Mohon tunggu...
ARIF R. SALEH
ARIF R. SALEH Mohon Tunggu... Guru - SSM

Menyenangi Kata Kesepian dan Gaduh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kompenian

13 Maret 2016   12:00 Diperbarui: 13 Maret 2016   12:16 3
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="kraksaan-update.blogspot.co.id"][/caption]Kota Probolinggo pada suatu hari. Prajurit-prajurit Batalyon 138/Macan Kumbang gigih berani mempertahankan Kota.

Tembakan-tembakan sporadis riuh ramai. Meledak-ledak di sela gemuruh  angin Gending  bertiup kencang.

Pada akhirnya. Kota tak dapat dipertahankan. Belanda menancapkan kekuasaannya sejak 12 Juli 1947.

Prajurit-prajurit Batalyon 138/Macan Kumbang meninggalkan kota. Menyebar ke daerah Pelas, Sukapura, Gending, Kraksaan, Paiton, dan Wonoasih sebagai basis gerakan.

Bergerilya mempertahankan kemerdekaan. Dari kekuatan Belanda yang ingin kembali menjajah. Republik Indonesia. Bumi tercinta.

 

Wajah-wajah tegang. Berselimut dinding-dinding kusam. Rintik-rintik hujan. Membisikkan berita kelam. Pada sebuah ruang redup redam.

“Aku mendengarmu.. cukup sekali saja” lirih bergetar suara Sang Komandan pada Kopral Sueb.

Sejenak kemudian. Dipanggilnya Sersan Huda, Sersan Ahmad, dan Kopral Wagimin. Lebih mendekat. Dan hanya berlima.

“Kamu bertiga juga Kopral Sueb nanti bergerak ke kota. Lebih mendekatlah” pinta Sang Komandan. Pintu ruang segera ditutup. Bergegas kembali Sang Komandan duduk pada kursi rotan yang mulai lapuk.

Sang Komandan meminta empat anak buahnya duduk. Tangannya menunjuk kursi kayu tanpa sandaran. Yang masih kokoh tak berayap. Di depannya.

Dengan sigap empat anak buah duduk depan meja Sang Komandan. Bahasa tubuh bicara. Entah apa yang dibincangkan. Sesuatu rahasia. Sangatlah rahasia. Hanya berlima yang tahu.

Pintu itu kembali terbuka. Tak nampak tangan kanan mengepal. Sembari teriak MERDEKA!. Sang Komandan hanya menepuk lirih. Pundak empat anak buah tanpa simbol-simbol pangkat.

 

Keesokan hari. Malam datang membawa gulita. Deru ular besi merayap mengepulkan asap kegelapan. Pada cerobong lokomotip batubara terus dinyalakan. Meninggalkan Stasiun Leces menuju arah selatan.

Lima gerbong hitam pekat bergerak lambat. Muatannya sarat mesiu, rudal, dan senapan panjang. Siap dikirimkan ke Jember dan Lumajang.

Kilometer tiga selatan Stasiun Leces. Rimbun tebu-tebu tua terkuak pelan. Mata para prajurit  Macan Kumbang tajam mengintai. Seiring deru ular besi mendekat garang.

Roda-roda baja ular besi menderit. Melontarkan lidah percik api yang dipaksakan. Berhenti kemudian. Di depan onggokan pohon-pohon yang sengaja ditumbangkan. Di pinggir-pinggir rel tertidur panjang.

Dari gerbong dua, empat, dan lima. Meloncat sigap para serdadu Belanda. Mengambil posisi tiarap. Senapan panjang di kokang rancak.

Sejurus kemudian. Gelar serdadu Belanda membentuk supit urang. Mengepung rimbun tebu sebelah barat. Berhadapan. Berusaha menjepit empat puluh prajurit Macan Kumbang.

Hening tegang. Sang Komandan Macan Kumbang menoleh arah kanan. Sersan Wignyo memberi kode. Ditunjukkannya jari sepuluh, disilangkan dua telunjuk, jari sepuluh unjuk lagi. Sang Komandan mengangguk pelan. Tanda mengerti.

“Seratus serdadu dengan empat puluh anak buahku..” gumam Sang Komandan.

Dua tangan Sang Komandan digerakkan. Membentuk sayap burung elang direntangkan. Dan diantara upaya gelar supit urang serdadu Belanda. Sigap prajurit Macan Kumbang. Bergerak mundur. Melebar bagaikan sayap elang. Menghindar dari jepitan supit urang raksasa. Dengan senjata lebih perkasa.

Untuk kesekian kali. Upaya sabotase prajurit Macan Kumbang yang ada di Wonoasih dan sekitarnya gagal. Mereka mundur dengan hati galau. Mengapa harus kembali gagal….

 

Sesampainya di markas. Sersan Huda dan Kopral Sueb menyambut Sang Komandan dengan wajah tegang. Prajurit Macan Kumbang yang lain segera membentuk posisi siaga. Seperti sudah diskenariokan.

Sang Komandan segera menuju ruangan. Di situ sudah berdiri Sersan Ahmad dan Kopral Wagimin orang kepercayaan. Senapan tua panjang mereka. Siaga menghadapi keadaan.

Pada pojok ruang kiri. Duduk lumpuh sesosok orang. Mata ditutup kain hitam. Belum disingkapkan.

Sang Komandan memandang sosok orang itu. Tidak ia kenal dan bergegas dia duduk di kursi rotan lapuk. Matanya sangar tajam. Setajam mata macan kumbang di kegelapan.

“Sersan Ahmad.. Apapun yang kau katakana. Aku percaya.. cepatlah kau ceritakan!” suara Sang Komandan lantang menggelegar.

“Siap Komandan.. Orang ini kami tangkap sore tadi di daerah Kampung Pecinan. Sesaat setelah keluar dari markas Belanda di Mayangan. Sudah kami kuntit mulai kemarin. Sesuai perintah Komandan” jawab Sersan Ahmad terhenti dan melirik Kopral Wagimin.

“Lanjutkan sersan..” pinta Sang Komandan dengan tangan kanan dikepal.

“Setelah berempat kami interogasi. Orang ini mengakui.. nyata mata-mata Belanda. Dan selama ini membocorkan gerakan gerilya dan sabotase yang kita rencanakan. Ada satu orang mata-mata lagi..” jawab Sersan Ahmad tercekat tak mampu berucap.

Dari arah depan muncul Sersan Huda dan Kopral Sueb. Keduanya menggiring erat sosok tubuh lain. Matanya juga ditutup kain hitam.

Sang Komandan berdiri. Dia sangat tahu sosok di depannya. Berdiri tertunduk dengan mata tertutup kain hitam.

Darah Sang Komandan menggelegak. Tubuhnya panas membara. Melebihi panas bara batubara. Geram tak mampu diredam. Kesaksian Kopral Sueb tak terbantahkan.

 

“Panggil lima prajurit yang sudah kita siapkan!” tegas suara Sang Komandan memerintahkan.

Lima prajurit segera menghadap. Sigap tangan mereka membekap. Sosok tubuh terkulai lemah di pojok kiri ruang.

“Bawa segera orang itu!”

Tangan kanan Sang Komandan dikibaskan. Bergerak cepat lima prajurit Macan Kumbang. Membawa sosok itu pergi. Entah kemana.

“Kalian keluarlah” pinta Sang Komandan.

Sersan Huda, Sersan Ahmad, Kopral Wagimin, dan Kopral Sueb kompak memberi hormat. Segera beranjak keluar. Tak berani lagi menoleh ke belakang.

Lima menit kemudian. Dari arah kiri nun agak jauh dari markas. Diantara rimbun pohon gelap malam. Terdengar tiga tembakan.

Gelap malam semakin kelam. Seiring tiga bunyi tembakan. Dari ruang Sang Komandan. Terdengar satu tembakan. Pistol Sang Komandan menyalak sangar. DOR!… burung malampun terbang berhamburan.    

 

Sang Komandan tegar berdiri. Memegang pistol dengan tangan bergetar. Dalam hati puisi ia lantunkan..

 

Kau bukan adikku lagi

Yang dulu aku sayangi

Yang dulu aku lindungi

Dalam dekapan ibu sejati 

 

Demi Ibu Pertiwi

Kutembak mati saudara sendiri

Berlagak Kompenian sejati

Lupa harga diri

Menjadi pengkhianat negeri

Persada yang kubela sampai mati

Di sini…

 

Probolinggo, 12 Maret 2016

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun