Sebuah pengalaman salah seorang tetangga yang pernah malang-melintang mengembangkan usahanya di bidang kredit perabotan rumah tangga, di kota Jakarta sejak awal tahun 70-an hingga ahir 80-an, seringkali menuturkan satu pengalamannya yang tidak pernah terlupakan sampai sekarang.
Memang orang Tasikmalaya pada umumnya sejak tempo doeloe dikenal sebagai wirausaha yang ulet dan tekun.Â
Salah satu usaha yang mengangkat nama Tasikmalaya, adalah usaha kredit, atau warga Tasikmalaya sendiri lebih suka melafalkannya dengan kata kiridit.Â
Hal itu bisa jadi lantaran lidah warga Tasikmalaya yang kental dengan bahasa Sunda. Sehingga orang yang bergerak di bidang usaha itupun disebut sebagai tukang kiridit.Â
Sementara barang yang dijualnya dengan pembayaran yang dilakukan secara diangsur dalam jangka waktu tertentu, ada yang secara harian, ada mingguan, per dua mingguan, sampai setiap bulan sekali. Tergantung dari kesepakatan perjanjian antara penjual dengan pembeli.
Bahkan ada juga yang musiman. Bagi tukang kredit musiman biasanya banyak beroperasi di daerah yang mengandalkan usaha dari hasil bertani. Seperti misalnya di daerah Karawang yang sebagian besar warganya banyak bercocok tanam padi di sawah.Â
Untuk tukang kredit yang satu ini, mereka menjajakan barang dagangannya di saat musim tanam padi, dan bila musim panen, baru dipungut bayarannya sekaligus.
Oleh karena itu setiap pelaku usaha kiridit, selalu memegang buku catatan daptar para konsumen yang dicatat dengan model sederhana, mulai dari nama konsumen, barang yang dibelinya, dan waktu pembayaran angsurannya.
Biasanya buku tulis tukang kiridit, atau kredit, adalah buku tulis yang tebal. Dengan ukuran yang bervariasi. Kadang ada yang berukuran buku notes, dan ada juga yang berukuran normal. Tergantung selera pedagang itu sendiri, atau banyak dan sedikitnya konsumen yang memiliki utang.
Sementara harga barang yang dijual tidak akan sama dengan harga yang dibayar secara cash, atau tunai. Biasanya tukang kiridit menawarkan kelebihan harga sesuatu barang sekitar 30 - 50 persen lebih tinggi dari harga tunai.
Begitulah kira-kira gambaran singkat tukang kredit yang kebanyakan datang dari pelosok kampung di Tasikmalaya, dan mengembangkan usahanya di kota-kota besar. Seperti misalnya di Jakarta, Bandung, bahkan di tahun 80-an ke belakang, dimana sedang booming-nya usaha kreditan, hampir di setiap daerah di Indonesia ini dapat ditemui tukang kredit yang berasal dari Tasikmalaya.
 Tetangga saya yang satu ini, bisa dikatakan pernah meraih kesuksesan di masa jayanya di bidang usaha kreditannya sampai-sampai pernah memiliki anak-buah sebanyak dua puluh orang.
Biasanya anak-buahnya itu merupakan warga satu kampung, dan kebanyakan masih pemuda lajang. Bahkan tidak sedikit anak remaja yang sekarang ini biasanya disebut anak baru gede (ABG, yang baru dua-tiga tahun tamat sekolah dasar pun sudah ikut menjadi anak-buahnya.
Adapun para pelanggannya, rata-rata masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Termasuk kaum urban yang tinggal di Jakarta hanya sementara saja. Baik yang bermata pencaharian pedagang, buruh pabrik, sampai tukang becak maupun sopir angkutan umum.
Tempat tinggalnya pun biasanya mengontrak rumah bedeng berpetak-petak. Terkadang juga kaum urban tersebut tidak menetap di satu kamar kontrakan saja, melainkan banyak yang berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain.Â
Bisa jadi hal itu bagi tukang kredit merupakan pengalaman yang cukup pahit. Tidak sedikit orang yang baru mengambil barang kreditannya, dan baru memberikan uang muka, keesokan harinya ternyata sudah pindah ke tempat lain. Atau juga bahkan kembali ke kampung halamannya.
Selain itu, dan ini yang disebutnya sebagai pengalaman yang tak pernah terlupakan oleh tetangga saya itu, adalah pengalaman yang dialami oleh salah seorang anak-buahnya.
Adapun anak-buahnya tersebut seorang ABG berusia sekitar 15 tahun, dan suatu ketika anak-buahnya itu pernah satu hari satu malam menghilang.
Tentu saja sebagai majikannya, tetangga saya itu dibuat kerepotan karenanya. Karena yang biasanya berangkat pagi pulang sore, sampai lewat malam tidak datang-datang.
Oleh karena itu bersama seluruh anak-buahnya tetangga saya mencari salah seorang anak-buahnya itu ke setiap tempat yang biasa dikunjungi oleh anak tersebut. Tapi sampai hampir waktu Subuh, yang dicari tidak ditemukan.
Barulah keesokan harinya, sekitar pukul enam anak-buahnya itu muncul kembali di rumah kontrakan tetangga saya itu.Â
Hanya saja di samping merasa lega karena yang hilang muncul kembali, di sisi lain tetangga saya dan anak-anak buahnya dibuat keheranan melihat anak tersebut.
Selain seperti orang yang linglung, tas tempat menyimpan uang pun tampaknya tidak terlihat jangankan diselempangkan di pundaknya seperti biasanya, ditengtengan tangannya pun sama sekali tidak tampak terlihat.Â
Jangan-jangan anak itu telah menjadi korban perampokan, pikir tetangga saya. Terlebih lagi dengan melihat penampilannya selain seperti orang linglung, tidak berkata barang sepatah kata pun, tampak tubuh dan pakaiannya kusut pula, dan seperti orang yang habis terkuras tenaganya.
Oleh karena itu, segera tetangga saya menyuruh salah seorang anak-buahnya untuk memberi minum kepada anak-buahnya yang baru datang itu.
Sejurus kemudian, setelah minum segelas air, tiba-tiba anak itu meraung-raung, menangis seperti bocah yang ditinggal mati oleh orang tuanya.
Tentu saja semua orang jadi kebingungan melihatnya. Sehingga sebagai seorang majikannya, tetangga saya berusaha untuk menenangkannya sambil bertanya-tanya, apa gerangan yang telah terjadi.
Satu jam kemudian barulah anak itu menjadi tenang, dan dengan terbata-bata dia pun menceritakan apa yang terjadi selama menghilang selama satu malam itu.
Menurut pengakuan anak itu, waktu menagih hutang kepada salah seorang langganannya, bukannya diberi uang angsuran, tapi dipaksa untuk menemaninya tidur.
Bukan hanya menemani tidur saja, ternyata anak itu pun dipaksa, katanya, untuk melakukan hubungan sebagaimana halnya sepasang suami-istri.Â
Menurut pengakuan anak itu, meskipun dirinya sudah menolaknya dengan berbagai cara, tetap saja dipaksa untuk menemaninya. Malahan dipaksa secara kasar oleh perempuan itu. Kedua tangan dan kakinya sampai  diikat tak berdaya.
Apa boleh buat. Sepanjang malam keperjakaan anak itu diperas hingga tandas. Lalu keesokan harinya, anak itu disuruh pulang, uang dan tasnya pun dirampasnya. Begitu juga utangnya pun dianggap lunas.Â
Ketika anak itu meminta uang dan tasnya untuk dikembalikan, perempuan itu malah mengancamnya akan berteriak kalau dirinya sudah diperkosa oleh anak itu.
Anak itupun jadi semakin tak berdaya dengan ancaman tersebut. Dirinya kebingungan. Tak mampu berbuat apa-apa lagi.Â
Untuk meyakinkan pengakuan anak itu, tetangga saya kemudian mencari perempuan tersebut. Dan ternyata tidak salah lagi. Menurut keterangan tetangga kanan-kiri kamar kontrakannya, perempuan itu memang seorang wanita nakal, dan tadi pagi pun sudah pamitan mau pindah ke kontrakan lain di wilayah yang jauh... ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H