Sejak jalan masuk kavling aku buat, hari-hari cukup lelah kami lalui. Material batu, pasir dan lainnya bergantian datang. Hari kelima, para tukang dan kuli bangunan mulai mengerjakan pondasi rumah.
Kavling tengah sawah yang semula sepi, sedikit ramai oleh canda empat tukang dan lima kuli bangunan. Kepulan asap dari lintingan tembakau kadang terlihat menari di udara. Bau asap rokok ikut nongkrong diantara bunyi benturan batu-batu pondasi. Memang, baru aku satu-satunya orang yang berani membangun rumah di tanah kavling tengah sawah ini.
Aku mencoba menggeser batu agak besar. Bukan untuk apa-apa. Hanya sekedar penopang pantat yang cukup lama berdiri di samping tatanan bata merah. Tiba-tiba aku dikagetkan bau rokok yang agak aneh. Bau kemenyan lebih menusuk hidung dibanding tembakaunya. Belum sempat aku telusuri bau ini, sudah didahului sapaan tanya dari seseorang di samping kiriku.
“Mas yang bangun rumah ini?”
“Bapak siapa?”
“Pencari rumput. Sudah terbiasa dan juga lama merumput di sekitar sini”
Aku pandangi dari ujung kaki hingga ujung rambut. Seorang Bapak setengah baya. Perawakannya kekar dengan tinggi badan yang seimbang.
“Ubo rampenya sudah, Mas?”
“Apa itu Pak?”
“Benar nggak tahu?” Kembali Bapak ini bertanya. Kali ini sorot matanya tajam menatapku.
“Benar Pak”