Mohon tunggu...
Made Gede Arthadana
Made Gede Arthadana Mohon Tunggu... Dosen - Magister Ilmu Hukum

noch suchen die juristen eine begrijpen von recht

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Desa Adat Vs COVID-19

7 Juni 2020   21:21 Diperbarui: 7 Juni 2020   21:29 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kita mengapresiasi kinerja pemerintah provinsi Bali beserta tenaga kesehatan yang telah berusaha semaksimal mungkin bekerja sebagai garda terdepan dalam menghadapi pandemic covid-19 ini, disamping para tenaga kesehatan juga telah berkorban penuh berani "menjauhkan diri" dari keluarganya demi menyelamatkan pasien. 

Sebagai masyarakat Bali, kita harus tetap waspada dengan virus corona ini, karena penyebarannya yang begitu cepat sehingga kita dituntut untuk terus mengikuti himbauan pemerintah dengan berpedoman pada protokol kesehatan. Oleh karena itu apabila memang tidak ada kepentingan untuk keluar rumah, lebih baik dirumah saja, namun apabila memang hal itu sangat penting sehingga harus keluar rumah, maka tetap ingat untuk selalu menjaga jarak fisik (Phsycal Distancing), menjaga jarak sosial (sosial distancing), bersih-bersih diri menggunakan sabun anti bakteri/kuman sebelum dan/ atau setelah berpergian dan juga selalu bersembahyang atau beribadah agar kita semua tetap dilindungi dan dijauhkan dari covid-19 ini.

Menarik untuk dicermati dari judul yaitu Desa Adat melawan Covid-19, yang apabila saya ganti menjadi "Hukum dalam perubahan sosial". Mengapa? Karena virus corona ini merupakan suatu kemajuan teknologi mahadahsyat sehingga mampu merubah tatanan kehidupan bermasyarakat. 

Selain itu pemerintah pusat juga telah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk ikut membantu dalam upaya memutus rantai penyebaran virus corona, dan kemudian pemerintah daerah melalui desa adatnya yang telah secara resmi memiliki payung hukum yaitu perda nomor 1 tahun 2019 tentang desa adat di bali untuk ikut membantu tugas dari pemerintah daerah bali dalam memantau aktivitas masyarakat. 

Perubahan sosial dalam hal ini erat kaitannya dengan perilaku masyarakat yang sebelum wabah ini melanda dunia kita semua masih bisa beraktivitas sebagaimana mestinya, berjabat tangan, berpelukan, berhimpit-himpitan ditempat keramaian dan segala macam bentuk kegiatannya. 

Namun setelah wabah ini muncul, kegiatan yang sebagaimana mestinya kita lakukan itu seakan-akan berubah 180, pembatasan aktivitas membuat kita merasa jenuh, segala sesuatunya dikerjakan dari rumah, yaitu : belajar, bekerja dan beribadah dari rumah. Sampai kapan harus seperti ini? Kita tentu berharap agar pandemic ini segera berakhir dan kita bisa memulai melakukan aktivitas dengan normal kembali.

Gubernur Bali dan Majelis Desa Adat Provinsi Bali pun membentuk Satgas Gotong Royong dalam rangka pencegahan Covid-19 berbasis Desa Adat. Hal ini dilakukan sebab Desa Adat memiliki peranan yang sangat strategis untuk turut berpartisipasi dalam pencegahan penyebaran pandemic virus corona demi keselamatan umat manusia. Dan satgas ini diharapkan dapat memaksimalkan peran desa adat secara sekala niskala dalam peran melawan virus corona ini.

Tugas utama dari Satgas Gotong Royong yaitu memberdayakan Krama Desa Adat dan Yowana untuk bergotong royong sesama Krama Desa Adat dalam melakukan pencegahan Covid-19 di Desa Adat secara sekala lan niskala. Satgas Gotong Royong bisa menggunakan fasilitas Desa Adat sebagai Pos Koordinasi serta mengkoordinasikan dan bersinergi dengan pihak-pihak terkait termasuk aparat keamanan di Desa Adat dalam upaya-upaya pencegahan Covid-19. 

Satgas Gotong Royong juga mengemban tugas secara niskala seperti memohon (Nunas Ica) bersama Pemangku di Pura Kahyangan Tiga Desa Adat dengan cara Nyejer Daksina sampai Covid-19 berakhir dan ada pemberitahuan lebih lanjut. Lalu memohon kepada Ida Bhatara Sasuhunan sesuai dengan Dresta Desa Adat setempat agar wabah Covid-19 segera berakhir demi keharmonisan Alam, Krama, dan Budaya Bali.

Sementara tugas secara sekala Satgas Gotong Royong yaitu melakukan berbagai langkah pencegahan Covid-19. Pertama, melaksanakan edukasi, sosialisasi, pencegahan, pembinaan, dan pengawasan terkait dengan Covid-19. Kedua, mengarahkan Krama Desa Adat supaya tidak berkunjung ke tempat-tempat keramaian dan mengurangi kegiatan yang melibatkan benyak orang. Ketiga, mendata Krama Desa Adat dan/ atau Krama Tamiu yang baru kembali dari bekerja di luar Bali atau luar negeri, yang termasuk kategori Orang Dalam Pemantauan (ODP) Covid-19. 

Keempat, mengarahkan Krama Desa Adat dan/atau Krama Tamiu yang termasuk kategori ODP COVID-19 supaya melaksanakan isolasi mandiri di rumah sesuai standar kesehatan. Kelima Satgas Gotong Royong juga menyiapkan masker, hand sanitizer, cuci tangan dengan sabun, dan sejenisnya. Keenam Satgas Gotong Royong juga agar bergerak cepat melaporkan Krama Desa Adat dan/ atau Krama Tamiu dalam kategori ODP Covid-19 ke Puskesmas terdekat. 

Satgas Gotong Royong Pencegahan Covid-19 Berbasis Desa Adat juga berasa di garda terdepan membangun Gotong Royong sesama Krama Desa Adat. Hal ini dilakukan dengan pertama, mendata Krama Desa Adat yang memerlukan bantuan kebutuhan dasar pokok. 

Kedua, menghimpun kebutuhan dasar pokok dari Krama Desa Adat yang mampu untuk bergotong royong dan mendistribusikan kepada Krama Desa Adat yang terdampak Covid-19 guna meringankan beban hidupnya. Ketiga, menghimpun dana punia dari Krama Desa Adat, Krama Tamiu, dan Tamiu secara sukarela untuk membantu Krama yang memerlukan dan mendukung pelaksanaan tugas operasional Satgas Gotong Royong.

Desa adat erat kaitannya dengan hukum. Hukum dalam hal ini sebagai produk yang dibuat oleh pemerintah provinsi bali yang harus dilaksanakan agar dapat memberikan keamanan dan kenyamanan bagi seluruh lapisan komponen masyarakat bali.

Hukum adalah peraturan-peraturan yang dibuat untuk mengatur atau membatasi tingkah laku manusia, untuk menciptakan ketertiban, menjadikan pedoman untuk hidup damai, serta, agar tidak terjadi kekacauan. 

Frase dari membatasi tingkah laku manusia untuk menciptakan ketertiban inilah yang perlu kita perhatikan, mengingat kita selaku masyarakat juga diharapkan untuk ikut membantu kinerja pemerintah provinsi bali yang dalam istilah balinya "de bengkung" atau "jangan bandel" dan tetap waspada agar jumlah kasus corona di bali tidak semakin bertambah. Kita telisik lagi apa fungsi hukum yang dibuat oleh pemerintah untuk kita masyarakatnya? Yaitu :

  • Untuk mengatur kehidupan bermasyarakat agar dapat terciptanya suatu kerukunan, ketertiban, keadilan dan perdamaian;
  • Sebagai alat pengatur tata tertib;
  • Hukum sebagai alat penyelesaian masalah;
  • Hukum sebagai alat untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh warga masyarakat;
  • Hukum sebagai alat penggerak pembangunan.

Namun, Dalam perkembangannya, persoalan tujuan hukum menjadi perhatian penting karena menjadi roh bagi perumusan suatu peraturan. John Austin dengan Teori Normative-Dogmatif mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah untuk menciptakan kepastian hukum. 

Disinilah bersama-sama kita melihat kinerja pemerintah daerah bali untuk mewujudkan kepastian hukum yang dalam hal ini adalah penegakan peraturan-peraturan atau kebijakan yang dibuatnya. Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan dalam hal ini membantu kinerja pemerintah daerah.

Terkait dengan bagaimana peran desa adat dalam rangka melawan untuk memutus rantai penyebaran virus corona di Bali, berdasarkan opini saya, desa adat berkaitan erat dengan hukum adat dan hukum adat satu-satunya yang dapat menjawab tantangan ini. 

Apakah hukum adat itu?Sebelum masuk ke hukum adat, baiknya kita mengenal sejarahnya terlebih dahulu jadi di dalam kehidupan bermasyarakat, hukum dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Cicero menyebutkan sebuah adagium Ubi Societas Ibi Ius yang berarti "di mana ada masyarakat di sana ada hukum". Adagium ini didukung oleh Van Apeldoorn yang menyebutkan bahwa "hukum ada di seluruh dunia di mana ada masyarakat manusia". 

Oleh sebab itu diperlukan suatu aturan hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat demi mencapai ketertiban umum. Von Savigny mengatakan "hukum merupakan bagian dari budaya masyarakat, hukum tidak lahir dari tindakan bebas (arbitrary act of a legislator), tetapi ditemukan di dalam jiwa masyarakat (Volkgeist). Sehingga hukum dapat dikatakan berasal dari kebiasaan dan selanjutnya dibuat melalui aktivitas hukum (juristice activity).

Masyarakat Indonesia telah memiliki hukum sendiri yaitu hukum yang lahir dari jiwa masyarakat Indonesia sendiri, yang dikenal dengan Hukum Adat. Hukum adat atau dengan istilah Belanda disebut "Adat Recht" yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Christian Snouck Hurgronje menyatakan hukum adat adalah adat yang mempunyai sanksi, sedangkan adat yang tidak mempunyai sanksi merupakan kebiasaan normative, yaitu kebiasaan yang terwujud sebagai tingkah laku dan berlaku di dalam masyarakat.

Adapun Prof. Dr. Cornellis Van Vollenhoven menyatakan hukum adat adalah aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan orang-orang timur asing yang disatu pihak mempunyai sanksi (dapat dikatakan sebagai hukum) dan dilain pihak tidak dikodifikasikan (dikatakan adat). oleh karena itu hukum adat ada yang memiliki sanksi dan ada pula adat yang tidak memiliki sanksi. 

Adat yang memiliki sanksi disebut dengan hukum adat, sedangkan yang tidak memiliki sanksi adalah kebiasaan. Jadi dikatakan hukum adat ialah hukum orang Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan dan disana sini mengandung unsur agama. Hal ini senada dengan Teori dari Van Den Berg yaitu Receptio in Complexu yang pada intinya hukum adat mengikuti hukum agama yang dipeluk oleh masyarakat adat tersebut.

Sehingga hukum adat berbeda dengan hukum kebiasaan. Perbedaannya adalah hukum kebiasaan adalah tata cara hidup masyarakat atau bangsa dalam waktu yang lama. Hukum ini memberi pedoman bagi masyarakat untuk berpikir dan bersikap dalam menghadapi berbagai hal di kehidupan dan hukum kebiasaan tidak mengikat seperti hukum adat. 

Oleh karena itu apabila kebiasaan sudah diterima oleh masyarakat dan dilakukan secara berulang, maka segala tindakan yang bertentangan dengan kebiasaan akan dirasakan sebagai perbuatan yang melanggar hukum. Hukum kebiasaan dibentuk oleh lingkungan setempat. Kebiasaan dalam pergaulan hidup di masyarakat dipandang sebagai hukum.

Kedudukan hukum adat juga tersirat dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat". Pengakuan keberadaan hukum adat hal ini dapat dilihat dari frase "nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat". 

Demikian pula Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang yang sama menyatakan "Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum yang tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili". Frase sumber hukum yang tidak tertulis mengindikasikan pengakuan terhadap nilai-nilai hukum adat yang umumnya disebut hukum yang tidak tertulis.

Hukum adat yang berlaku dalam masyarakat hukum adat Bali ialah Hukum Adat Bali. Hukum Adat Bali merupakan kompleks norma-norma, baik dalam wujudnya yang tercatatkan maupun yang tidak tercatatkan, berisi perintah, kebolehan dan larangan, yang mengatur kehidupan masyarakat hukum adat Bali yang menyangkut hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan lingkungan alamnya, dan hubungan antara manusia dengan Tuhannya dengan tujuan mensejahterakan umat manusia (sukerta sekala niskala). 

Hukum Adat Bali sangat kental dengan pengaruh agama Hindu, karena kuatnya pengaruh agama Hindu sehingga sulit membedakan mana aspek kehidupan orang Bali bersumber dari kebudayaan, tradisi maupun kebiasaan masyarakat Bali dan mana yang bersumber dari agama Hindu.

Tujuan hukum adat Bali adalah adanya keharmonisan hubungan antara manusia, alam lingkungan dan penciptanya yang merupakan penerapan filosofi Tri Hita Karana, yaitu tiga penyebab kesejahteraan (Tri berarti tiga, Hita berarti kesejahteraan, kebahagiaan, Karana berarti penyebab). Berdasarkan filosofi tersebut ada tiga unsur yang mempengaruhi kehidupan umat manusia di dunia ini, yaitu : (1) Sanghyang Jagatkaranan, yaitu Tuhan, (2) Bhuanan, yaitu alam semesta, dan (3) Manusa, yaitu manusia.

Pasal 1 angka 8 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali menyebutkan Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun dalam ikatan tempat suci (kahyangan tiga atau kahyangan desa), tugas dan kewenangan serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Setiap desa adat mempunyai awig-awig, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Pasal 1 angka 29 Perda Desa Adat menyatakan Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh Desa Adat dan/ atau Banjar Adat yang berlaku bagi Krama Deas Adat, Krama Tamiu, dan Tamiu. Dalam awig-awig inilah sebetulnya seluruh kegiatan masyarakat adat diatur secara terintegerasi. Aspek ekonomi, politik, sosial, dan budaya mendapat perhatian yang proporsional. 

Awig-awig dijiwai oleh falsafah Tri Hita Karana, sebagai sumber kesejahteraan bagi seluruh masyarakat adat. Pasal 1 angka 27 Perda Desa Adat menyatakan Tri Hita Karana adalah tiga penyebab timbulnya kebahagiaan, yaitu sikap hidup yang seimbang atau harmonis antara berbakti kepada Tuhan, mengabdi pada sesama umat manusia, dan menyayangi alam lingkungan berdasarkan pengorbanan suci (yadnya).

Awig-awig desa yang disusun oleh masyarakat adat sendiri menunjukkan bahwa desa adat merupakan desa otonom, yang mempunyai hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Sebagai desa otonom, desa adat berupaya untuk mengatur seluruh kegiatannya untuk kepentingan bersama, namun kepentingan individu sebagai warga desa juga dijamin oleh desa adat. Oleh karena itu, desa adat menjadi wadah bagi warga desa untuk melakukan berbagai aktivitas, bagi kelangsungan hidupnya. Dengan mengatur seluruh aspek kegiatan masyarakat adat di dalam awig-awig desa, maka desa adat dapat mempertahankan eksistensinya.

Pelaksanaan awig-awig dilakukan oleh prajuru desa dengan dibantu oleh lembaga keamanan yang disebut pecalang. Dalam Perda Provinsi Bali angka 20 menyebutkan Pacalang Desa Adat atau Jaga Bhaya Desa Adat atau sebutan lain yang selanjutnya disebut Pacalang, adalah satuan tugas keamanan tradisional Bali yang dibentuk oleh Desa Adat yang mempunyai tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban wilayah di wewidangan Desa Adat. 

Pasal 1 angka 32 Perda Desa Adat menyebutkan Wewidangan atau Wewengkon yang selanjutnya disebut Wewidangan Desa Adat adalah wilayah Desa Adat yang memiliki batas-batas tertentu. Keamanan desa adat dewasa ini mendapat perhatian yang serius baik oleh masyarakat adat sendiri maupun oleh pemerintah. 

Dalam kehidupan desa yang aman dan tenteram, masyarakat desa dapat berinteraksi guna melaksanakan berbagai kegiatan, demi kelangsungan hidupnya. Sebaliknya, ketika keamanan terganggu, maka masyarakat desa tidak tenang melakukan kegiatan. Inilah dasar hukum pacalang sah untuk ikut membantu melaksanakan himbauan dari pemerintah terkait memutus penyebaran covid-19 ini.

Pacalang mengenakan busana yang mempunyai kekuatan magis, yang tampaknya dari warnanya, yaitu merah, hitam, dan putih sebagai simbol utpeti (kelahiran), stiti (pemeliharaan), dan pralina (peleburan), yang disebut warna tri datu. Busana pacalang yang terdiri dari ketiga komponen warna itu setelah dilakukan upacara pasupati merupakan rta atau hukum alam yang mempunyai kekuatan mahadasyat. 

Dengan mengenakan busana yang demikian itu, pacalang tampak berwibawa. Dalam kenyataannya, pacalang telah berhasil mengamankan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat, termasuk dalam kegiatan yang bertaraf nasional. Oleh karena itu, pacalang sebagai "jagabaya" desa sangat diandalkan kemampuannya untuk menjaga keamanan dan ketertiban desa adat. 

Pacalang bertugas untuk membantu tugas dari aparat keamanan lain seperti bhabinkamtibnas dalam menjaga keluar masuknya masyarakat baik dari kota ke kabupaten atau kabupaten ke kota dan juga WNA/WNI yang akan datang ke Bali. Dalam penjelasan Pasal 1 angka 10 Perda Desa Adat Nomor 4 Tahun 2019 menyebutkan Krama Desa Adat adalah warga masyarakat Bali beragama Hindu yang Mipil dan tercatat sebagai anggota Desa Adat setempat. Angka 11 Perda yang sama menyebutkan Krama Tamiu adalah warga masyarakat Bali beragama Hindu yang tidak Mipil, tetapi tercatat di Desa Adat setempat. 

Dan angka 12 Perda yang sama menyebutkan Tamiu adalah orang selain Krama desa Adat dan Krama Tamiu yang berada di Wewidangan Desa Adat untuk sementara atau bertempat tinggal dan tercatat di Desa Adat setempat. Mereka semua, selain diperiksa suhu tubuhnya, pecalang perlu memperhatikan segala tindak tanduk mereka, hal ini agar tidak menambah penyebaran virus dari luar masuk ke desa adat.

Upaya desa adat menghadapi covid-19 ini perlu kiranya suatu bentuk kebersamaan seperti sebuah tim yang solid, apa yang dihimbau harus diikuti dan dilaksanakan. Terkadang kita berpikir sampai kapan himbauan ini? Apa kita makan himbauan? Saya tidak takut corona, yang saya takutkan adalah anak dan istri saya tidak makan, dan banyak lagi keluhan seperti itu. 

Tentunya jika kita berpikir ulang kembali, virus ini tidak akan hilang sampai vaksin atau antivirusnya ditemukan, namun kita harus melawan dengan memberlakukan protokol kesehatan tersebut. Kita tidak pernah menyadari, apapun bentuk kegiatan kita, dari mana kita, dimanapun kita berada, virus itu akan selalu ada dan menempel, maka dari itu jangan lupa untuk selalu membawa hand sanitizer seperti yang sudah disarankan pihak tenaga kesehatan.

Desa Adat sebagai masyarakat hukum adat masih tetap eksis sampai saat ini dan secara relative dipandang mampu mempertahankan adat istiadat masyarakat dan nilai-nilai budaya Bali di tengah-tengah kemajuan teknologi dan olmu pengetahuan serta arus globalisasi yang demikian pesat. 

Eksistensi tentang keberadaan hukum adat tertuang dalam konstitusi yaitu Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang". 

Ketentuan Pasal 18B ayat (2) menyiratkan bahwa hak-hak tradisional tersebut termasuk hukum adat diakui keberadaannya. Budaya disini meliputi banyak aspek seperti aspek berpikir, bersikap, dan bertindak. Setiap pemerintah dengan masyarakatnya tentun mempunyai cara atau pola berpikir, bersikap dan bertindak yang berbeda satu dengan yang lain dalam hal ini terkait penanganan wabah covid-19 ini.

Tugas dan fungsi desa adat dalam upaya pemberantasan covid-19 harus bisa mengolah data dan informasi seluruh warganya. Data dan informasi ini mencakup kondisi ekonomi warga, untuk menjaga kualitas hidup dan kesehatan mereka selama wabah. Kedua, perangkat desa adat harus mampu mengelola kendali informasi terkait Covid-19. Jangan sampai mayasarkat cemas dalam menghadapi wabah ini karena ketidakjelasan informasi (Harus bisa menjelaskan dengan baik bahwa penularan dan sebagainya, pencegahan sebagainya kepada masyarakat). 

Ketiga, perangkat desa adat mengambil inisiatif mitigasi dampak sosial dan ekonomi warga. Bagaimana dampak sosial dari kondisi darurat Covid-19 terhadap kegiatan keagaaman hingga kebudayaan. Misalnya, himbauan untuk sementara waktu menunda kegiatan yang mengumpulkan banyak orang. Keempat, perangkat desa adat dapat membuat pranata sosial baru yang sesuai dengan kebutuhan di desa. 

Hal ini untuk mencegah terjadinya konflik sosial selama pandemi. Contohnya aturan baru dalam menerima tamu, pemakaman/pengabenan termasuk kegiatan keamanan dan lingkungam. Kepala desa berperan dalam hal ini yang nantinya diputuskan dalam peraturan desa adat. dan yang terakhir tidak kalah pentingnya adalah bagaimana desa adat agar perangkat desa adat bisa memberikan informasi terkait covid-19 ini setiap harinya dan perkembangannya.

Pemerintah Provinsi Bali pun dalam menindak tegas warga yang tidak mentaati aturan bisa dikenakan Sanksi Adat. Pertanyaannya adalah apakah boleh penggunaan sanksi adat dalam hal ini? Sebenarnya apa sih Sanksi Adat tersebut? Ditujukkan untuk siapa? 

Menurut hemat penulis kepada pemerintah harus hati-hati dalam perumusan sanksi adat. mengutip pendapat dari Emile Durkheim, reaksi sosial (sanksi adat) yang berupa penghukuman atau sanksi itu sangat diperlukan, sebab mempunyai maksud untuk mengadakan perawatan agar tradisi-tradisi kepercayaan adat menjadi tidak goyah sehingga kestabilan masyarakat dapat terwujud. 

Reaksi adat ini merupakan tindakan-tindakan yang bermaksud mengembalikan ketentraman magis yang diganggu dan meniadakan atau menetralisir suatu keadaan sial yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran adat.

Sanksi adat dalam hukum adat Bali dikenal dengan sebutan sanksi adat, koreksi adat dan reaksi adat, tujuannya untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat adanya pelanggaran adat. 

Sanksi ini dikenakan oleh lembaga adat atau lembaga desa kepada seseorang atau kelompok atau keluarganya atau bahkan seluruh masyarakat, karena dianggap telah melanggar norma adat (norma agama Hindu), dimana untuk dikembalikan keseimbangan sekala niskala (alam nyata & alam gaib). Ada 3 golongan sanksi adat yang disebut tri danda, yaitu :

  1. Artha danda, sanksi adat berupa penjatuhan denda (uang atau barang)
  2. Jiwa danda, sanksi adat berupa penjatuhan derita jasmani dan rohani
  3. Sangaskara danda, sanksi adat berupa mengembalikan keseimbangan magis (hukuman dalam bentuk melakukan upacara agama). Contoh : kewajiban melaksanakan upacara pecaruan, pemarisudan, prayascita (bentuk-bentuk upacara yang bertujuan membersihkan benda-benda, tempat-tempat suci agar kembali kesuciannya seperti dahulu kala.

Kalau kata Loeby Loeqman, sanksi adat yang bertentangan dengan keadilan dikatakan bersifat kurang atau tidak adil. I Made Widnyana mengatakan jenis-jenis sanksi adat dikelompokkan menjadi 2 yaitu :

1. Sanksi adat yang sama sekali ditinggal oleh masyarakat karena tidak sesuai dengan keadaaan. Olehnya dilarang dengan tegas oleh pihak yang berwenang dengan peraturan perundang-undangan. Contoh : Kapademang (dibunuh), Katugel Limane (dipotong tangannya), dan lain-lain.

2. Sanksi adat yang masih berlaku sepenuhnya dan berlaku dalam masyarakat adat Bali dan berlaku dalam awig-awig suatu desa yaitu :

Danda (denda); Maprayascitta (membuat upacara pembersihan menurut agama Hindu); Kawasang mabanjar/madesa (diberhentikan sebagai warga Banjar atau Desa).

Penggunaan sanksi adat harus jelas disebutkan untuk mengatur tata tertib masyarkat di saat adanya pandemic seperti ini, karena tidak semua jenis sanksi adat bisa diterapkan utk seluruh komponen masyarakat. Adat yang satu berbeda dengan adat yang lainnya di tiap-tiap desa adat sehingga untuk menjatuhkan sanksi adat A di wilayah B harus seizin pelaku yang berasal dari wilayah C. 

Jangan sampai penerapan sanksi adat ini menyimpang dan jauh dari nilai-nilai Hak Asasi Manusia dan prinsip adat yang dilandasi agama Hindu. Penerapan sanksi yang disertai dengan kekerasan akan semakin menunjukkan sikap arogan desa adat itu sendiri kepada warganya. 

Penerapan sanksi adat menurut hukum adat adalah utamanya untuk mendidik dan memberi efek jera, bukan untuk menghukum apalagi menjatuhkan martabat seseorang warga. Cara-cara penjatuhan sanksi adat yang bersifat menghukum (menghakimi) seseorang apalagi disertai dengan kekerasan serta penuh kebencian sehingga membuat suasana menakutkan dan mencekam, hal ini dapat berimplikasi pelanggaran HAM, padahal seharusnya diselesaikan dengan prinsip musyawarah untuk mufakat sehingga tercipta Win-win solution". 

Inilah hukum, yang memang berbicara dan berurusan dengan ketertiban. Hukum menempatkan diri sebagai penjaga, pengatur dan produsen ketertiban. Oleh karena itu ia tampil dengan membuat macam-macam peraturan, suruhan dan larangan, sehingga dapat dikatakan hukum menjadi sebuah institusi normatif.

Dapat dikatakan, pandemic virus corona ini sebagai Arus globalisasi yang telah melanda berbagai belahan dunia. Dampaknya sangat dirasakan oleh Negara dan masyarakat, khususnya negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. 

Kekuatan-kekuatan global yang begitu dahsyat baik di bidang ekonomi, politik, sosial, maupun budaya yang dibawa oleh arus globalisasi telah menghantam kekuatan-kekuatan lokal, sehingga menimbulkan dampak terjadinya perubahan secara cepat , drastis dan bahkan seringkali tidak terkendali yang pada akhirnya telah menggoyahkan beberapa sendi kehidupan beragama dan bermasyarakat. 

Di Bali kita menjumpai interaksi yang lebih nyata antara hukum negara dan hukum adat setempat. Situasi di Bali menonjol disbanding dengan daerah-daerah lain di Indonesia, karena keberadaan komunitas (asli) Bali memang masih kokoh. Institusi subak dan pacalang (polisi adat) membuktikan kekokohan tersebut. 

Pacalang, bahkan pada saat tertentu mendampingi bekerjanya kepolisian negara dan bajkan mengisi kekurangan Polri, misalnya kehadiran pacalang bersama dinas perhubungan, polisi lalu lintas ikut memeriksa pengendara yang hendak berpergian kemana arah serta tujuannya demi mempercepat memutus rantai virus corona. Pacalang sebagai polisi adat yang memiliki "taksu" dalam menjaga ketertiban di masyarakat harus bisa menciptakan suasana tenteram dan damai dengan pemberdayaan kearifan lokal.

Perlu kita sadari, hukum dibuat untuk menegakkan kebenaran dari setiap peraturan tertulis dan juga yang tidak tertulis. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kita diharuskan untuk mentaatinya. Namun di luar hukum ternyata masih ada "hukum" yaitu kaidah-kaidah sosial lain. Hukum dan kaidah sosial lain sama-sama menghuni jagat ketertiban yang sama. 

Keduanya sama-sama menjalankan fungsi pengaturan, yaitu memberi panduan terhadap perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Keduanya menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Adanya wabah covid-19 ini juga tentu terdapat nilai positif di dalamnya, yaitu: kita lebih ingat menjaga kebersihan, kita lebih peduli kepada sesama, kita menjadi lebih ingat kepada Tuhan. 

Dengan fenomena seperti ini menjadikan kita umat manusia semakin menghargai manusia, alam/lingkungan dan juga sang pencipta, itulah filosofi Tri Hita Karana. Mari kita bersama-sama mencegah virus ini dari desa adat untuk NKRI tercinta. Sekian, terimakasih.

by :

Made Gede Arthadana, S.H., M.H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun