“Maaf, Bapak siapa?”
“Aku yang dulu membuka lahan sawah di sekitar sini”
“Memangnya sawah ini dulu milik Bapak?”
Lelaki tua itu diam. Hanya menatap tajam Purwa.
“Bumi ini milik Sang Maha Pencipta anak muda”
Purwa tercenung. Memaknai dalam-dalam apa yang dikatakan lelaki tua itu.
“Ingat anak muda. Dunia itu ada yang nyata, ada yang tak kasat mata. Namun semua milik Sang Maha Pencipta. Manusia hanyalah sebagian dari makhluk ciptaan-Nya”
Lelaki tua menghilang. Menyusul pintu ruang tamu kembali tertutup rapat tanpa suara. Tetapi pintu tak lagi utuh. Berlubang, cukup besar di bagian tengah agak ke bawah.
Ular-ular sudah mengepung Purwa dari berbagai penjuru. Di ruang tamu, ruang tengah, dapur hingga kamar penuh ular. Berbagai jenis dan ukuran. Semua mendesis dan menatap tajam Purwa.
Mata Purwa membalas liar menatap. Segala arah tak luput dari pandangan. Hingga tertuju pada satu ular di beranda. Jelas terlihat dari lubang pintu depan yang menganga.
Ular paling besar dengan sisik berkilau. Purwa takjub, bukan pada ukuran ular, tapi pada mahkota di kepala ular paling besar. Anehnya lagi, ular ini sikap tubuhnya seperti dongeng “ular naga”. Mulai dari kepala hingga ekor, meliuk-liuk atas-bawah, bukan melata.