Lelaki itu menyedot dalam-dalam rokok lintingnya. Mengepulkan asap rokok cukup kuat searah angin membawa dan menggulung lenyap.
“Anak muda jaman sekarang, kurang awas”
“Maksud Bapak?”
“Nanti Mas akan paham dengan sendirinya. Permisi ya… Mau ngarit dulu. Mumpung masih agak sore”
Aku mengangguk tak ambil pusing dengan apa yang dikatakannya. Lantas kupandangi lagi kepala tukang yang sedang mengukur tinggi tembok sudut belakang rumah yang kubangun. Angin tetiba berdesir mengitari tengkuk. Terasa dingin ganjil, tidak seperti biasanya. Kutoleh arah utara, searah lelaki setengah baya pergi. Namun, tak kutemukan lagi wujud raganya. Seakan lenyap bersama hilangnya rasa dingin yang ganjil.
***
Hari kelima belas. Dinding tembok mulai berdiri. Larik-larik bata merah mulai menjulang. Nampak seperti gudang tua jaman penjajahan Belanda. Kepala tukang menghampiriku.
“Tadi ada yang mencari Mas Purwa”
“Siapa?”
“Lelaki setengah baya. Kapan hari saya lihat pernah ngobrol dengan Mas Purwa”
“Ada keperluan apa?”