Ketika tiba waktu shalat Maghrib, telepon genggam tetangga saya kembali berdering. Namun karena tanggung sudah siap hendak mendirikan shalat, telepon pun tidak sempat diangkat. Dan usai shalat, saat dilihat panggilan itu ternyata dari nomor sang jagoan yang sekarang sudah jadi teman akrabnya.
Tetangga saya jadi bertanya-tanya. Ada apa gerangan sampai sudah dua kali memanggilnya? Dan saat akan berangkat tidur, kembali teleponnya berbunyi. Masih dari sang preman itu ternyata. Hanya saja waktu akan diajawab, panggilan itu pun sudah dimatikan.
Tetangga saya pun semakin penasaran. Sang preman itu sudah tiga kali kirim misscall dalam satu hari ini. Sehingga ahirnya dia memutuskan untuk pergi ke rumah sang preman besok pagi nanti.
Pagi-pagi benar, selesai shalat Subuh, tetangga saya pamitan kepada istrinya. Dengan sepeda motor yang selalu setia menemaninya, dia langsung menuju ke kecamatan itu. Menemui sang preman, tentu saja.
Setibanya di rumah sang preman, tetangga saya disambut oleh istrinya. maka ia pun langsung bertanya, “Teh, Si Akangnya kemana?”
“Si Akangnya sudah gak ada koq,” sahut istri tuan rumah dengan nada suara yang datar saja. Saat itu, tetangga saya mengira orang yang ditanyakannya itu sudah berangkat kerja. Maka ia pun bertanya, “Teh (Bhs. Sunda. Panggilan akrab untuk perempuan yang lebih tua), ada apa ya Si Akang sampai tiga kali menelpon saya tadi malam?”
“Apa???” isteri sang preman bukannya menjawab pertanyaan tetangga saya, malahan seperti tidak percaya saja dengan pertanyaan itu.
“Ini buktinya,” kata tetangga saya sambil mendekatkan layar telepon genggamnya pada wajah perempuan yang masih terbelalak itu. “Ini nomor Si Akang ‘kan?”
Tanpa disangka-sangka, perempuan itu meraung menangis sejadi-jadinya seketika itu juga. Tetangga saya pun terheran-heran dibuatnya, tentu saja. lalu sambil memegang bahu tuan rumah, dan menggoyang-goyangkannya beberapa kali, ia pun bertanya, “Kenapa Teh, ada apa Teteh menangis?”
Dengan masih diselingi sedu-sedan, perempuan itu menjawab, “Sudah tujuh hari ini Si Akang meninggal dunia...”
Sesaat tetangga saya tidak percaya dengan jawaban isteri sang preman. Namun setelah kemudian dijelaskan oleh perempuan itu, bahwa suaminya ketika itu mendapat serangan jantung, dan tidak tertolong lagi, barulah dirinya mempercayainya. Apa lagi setelah melihat sekeliling rumah yang tampak masih banyak tanda-tanda berkabung, ditambah lagi ketika dirinya diajak masuk ke dalam kamar.