Dua tangan Sang Komandan digerakkan. Membentuk sayap burung elang direntangkan. Dan diantara upaya gelar supit urang serdadu Belanda. Sigap prajurit Macan Kumbang. Bergerak mundur. Melebar bagaikan sayap elang. Menghindar dari jepitan supit urang raksasa. Dengan senjata lebih perkasa.
Untuk kesekian kali. Upaya sabotase prajurit Macan Kumbang yang ada di Wonoasih dan sekitarnya gagal. Mereka mundur dengan hati galau. Mengapa harus kembali gagal….
Sesampainya di markas. Sersan Huda dan Kopral Sueb menyambut Sang Komandan dengan wajah tegang. Prajurit Macan Kumbang yang lain segera membentuk posisi siaga. Seperti sudah diskenariokan.
Sang Komandan segera menuju ruangan. Di situ sudah berdiri Sersan Ahmad dan Kopral Wagimin orang kepercayaan. Senapan tua panjang mereka. Siaga menghadapi keadaan.
Pada pojok ruang kiri. Duduk lumpuh sesosok orang. Mata ditutup kain hitam. Belum disingkapkan.
Sang Komandan memandang sosok orang itu. Tidak ia kenal dan bergegas dia duduk di kursi rotan lapuk. Matanya sangar tajam. Setajam mata macan kumbang di kegelapan.
“Sersan Ahmad.. Apapun yang kau katakana. Aku percaya.. cepatlah kau ceritakan!” suara Sang Komandan lantang menggelegar.
“Siap Komandan.. Orang ini kami tangkap sore tadi di daerah Kampung Pecinan. Sesaat setelah keluar dari markas Belanda di Mayangan. Sudah kami kuntit mulai kemarin. Sesuai perintah Komandan” jawab Sersan Ahmad terhenti dan melirik Kopral Wagimin.
“Lanjutkan sersan..” pinta Sang Komandan dengan tangan kanan dikepal.
“Setelah berempat kami interogasi. Orang ini mengakui.. nyata mata-mata Belanda. Dan selama ini membocorkan gerakan gerilya dan sabotase yang kita rencanakan. Ada satu orang mata-mata lagi..” jawab Sersan Ahmad tercekat tak mampu berucap.