Mohon tunggu...
Made Gede Arthadana
Made Gede Arthadana Mohon Tunggu... Dosen - Magister Ilmu Hukum

noch suchen die juristen eine begrijpen von recht

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Desa Adat Vs COVID-19

7 Juni 2020   21:21 Diperbarui: 7 Juni 2020   21:29 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Adapun Prof. Dr. Cornellis Van Vollenhoven menyatakan hukum adat adalah aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan orang-orang timur asing yang disatu pihak mempunyai sanksi (dapat dikatakan sebagai hukum) dan dilain pihak tidak dikodifikasikan (dikatakan adat). oleh karena itu hukum adat ada yang memiliki sanksi dan ada pula adat yang tidak memiliki sanksi. 

Adat yang memiliki sanksi disebut dengan hukum adat, sedangkan yang tidak memiliki sanksi adalah kebiasaan. Jadi dikatakan hukum adat ialah hukum orang Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan dan disana sini mengandung unsur agama. Hal ini senada dengan Teori dari Van Den Berg yaitu Receptio in Complexu yang pada intinya hukum adat mengikuti hukum agama yang dipeluk oleh masyarakat adat tersebut.

Sehingga hukum adat berbeda dengan hukum kebiasaan. Perbedaannya adalah hukum kebiasaan adalah tata cara hidup masyarakat atau bangsa dalam waktu yang lama. Hukum ini memberi pedoman bagi masyarakat untuk berpikir dan bersikap dalam menghadapi berbagai hal di kehidupan dan hukum kebiasaan tidak mengikat seperti hukum adat. 

Oleh karena itu apabila kebiasaan sudah diterima oleh masyarakat dan dilakukan secara berulang, maka segala tindakan yang bertentangan dengan kebiasaan akan dirasakan sebagai perbuatan yang melanggar hukum. Hukum kebiasaan dibentuk oleh lingkungan setempat. Kebiasaan dalam pergaulan hidup di masyarakat dipandang sebagai hukum.

Kedudukan hukum adat juga tersirat dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat". Pengakuan keberadaan hukum adat hal ini dapat dilihat dari frase "nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat". 

Demikian pula Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang yang sama menyatakan "Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum yang tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili". Frase sumber hukum yang tidak tertulis mengindikasikan pengakuan terhadap nilai-nilai hukum adat yang umumnya disebut hukum yang tidak tertulis.

Hukum adat yang berlaku dalam masyarakat hukum adat Bali ialah Hukum Adat Bali. Hukum Adat Bali merupakan kompleks norma-norma, baik dalam wujudnya yang tercatatkan maupun yang tidak tercatatkan, berisi perintah, kebolehan dan larangan, yang mengatur kehidupan masyarakat hukum adat Bali yang menyangkut hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan lingkungan alamnya, dan hubungan antara manusia dengan Tuhannya dengan tujuan mensejahterakan umat manusia (sukerta sekala niskala). 

Hukum Adat Bali sangat kental dengan pengaruh agama Hindu, karena kuatnya pengaruh agama Hindu sehingga sulit membedakan mana aspek kehidupan orang Bali bersumber dari kebudayaan, tradisi maupun kebiasaan masyarakat Bali dan mana yang bersumber dari agama Hindu.

Tujuan hukum adat Bali adalah adanya keharmonisan hubungan antara manusia, alam lingkungan dan penciptanya yang merupakan penerapan filosofi Tri Hita Karana, yaitu tiga penyebab kesejahteraan (Tri berarti tiga, Hita berarti kesejahteraan, kebahagiaan, Karana berarti penyebab). Berdasarkan filosofi tersebut ada tiga unsur yang mempengaruhi kehidupan umat manusia di dunia ini, yaitu : (1) Sanghyang Jagatkaranan, yaitu Tuhan, (2) Bhuanan, yaitu alam semesta, dan (3) Manusa, yaitu manusia.

Pasal 1 angka 8 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali menyebutkan Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun dalam ikatan tempat suci (kahyangan tiga atau kahyangan desa), tugas dan kewenangan serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Setiap desa adat mempunyai awig-awig, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Pasal 1 angka 29 Perda Desa Adat menyatakan Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh Desa Adat dan/ atau Banjar Adat yang berlaku bagi Krama Deas Adat, Krama Tamiu, dan Tamiu. Dalam awig-awig inilah sebetulnya seluruh kegiatan masyarakat adat diatur secara terintegerasi. Aspek ekonomi, politik, sosial, dan budaya mendapat perhatian yang proporsional. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun