***
Satu-persatu, capung-capung nan genit aku buatkan pesawat kertas. Hanya Sem yang membuat sendiri, yang lain belum bisa. Akhirnya, lima pesawat kertas ada di tangan capung-capung nan genit.
“Ayo anak-anak, mainnya cukup di halaman rumah ini”
“Kalau main di rumah Zaky, Om?” Tanya Agis. Berharap.
“Gak boleh. Sebentar lagi sore. Silahkan terbangkan pesawat kalian sampai jam empat sore. Setelah itu kalian pulang untuk mandi. Paham?”
Capung-capung nan genit hanya mengangguk. Lantas, berhamburan ke halaman. Suara-suara centil mereka berbaur dengan suara-suara burung emprit dan kutilang yang mulai bertengger di pohon-pohon sekitar halaman rumah.
Sore begitu terasa cepat datang. Capung-capung nan genit seakan tak pernah lelah menerbangkan pesawat-pesawat kertasnya. Menerbangkan dunia bermainnya. Dunia anak-anak yang riang gembira.
Malam ini, kulihat Agha tertidur pulas. Ada senyum yang ia sungging. Senyum mimpi indah. Mungkin mimpi tentang bagaimana menerbangkan pesawat impiannya. Bukan lagi pesawat kertas mainannya.
***
Sampai di sini, aku tuliskan puisi. Untuk capung-capung nan genit.
Mencari capung-capung dengan tangan gemetaran. Adalah ketakutan yang menghantui. Bersekutu dengan bayangan. Menguak celah, di mana ada setan. Tahu khan kau, apa itu setan? Bisiknya…