Mohon tunggu...
Made Gede Arthadana
Made Gede Arthadana Mohon Tunggu... Dosen - Magister Ilmu Hukum

noch suchen die juristen eine begrijpen von recht

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Desa Adat Vs COVID-19

7 Juni 2020   21:21 Diperbarui: 7 Juni 2020   21:29 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau kata Loeby Loeqman, sanksi adat yang bertentangan dengan keadilan dikatakan bersifat kurang atau tidak adil. I Made Widnyana mengatakan jenis-jenis sanksi adat dikelompokkan menjadi 2 yaitu :

1. Sanksi adat yang sama sekali ditinggal oleh masyarakat karena tidak sesuai dengan keadaaan. Olehnya dilarang dengan tegas oleh pihak yang berwenang dengan peraturan perundang-undangan. Contoh : Kapademang (dibunuh), Katugel Limane (dipotong tangannya), dan lain-lain.

2. Sanksi adat yang masih berlaku sepenuhnya dan berlaku dalam masyarakat adat Bali dan berlaku dalam awig-awig suatu desa yaitu :

Danda (denda); Maprayascitta (membuat upacara pembersihan menurut agama Hindu); Kawasang mabanjar/madesa (diberhentikan sebagai warga Banjar atau Desa).

Penggunaan sanksi adat harus jelas disebutkan untuk mengatur tata tertib masyarkat di saat adanya pandemic seperti ini, karena tidak semua jenis sanksi adat bisa diterapkan utk seluruh komponen masyarakat. Adat yang satu berbeda dengan adat yang lainnya di tiap-tiap desa adat sehingga untuk menjatuhkan sanksi adat A di wilayah B harus seizin pelaku yang berasal dari wilayah C. 

Jangan sampai penerapan sanksi adat ini menyimpang dan jauh dari nilai-nilai Hak Asasi Manusia dan prinsip adat yang dilandasi agama Hindu. Penerapan sanksi yang disertai dengan kekerasan akan semakin menunjukkan sikap arogan desa adat itu sendiri kepada warganya. 

Penerapan sanksi adat menurut hukum adat adalah utamanya untuk mendidik dan memberi efek jera, bukan untuk menghukum apalagi menjatuhkan martabat seseorang warga. Cara-cara penjatuhan sanksi adat yang bersifat menghukum (menghakimi) seseorang apalagi disertai dengan kekerasan serta penuh kebencian sehingga membuat suasana menakutkan dan mencekam, hal ini dapat berimplikasi pelanggaran HAM, padahal seharusnya diselesaikan dengan prinsip musyawarah untuk mufakat sehingga tercipta Win-win solution". 

Inilah hukum, yang memang berbicara dan berurusan dengan ketertiban. Hukum menempatkan diri sebagai penjaga, pengatur dan produsen ketertiban. Oleh karena itu ia tampil dengan membuat macam-macam peraturan, suruhan dan larangan, sehingga dapat dikatakan hukum menjadi sebuah institusi normatif.

Dapat dikatakan, pandemic virus corona ini sebagai Arus globalisasi yang telah melanda berbagai belahan dunia. Dampaknya sangat dirasakan oleh Negara dan masyarakat, khususnya negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. 

Kekuatan-kekuatan global yang begitu dahsyat baik di bidang ekonomi, politik, sosial, maupun budaya yang dibawa oleh arus globalisasi telah menghantam kekuatan-kekuatan lokal, sehingga menimbulkan dampak terjadinya perubahan secara cepat , drastis dan bahkan seringkali tidak terkendali yang pada akhirnya telah menggoyahkan beberapa sendi kehidupan beragama dan bermasyarakat. 

Di Bali kita menjumpai interaksi yang lebih nyata antara hukum negara dan hukum adat setempat. Situasi di Bali menonjol disbanding dengan daerah-daerah lain di Indonesia, karena keberadaan komunitas (asli) Bali memang masih kokoh. Institusi subak dan pacalang (polisi adat) membuktikan kekokohan tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun