hanya seorang kurcaci yang tak mampu mendaki gunung Himalaya dan mendirikan tenda di puncaknya. Aku memang hanya secuil makhluk ciptaan Tuhan yang digariskan tuk hidup di sebuah rumah gabus. Aku memang hanya bak secarik kertas lusuh yang sellau terengah menimang sebakul huruf manusia biasa. Namun, aku mempunyai asa untuk itu. Dari itu, kucoba menghapus segelumit duka yang mendera jiwa dan airmata resah pelabuh raga. Akupun menghirup udara dalam kehidupan manusia biasa dan mengais kesan pencacah rasa manusia. Mereka pernah bilang padaku, "mengapa kau harus berfikir untuk menjadi manusia gagah seperti kita, sedangkan kita tak pernah berharap menjadi sepertimu, karena kita tak menjamin kebahagiaan ketika hidup sepertimu. Dan kau juga akan merasa bosan ketika memulai cerita bersama kita." Sejak itu, aku mulai paham bahwa hidupku hari ini adalah penyempurna kebahagiaan dan kedamaian hari berikutnya.
Â
                                          Aku, si kurcaci senja
                                            :Reygan Nesa
Â
      Aku terbengong-bengong membacanya, mencoba menerka maksud dari surat tersebut. Menghayal tentang sosok kurcaci senja yang menuliskan namanya sebagai Reygan Nesa. Akupun berguam sendiri sambil meletakkan kembali surat tersebut di atas meja.
"Siapa sih Reygan Nesa?"