Â
Bertalu seroja dari peranakan pagi dan dan malam di negeri kurcaci. Menghasut keringat yang semalaman ranum oleh fragran edelweis. Pun mau memenuhi mimpi di negeri kurcaci, negeri yang damai, negeri yang titik keberadaannya tidak pernah diketahui siapa-siapa dan dihuni oleh sekawanan makhluk mungil yang terkadang cengeng tuk menceritakan sebuah dongeng. Ya, hanya sekedar bercerita.
@@@
      Malam itu, malam yang teramat dingin. Gumpalan awan menjelma bola-bola salju bergelindingan ke bumi. Angin menyayat aorta dan membekukan peredaran darahku yang sebelumnya baik-baik saja. Aku merebahkan tubuhku di atas dipan sederhana peninggalan bapak dan ibuku, empat belas tahun yang lalu.Â
Ya, aku tak lagi tinggal bersama mereka, melainkan bersama bibi dan perhatiannya yang tulus semenjak kejadian naas itu menuliskan nama bapak dan ibuku di lauhil mahfudz, mereka mendahuluiku pergi ke alam yang lebih abadi. Sudahlah, aku telah lama mengikhlaskannya. Kali ini, aku akan lebih menghikmatkan diri pada mimpi-mimpi hasil revolusi bintang dan matahari. Kupejamkan mataku, menciptakan alur baru dalam cerita tidurku. Akupun terhanyut bersama mimpi : bermalam-malam.
                  "mari kita karang puisi
                  tentang semai langkah di koridor mimpi
                  menjelang hilangnya putri matahari
                  dan dilahirkannya anak-anak bulan
                  dari rahim langit.
                  Tidurlah, Noura Ifanez!"
Â
@@@
      Kupandangi bunga-bunga mekar dan daun-daun hijau di tempat ini. Kaleidoskop warna menambah keindahannya. Akupun tak henti-hentinya berucap mazmur dan do'a atas segala yang kulihat detik ini. Menakjubkan!. Aku terus berjalan menyusuri lorong-lorong, mencari seseorang yang bisa kuajak bicara tentang tempat ini, mencari bukti-bukti sejarah penghuni ranah indah ini. Hah, percuma saja! Hasilnya nihil dan abstrak. Aku tak menemukan apa-apa, lantas kuberbagi posisi ke belakang dan tiba-tiba . . .
Sebuah rumah gabus telah berdiri dengan kokohnya di depan mataku sendiri. Padahal sedari tadi tak ada kasak-kusuk kapan rumah ini dibangun. Aku semakin larut dalam keheranan, bertanya-tanya pada angin, langit, dan pepohonan tentang siapa di balik semua keanehan ini. Rumah ini terlihat rapi dengan tatanan ruang yang sederhana tapi terkesan eksotik. Ruang tamu, meja makan, kamar mandi, tempat tidur dan segala estetika mungil yang kusaksikan saat ini adalah rectoverso tanya yang harus segera dijawab ;entah oleh siapa.
                  "adakah yang mendengar,
                  adakah yang melihat,
                  adakah yang merencanakan segala
                  yang tidak diketahui siapa-siapa?
                  :karam."
Â
@@@
      Cengang. Mataku mencelang selembar kertas putih tergeletak di atas meja, sepertinya milik penghuni rumah ini. Setelah kuperhatikan lebih lama, kertas ini berisi sebuah surat seorang kurcaci. Kurcaci???. Rasa ingin tahuku membuncah, akupun membaca surat itu dengan geletar tubuh yang menggigil :ingin tahu. Rupanya, surat ini berisi tentang keluh kesah dan harapan seorang kurcaci tuk menjadi sesosok manusia gagah yang dikagumi para wanita. Pun juga kuterka sebuah ungkapan jiwanya yang begitu bijak bak seorang rahib kuil tua ;
                                                Teruntuk manusia yang
                                                Tak selamanya sempurna
Â
 Aku memang hanya seorang kurcaci yang tak mampu mendaki gunung Himalaya dan mendirikan tenda di puncaknya. Aku memang hanya secuil makhluk ciptaan Tuhan yang digariskan tuk hidup di sebuah rumah gabus. Aku memang hanya bak secarik kertas lusuh yang sellau terengah menimang sebakul huruf manusia biasa. Namun, aku mempunyai asa untuk itu. Dari itu, kucoba menghapus segelumit duka yang mendera jiwa dan airmata resah pelabuh raga. Akupun menghirup udara dalam kehidupan manusia biasa dan mengais kesan pencacah rasa manusia. Mereka pernah bilang padaku, "mengapa kau harus berfikir untuk menjadi manusia gagah seperti kita, sedangkan kita tak pernah berharap menjadi sepertimu, karena kita tak menjamin kebahagiaan ketika hidup sepertimu. Dan kau juga akan merasa bosan ketika memulai cerita bersama kita." Sejak itu, aku mulai paham bahwa hidupku hari ini adalah penyempurna kebahagiaan dan kedamaian hari berikutnya.
Â
                                          Aku, si kurcaci senja
                                            :Reygan Nesa
Â
      Aku terbengong-bengong membacanya, mencoba menerka maksud dari surat tersebut. Menghayal tentang sosok kurcaci senja yang menuliskan namanya sebagai Reygan Nesa. Akupun berguam sendiri sambil meletakkan kembali surat tersebut di atas meja.
"Siapa sih Reygan Nesa?"
      Pintu rumah terbuka pelan-pelan memburai cahaya pagi dan membiaskan bayang-bayang seorang pria mungil, tingginya jauh lebih pendek dariku yang hanya 152 centimeter, sekitar 90 centimeter.
"Hey, ada yang menanyakan namaku di sana?" tanyanya riang.
      Akupun terkejut dan tercengang. Hari ini aku benar-benar melihat seorang kurcaci berdiri di depanku. Kurcaci yang dalam kehidupan nyata hanya bisa kutonton di depan televisi dan kupandangi gambarnya di poster-poster Putri Salju dan 7 Kurcaci. Hey Noura! Dengarkan, dia sedang berbicara denganmu!.
"Ouww rupanya sedang ada gadis cantik di rumahku. Hei kau, berani sekali kau masuk rumahku dan membaca suratku tanpa seizinku. Siapa kau?" tanyanya ketus.
"Ma...maaf. saya kira tidak ada seorangpun di negeri ini. Saya tersesat di tempat ini sejak kemarin malam dan saya tidak tahu arah jalan pulang. Perkenalkan, nama saya Noura Ifanez dari planet Bumi." Jawabku terbata-bata.
"Ya ya ya! Berarti kau adalah sebangsa manusia yang bagi kaumku adalah makhluk yang paling sempurna. Sepertinya, kedatanganmu ke negeriku ini bisa menyadarkan kaumku yang saat ini berkelana mencari sebuah pengakuan abadi bahwa kaum kami lebih sempurna dari bangsa manusia sepertimu. Maukah kau membantuku dan ikut bersamaku berpetualang mencari aksioma ruh kami yang utuh?"
      Tanpa menjawab pertanyaannya, akupun mengiyakan permintaannya dan memulai alur kisah baruku bersama seorang kurcaci senja :Reygan Nesa.
                  "dalam setiap kisah,
                  ada yang namanya klimaks
                  dalam setiap ruang,
                  ada yang namanya bilik
                  dan dalam setiap mimpi,
                  ada yang namanya pelajaran hidup."
Â
@@@
      Hari-hari yang mengesankan. Aku seperti menemukan sahabat-sahabat baru yang jujur dan tidak pernah malu menceritakan segala keluh dan kesahnya. Di sini, yang kulihat setiap harinya adaalh mekar bunga. Yang kuhirup setiap detiknya adalah hijau udara dan fragran mawar. Yang kurasakan setiap malamnya adalah kedamaian dan keteduhan wajah-wajah kurcaci yang mulai berdatangan dan berkenalan denganku. Dari hari ke hari, aku mulai memahami letak dan posisi hidup mereka. Dari waktu ke waktu, aku sudah bis amenerka apa yang selama ini bersarang dalam fikiran mereka. Sungguh, pemikiran yang keras dan ambisius. Mereka bosan menjadi seorang kurcaci, mereka lelah menikmati hidup yang rumit dan sesak, mereka merindukan pujian dari orang-orang dan para wanita cantik di seberang negeri ini. Karena itulah, satu per satu dari mereka pergi mencari semua itu. (mencari kefanaan yang tidak seharusnya mereka perebutkan lalu membuat mereka tersesat selamanya).
      Berbda dengan kurcaci senja yang satu ini, yang kukenal sebagai Reygan Nesa. Dia adalah satu-satunya kurcaci yang kuat dan memiliki pemikiran yang dewasa dalam mengartikan hidup ini, sebab dialah yang lebih dulu memijakkan kakinya di bumi sebelum kawan-kawannya yang lain mengikuti jejaknya pergi dan tak kembali. Dia tampan dan berkarisma tinggi. Dia menjadikan senja sebagai tempat peraduan keabadiaan. Setiap senja datang, dia menghadapkan wajahnya ke langit dan berdo'a agar suatu hari akan datang seorang wanita cantik ke rumah gabusnya dan menjadi ratu di negerinya. Pipiku sempat tersipu merah ketika dia memujiku dan memintaku untuk menjadi ratu di negerinya, sebab kedatanganku telah menyadarkan kaumnya bahwa tak selamanya menjadi manusia sepertiku akan hidup bahagia dan damai. Mereka mulai menyesal telah pergi dan meninggalkan Reygan seorang diri di negeri yang indah ini. Mereka telah menyadari kesalahan mereka dan berikrar setia menjaga bunga-bunga dan kupu-kupu agar tak lagi kuncup dan enggan merentangkan sayap-sayap indahnya. Namun, aku tak bisa membelah takdir semauku. Aku masih memiliki Tuhan yang telah menggariskan hidup dan nafasku saat ini bersama bibi Rania. Jadi dengan segala ketegaranku, maafkan aku, Reygan. Aku tidak bisa menjadi ratu di negeri ini dan hidup selamanya bersamamu dan kurcaci yang lain. Aku harus segera pualng menemui bibi Rania dan memberi tahu bahwa aku baik-baik saja.
"Ra, terima kasih telah menghidupkan kembali aroma wangi di negeri ini, meski kehadiranmu sebagai ratu tak bisa menjadi kesempurnaan bagi segala keindahan negeri ini. Aku selalu berharap suatu hari kau bisa kembali berkunjung ke negeri kami." Ucap Reygan dengan bijaknya.
"Baiklah, akan aku rencanakan itu. Senang bisa mengenalmu dan hidup dalam keindahan meski hanya 25 hari 25 malam, senang bisa berpetualang dan lebih memaknai hidup dengan rasio yang terus diasah dan diperbincangkan. Dengan begitu, aku bisa pulang dengan tenang dan membawa kenangan bersamamu ke alam nyata. Reygan Nesa, selamat tinggal! Aku akan selalu merindukanmu."
"Untukmu yang selalu kupuja, selamat jalan Noura Ifanez!"
                  "demi langit yang menyaksikan,
                  demi matahari yang bisa memahat cuaca sendirian,
                  demi pagi yang ditemani angin,
                  aku menulis puisi tentang cinta dan rindu abstrak
                  lantas membacakannya pada melodrama maalm nanti
                  agar kita bisa bertemu kembali."
Â
@@@
      Perlahan, kubuka mataku. Membuka celah bagi pagi setelah bermalam-malam aku hidup dalam mimpi. Seperti seorang kurcaci yang bangun dari tidurnya, memaksa mata tuk melihat dunia dan menyambut cakrawala dari ufuk timur ;kita yang terbiasa melantunkan puji-pujian pagi dan sore, harus beranjak setia untuk pelajaran yang lebih bererti dan putih. Setelah sempurna kubuka mataku tenang-tenang, bibi Rania telah berada di sampingku dan mengecup keningku.
"Oh, Noura! Akhirnya kau sadarkan diri. Bibi sangat khawatir sebab kamu tak bangun-bangun sejak 25 malam yang lalu. Bibi kira kau telah tiada, namun Dokter memastikan nafas dan jantungmu berdetak normal dan sebagaimana mestinya.oh...syukurlah kau masih hidup, sayang!" ucap bibi Rania senang.
"Aku tidak apa-apa, bibi. Aku hanya terlalu senang hidup dalam mimpi indahku. Dari mimpi itu, aku semakin bangga menjadi manusia meski hanya hidup bersamamu. Tak kan pernah lagi kusia-siakan hidup ini. Aku akan membahagiakanmu, bibi. Terima kasih atas segala perhatian tulusmu padaku selama ini."
"Oh, sayang! Kau sungguh gadis yang baik. Oh iya, kau dapat bingkisan cokelat. Tapi bibi tidak tahu dari siapa. Tadi pagi bibi menerimanya dari Pak pos. Bukalah!"
      Akupun penasaran dan segera membuka bingkisan cokelat Wonka itu. Mataku terbelalak ketika kutemukan kartu ucapan kecil di dalamnya bertuliskan :
                                         Untuk gadis cantikku,
                                            Noura Ifanez
Terima kasih atas kehadiranmu.
Cokelat ini sengaja aku kirim lewat anginÂ
dan segala kerinduan.
Hiduplah lebih berarti!"
                                   Aku yang selalu mengagumimu,
                                         Reygan Nesa
Â
Dan tanpa sengaja, senyumku merekah. Namanya telah indah di hatiku.Â
 Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H