Mendengar cerita yang pernah dialami seorang tetangga ini, pada awalnya saya tidak begitu menanggapi. Apakah ini hanyalah hoax, isapan jempol, atawa sekedar ilusi tetangga saya itu sendiri, atawa juga hanya untuk ‘bumbu’ obrolan ngalor-ngidul saat minum kopi, saya sendiri tidak tahu pasti.
Hanya saja yang jelas sepertinya dia sendiri mengetahui kalau saya tidak mempercayai yang telah disampaikannya tadi. Kemudian dia merogoh kantong celananya. Telepon genggam miliknya dikeluarkan, dan untuk beberapa saat dia memencet-mencet tombol keypad-nya.
“Nah, ini dia nomornya pun sampai sekarang masih saya simpan,” ujarnya sambil menyodorkan telepon genggamnya pada saya. Sekilas saya melihatnya. Kemudian mengangguk, sambil mengalihan pandangan ke arah jalanan yang tampak basah dan sepi.
“Kalau Akang belum percaya, besok saya siap mengantar Akang untuk menemui istrinya,” katanya lagi seolah memaksa saya untuk mempercayai ceritanya tersebut.
Sungguh. Pengalaman tetangga saya ini, yang diceritakannya tadi, sama sekali tidak dapat diterima oleh nalar. Masa orang yang sudah tujuh hari meninggal, dan sudah dikubur dalam liang lahat, serta sudah ditimbun tanah, masih bisa memegang handphone yang ada di rumahnya?
“Omong kosong macam apa ini, tega-teganya orang yang satu ini membual seperti itu. Memangnya saya ini anak kecil?” gerutu saya dalam hati sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.
Sementara yang keluar dari mulut malah,”Awal mula cerita mendapat panggilan telpon dari orang yang sudah tujuh hari mati itu bagaimana?” tanya saya dengan memberikan tekanan pada kata ‘meninggal’.
Sebagai pedagang kain keliling, memang jarang sekali saya dapat lama bercengkerama dengan tetangga yang satu ini. Saya hanya bertegur sapa seperlunya saja ketika saban pagi dia lewat di depan rumah untuk berkeliling dari kampung yang satu ke kampung lain untuk menjajakan dagangannya.
Dalam seminggu paling hanya sekali saja saya bisa kongkow bareng dengannya. Karena saban hari Jum’at dia tidak berjualan, maka Jum’at malamnya iapun ikut nimbrung di warung kopi langganan kami.
Entah karena habis turun hujan yang lumayan lebatnya, entah karena memang siangnya ada seorang warga yang meninggal dunia, pengunjung warung kopi pun malam Sabtu itu tidak sampai genap lima jari.
Selain saya dan tetangga yang berprofesi sebagai pedagang kain keliling itu, ditambah oleh seorang anak bujang yang baru saja turun dari ojek yang mengantarnya dari kota kecamatan.
Mungkin karena itu juga topik pembicaraan kami tidak jauh dari warga yang meninggal tadi siang. Karena faktor usia yang sudah tua, ditambah juga dengan penyakit tbc yang sudah lama dideritanya.
Tiba-tiba saja tetangga saya yang pedagang kain keliling itu menceritakan sebuah kejadian yang dialaminya itu. Dan peristiwa itu bermula dari perkenalannya dengan seorang preman yang lumayan terkenal di seantero wilayah Kabupaten Ciamis bagian utara yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Majalengka bagian tenggara.
Suatu hari, saat berkumpul dengan beberapa teman sesama pedagang keliling di pasar kecamatan itu, tetangga saya mendapat tantangan dari salah seorang temannya untuk menawarkan kain dagangannya pada isteri si preman.
Bisa jadi tantangan yang diberikan pada tetangga saya itu, katanya, entah karena tetangga saya adalah pedagang keliling yang baru masuk di wilayah tersebut, atawa juga entah mengingat selama ini belum pernah seorang pun para pedagng keliling yang berani menghampiri rumah jagoan di kecamatan tersebut. Sebab setiap hendak mendekat ke arah rumah preman itu, para tetangga selalu saja ada yang memperingatkannya agar jangan mendatanginya.
“Bukannya untung yang bakal diterima, tetapi malah akan pulang dengan tangan buntung!” Begitu yang banyak didengar pedang keliling.
Dan itu bukan sekedar isapan jempol belaka. Sebelum masuk ke wilayah kecamatan itu, tetangga saya pun sudah seringkali mendengar kesadisan jagoan tersebut. Apabila ada keributan dalam hiburan wayang golek, atawa dangdutan, terutama kalau sampai memakan korban yang terkena sabetan pedang, yang jadi biang keroknya sudah dapat dipastikan nama sang jagoan itu yang akan disebutkan.
Mendengar tantangan itu, tetangga saya bukannya ciut nyalinya. Malah sebaliknya, tantangan tersebut dianggapnya justru sebagai sesuatu yang menarik.
Betapa tidak. Selama ini, tetangga saya memang lumayan luwes pergaulannya. Bahkan dengan anak-anak preman kampung sebelah yang suatu ketika hendak menyerang ke kampung kami, gara-gara keributan di dalam pertandingan sepak bola, karena berkat caranya berkomunikasi yang baik, hanya dilakukan tetangga saya seorang diri, alias tanpa melibatkan ketua keamanan kampung, maupun aparat dari kepolisian, para penyerang itu pun tidak jadi melakukan niatnya, bahkan saat itu juga kedua belah pihak dapat didamaikannya.
Oleh karena itu tantangan teman-teman sesama pedagang keliling pun langsung diterimanya. Tokh niatnya datang ke rumah preman itu pun bukan untuk menantangnya berkelahi, melainkan untuk mencoba peruntungan, sekalian juga berkenalan dengan preman yang disebut orang jarang bicara dengan mulutnya melainkan lebih sering dengan pedang panjangnya itu.
Tanpa banyak berpikir lagi, tetangga saya pun langsung menuju rumah preman itu yang memang tidak jauh dari warung tempat kongkow para pedagang keliling tadi. Dan tanpa menghiraukan omongan, maupun isyarat para tetangga dekat rumah sang preman, tetangga saya langsung mengetuk pintu rumahnya sambil mengucap salam ketika tiba di sana.
Ketika pintu terbuka, dan muncul sesosok tubuh pria yang tinggi besar, sementara matanya yang memerah meyorot tajam, tetangga saya, akunya, dengan sikap ramah langsung menyodorkan tangan, untuk mengajak bersalaman pada pemilik rumah.
Memang benar, seperti sering didengarnya, dari gaya bicaranya yang ketus, ditambah dengan bahasa yang kasar, tetangga saya pada awalnya pun mengakui kalau preman itu seorang yang sulit untuk berkompromi.
Akan tetapi tetangga saya tidak sedikitpun merasa gentar, juga tidak terpancing sama sekali. Dirinya tetap berusaha untuk bersikap ramah. Kemudian memperkenalkan diri, selain sebagai pedagang keliling, juga karena mengaku sering mendengar nama sang preman yang sudah terkenal, tetangga saya meminta ijin untuk berdagang di wilayahnya.
Entah karena tersanjung oleh celoteh tetangga saya itu, atawa entah karena apa, sang preman itu ahirnya menyambut baik kehadiran tetangga saya. Malahan setelah berbasa-basi, tuan rumah langsung memanggil istrinya, dan menyuruh untuk mengambil beberapa lembar kain yang disukainya.
Hanya saja, sang preman mengaku kalau tidak bisa membayar semua barang yang diambil isterinya, “Agar kamu sering datang ke sini lagi, bagaimana kalau sisanya dibayar minggu depan?” tanya sang preman penuh keakraban.
Sebagai pedagang, meskipun dalam hatinya muncul sedikit keraguan, namun tetangga saya pun ingin mencoba kejujuran pelanggan barunya itu. Dan siapa tahu kalau sudah sering ketemu, paling tidak malah akan memberi ‘nilai lebih’ di mata sesama para pedagang keliling yang tadi menantangnya itu.
Setelah ngobrol ngalor-ngidul, dan bertukar nomor telepon genggam, tetangga saya pamitan pada tuan rumah.
Tiga hari kemudian, pagi-pagi telepon genggam tetangga saya berdering. Ternyata dari sang preman itu yang memintanya untuk datang hari itu juga, karena kebetulan sedang ada uang untuk melunasi sisa pembayaran kain yang dibelinya.
Tanpa menunggu lagi tetangga saya pun bergegas menuju ke wilayah kecamatan tempat sang preman itu. Betul juga, setibanya di sana sang preman membayar lunas utangnya. Selain itu dia pun menyuruh teman-temannya yang kebetulan sedang bertamu untuk membeli kain yang dibawa tetangga saya, yang diakui sang preman sebagai saudaranya.
Singkat cerita, setelah itu, tetangga saya setiap berkeliling di wilayah kecamatan itu, selalu menyempatan untuk berkunjung ke rumah sang jagoan. Selain membuat teman-teman sesama pedagang keliling keheranan, para preman lain di wilayah itu tak seorang pun ada yang mengganggu tetangga saya, barang dagangannya pun seringkali terjual banyak.
Meskipun demikian, bisa jadi tetangga saya tidak termasuk orang yang suka bersikap aji mumpung. Dia tetap mengatur jadwal kelilingnya secara periodik. Maksudnya dalam satu bulan, daerah di setiap empat arah mata angin sudah mendapat bagian yang tetap.
Akan tetapi baru saja sekitar sembilan hari tidak ketemu dengan sang preman itu, di sustu pagi hari dia menerima panggilan lewat telepon genggamnya. Hanya saja saat akan dijawab, dering panggilan itu pun sudah keburu mati. Apa boleh buat, karena hari itu kebetulan pulsanya sudah habis, tetangga saya tidak bisa menelpon balik.
Ketika tiba waktu shalat Maghrib, telepon genggam tetangga saya kembali berdering. Namun karena tanggung sudah siap hendak mendirikan shalat, telepon pun tidak sempat diangkat. Dan usai shalat, saat dilihat panggilan itu ternyata dari nomor sang jagoan yang sekarang sudah jadi teman akrabnya.
Tetangga saya jadi bertanya-tanya. Ada apa gerangan sampai sudah dua kali memanggilnya? Dan saat akan berangkat tidur, kembali teleponnya berbunyi. Masih dari sang preman itu ternyata. Hanya saja waktu akan diajawab, panggilan itu pun sudah dimatikan.
Tetangga saya pun semakin penasaran. Sang preman itu sudah tiga kali kirim misscall dalam satu hari ini. Sehingga ahirnya dia memutuskan untuk pergi ke rumah sang preman besok pagi nanti.
Pagi-pagi benar, selesai shalat Subuh, tetangga saya pamitan kepada istrinya. Dengan sepeda motor yang selalu setia menemaninya, dia langsung menuju ke kecamatan itu. Menemui sang preman, tentu saja.
Setibanya di rumah sang preman, tetangga saya disambut oleh istrinya. maka ia pun langsung bertanya, “Teh, Si Akangnya kemana?”
“Si Akangnya sudah gak ada koq,” sahut istri tuan rumah dengan nada suara yang datar saja. Saat itu, tetangga saya mengira orang yang ditanyakannya itu sudah berangkat kerja. Maka ia pun bertanya, “Teh (Bhs. Sunda. Panggilan akrab untuk perempuan yang lebih tua), ada apa ya Si Akang sampai tiga kali menelpon saya tadi malam?”
“Apa???” isteri sang preman bukannya menjawab pertanyaan tetangga saya, malahan seperti tidak percaya saja dengan pertanyaan itu.
“Ini buktinya,” kata tetangga saya sambil mendekatkan layar telepon genggamnya pada wajah perempuan yang masih terbelalak itu. “Ini nomor Si Akang ‘kan?”
Tanpa disangka-sangka, perempuan itu meraung menangis sejadi-jadinya seketika itu juga. Tetangga saya pun terheran-heran dibuatnya, tentu saja. lalu sambil memegang bahu tuan rumah, dan menggoyang-goyangkannya beberapa kali, ia pun bertanya, “Kenapa Teh, ada apa Teteh menangis?”
Dengan masih diselingi sedu-sedan, perempuan itu menjawab, “Sudah tujuh hari ini Si Akang meninggal dunia...”
Sesaat tetangga saya tidak percaya dengan jawaban isteri sang preman. Namun setelah kemudian dijelaskan oleh perempuan itu, bahwa suaminya ketika itu mendapat serangan jantung, dan tidak tertolong lagi, barulah dirinya mempercayainya. Apa lagi setelah melihat sekeliling rumah yang tampak masih banyak tanda-tanda berkabung, ditambah lagi ketika dirinya diajak masuk ke dalam kamar.
Dan di sana diperlihatkan bungkusan barang-barang milik sang preman, termasuk telepon genggamnya yang masih tersimpan dalam saku celana yang, katanya, terahir kali dipakainya. Maka seketika itu tetangga saya pun merasa tubuhnya bergidik. Terlebih lagi setelah dikatakan perempuan itu, bahwa barang-barang milik suaminya sejak dari rumah sakit tidak pernah ada yang membukanya hingga saat itu.
Wallahu ‘alam.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H