Agha, bulu matanya lentik, daun telinganya seperti Cupid. Pinter ngomong, selalu ada bahan untuk dibicarakan. Agis, yang paling mungil, alis matanya kalau hampir menyatu, gemesin bagi yang melihatnya.
Hendri, rambutnya yang “jegrak” selalu membayangkan jagoan “Mohawk”. Apalagi bibirnya nan tipis mungil, pingin nyubit saja. Sem, si pendiam, diajak ngomong hanya senyum. Sekali jawab, hanya kata “Ya’ dan “Tidak” yang sering ke luar. Tak lebih, tak kurang.
Empat sekawan anak-anak barter “barat terminal” ini, kuumpamakan capung-capung. Keempatnya gesit-gesit. Gampang muncul. Gampang menghilang jika sudah main di beranda rumah. Tingkah mereka genit-genit. Ada saja yang diomongin. Ada saja yang dimainin. Ada saja yang diminta.
Nah, kalau sudah meminta sesuatu, tingkah genit mereka minta ampun. Mereka akan duduk di lantai beranda. Berderet seperti hulubalang dari negeri antah berantah. Menghadap sang maharaja. Coba bayangkan.
Yang paling membuatku kadang gak nahan, pandang mata mereka yang bening. Duh, mata bening nan polos. Sangat memancarkan suatu harapan yang dirindukan dunia anak-anak. Capung-capung yang semula lincah bergerak, diam menatap penuh harap di depan sang maharaja. Rasanya, pingin nyubit pipi mereka yang montok-montok.
***
Agha, anak semata wayangku yang umur tujuh tahun, jam satu siang tadi dijemput kawanan capung genit. Mereka minta ijin bermain di sekitar musholla yang letaknya tiga gang dari rumahku. Berhubung hari libur, sudah makan dan sempat tidur siang, aku ijinkan. Namun, azan Asar sudah harus di rumah. Begitu pesanku.
Capung-capung genit itu sangat senang. Spontan memancal sepeda masing-masing penuh semangat menuju musholla. Hingga, sepi kembali terlelap di beranda.
Detak jam dinding kurasakan seperti benturan-benturan ombak ke tebing-tebing curam. Jarum jam menunjukkan angka tiga sore hari. Sepi memagut, menunggu capung-capung nan genit yang tak jua muncul.
Bukan hanya sepi yang kurasa. Menunggu dan menunggu, selalu menjengkelkan. Bahkan pikiran-pikiran yang bukan-bukan mulai gentayangan menghantui, di sore yang pengap ini.
Pikiran jangan-jangan terjadi sesuatu. Jangan-jangan bermain ke terminal yang ramai kendaraan. Jangan-jangan sudah sampai di jembatan sungai yang cukup dalam. Betul-betul menjelma hantu menakutkan dalam pikiranku.