Mohon tunggu...
ARIF R. SALEH
ARIF R. SALEH Mohon Tunggu... Guru - SSM

Menyenangi Kata Kesepian dan Gaduh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ubo Rampe

23 Juli 2020   10:15 Diperbarui: 23 Juli 2020   10:32 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pixabay.com

“Bagaimana?” Tanyaku singkat.

Belum ada sepatah katapun ke luar dari bibir manis istriku. Mata indahnya kembali memandang hamparan sawah. Membentang luas di sebelah kiri tanah kavling yang sudah terkotak-kotak rapi. Kembali mata indah itu menatap tajam, ke arah beberapa pohon jati. Pohon yang sengaja ditanam oleh pemilik tanah kavling, sekitar tiga puluh meter dari tanah kavlingku.  

“Baiklah, Mas” Jawabnya datar.

Akhirnya, jawaban yang aku harapkan meluncur juga. Diselingi tatapan tajam menghunjam. Tepat ke arahku. Aku menggenggam tangannya. Terasa hawa hangat menjalar perlahan. Menimpali angin dingin yang juga usil menggoda.

“Besok akan kubuat jalan masuk. Butuh lima cor gorong-gorong agar material bangunan bisa masuk ke tanah kavling kita”

“Terserah Mas. Aku hanya berdo’a. Semoga semuanya lancar dan tidak ada aral melintang”

Aku mengajaknya pulang. Tetapi, istriku tidak segera menurut. Ada sesuatu yang masih menggelayut di keningnya. Pandangannya seakan kembali kosong. Hanya hamparan sawah yang masih ia tatap tanpa kedip.

“Ada apa?”

“Tidak ada apa-apa, Mas”

“Ya sudah. Ayo kita pulang. Mumpung suara Azan Maghrib belum berkumandang”

****

Sejak jalan masuk kavling aku buat, hari-hari cukup lelah kami lalui. Material batu, pasir dan lainnya bergantian datang. Hari kelima, para tukang dan kuli bangunan mulai mengerjakan pondasi rumah.

Kavling tengah sawah yang semula sepi, sedikit ramai oleh canda empat tukang dan lima kuli bangunan. Kepulan asap dari lintingan tembakau kadang terlihat menari di udara. Bau asap rokok ikut nongkrong diantara bunyi benturan batu-batu pondasi. Memang, baru aku satu-satunya orang yang berani membangun rumah di tanah kavling tengah sawah ini.

Aku mencoba menggeser batu agak besar. Bukan untuk apa-apa. Hanya sekedar penopang pantat yang cukup lama berdiri di samping tatanan bata merah. Tiba-tiba aku dikagetkan bau rokok yang agak aneh. Bau kemenyan lebih menusuk hidung dibanding tembakaunya. Belum sempat aku telusuri bau ini, sudah didahului sapaan tanya dari seseorang di samping kiriku.

“Mas yang bangun rumah ini?”

“Bapak siapa?”

“Pencari rumput. Sudah terbiasa dan juga lama merumput di sekitar sini”

Aku pandangi dari ujung kaki hingga ujung rambut. Seorang Bapak setengah baya. Perawakannya kekar dengan tinggi badan yang seimbang.

“Ubo rampenya sudah, Mas?”

“Apa itu Pak?”

“Benar nggak tahu?” Kembali Bapak ini bertanya. Kali ini sorot matanya tajam menatapku.

“Benar Pak”

Lelaki itu menyedot dalam-dalam rokok lintingnya. Mengepulkan asap rokok cukup kuat searah angin membawa dan menggulung lenyap.

“Anak muda jaman sekarang, kurang awas”

“Maksud Bapak?”

“Nanti Mas akan paham dengan sendirinya. Permisi ya… Mau ngarit dulu. Mumpung masih agak sore”

Aku mengangguk tak ambil pusing dengan apa yang dikatakannya. Lantas kupandangi lagi kepala tukang yang sedang mengukur tinggi tembok sudut belakang rumah yang kubangun. Angin tetiba berdesir mengitari tengkuk. Terasa dingin ganjil, tidak seperti biasanya. Kutoleh arah utara, searah lelaki setengah baya pergi. Namun, tak kutemukan lagi wujud raganya. Seakan lenyap bersama hilangnya rasa dingin yang ganjil.

***

Hari kelima belas. Dinding tembok mulai berdiri. Larik-larik bata merah mulai menjulang.  Nampak seperti gudang tua jaman penjajahan Belanda. Kepala tukang menghampiriku.

“Tadi ada yang mencari Mas Purwa”

“Siapa?”

“Lelaki setengah baya. Kapan hari saya lihat pernah ngobrol dengan Mas Purwa”

“Ada keperluan apa?”   

Kepala tukang belum sempat menjawab, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari balik tembok dan erangan kesakitan yang cukup keras. Bergegas kami berdua ke arah suara itu. Diikuti tukang dan kuli lainnya.

Innalillah, salah satu tukang terjatuh, kepalanya tepat membentur sisa tumpukan batu pondasi di belakangnya. Darah mengalir cukup deras. Seorang kuli dengan cekatan menopang tubuh tukang yang terjatuh. Berusaha menyadarkan dengan menepuk-nepuk pipi sang tukang. Namun tidak ada gerakan. Tidak ada sama sekali.

Segera kami mengangkat dan menempatkan tubuh tukang yang jatuh di tempat rindang bawah pohon jati. Kepala tukang dengan sigap memeriksa denyut nadi. Tidak ada reaksi dan tanda gerak denyut nadi. Tanpa pikir panjang, aku meminta segera diangkut ke mobil. Membawa tukang yang terjatuh ke rumah sakit.

Takdir tidak sesuai harapan. Tukang yang jatuh meninggal dunia. Kami yang mengiringi hanya bisa terdiam dan tertunduk lesu. Tak seberapa lama, keluarga tukang yang meninggal dunia berdatangan. Pilu rasanya melihat kesedihan mendalam yang terlihat jelas di depan mata.

Untuk beberapa hari, pembangunan rumah aku hentikan. Entah hari ke berapa. Mungkin sudah masuk hitungan belasan. Dan hari ini, untuk pertama kalinya aku berdiri lagi di tempat sewaktu dulu sempat ngobrol singkat dengan lelaki setengah baya.

Otak kananku mencoba mengingat kalimat terakhir dari lelaki itu. Semakin aku berusaha mengingat, semakin hawa dingin tetiba datang menyergap. Aku arahkan pandangan ke sekeliling. Berusaha mencari, mungkin sosok lelaki itu ada saat ini.

“Nanti Mas akan paham dengan sendirinya”. Yah, kalimat terakhir itu kembali kuingat. Tetapi bukan kalimat ini yang mengusik pikiranku sedemikian dalam,. Justru yang terngiang-ngiang di saat akan tidur adalah kalimat “Ubo Rampe”. Mungkinkah ini penyebab petaka? Ah….aku masih tidak percaya. Sedikitpun tidak percaya!....

Kademangan, 22.07.2020 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun