Dengan sigap empat anak buah duduk depan meja Sang Komandan. Bahasa tubuh bicara. Entah apa yang dibincangkan. Sesuatu rahasia. Sangatlah rahasia. Hanya berlima yang tahu.
Pintu itu kembali terbuka. Tak nampak tangan kanan mengepal. Sembari teriak MERDEKA!. Sang Komandan hanya menepuk lirih. Pundak empat anak buah tanpa simbol-simbol pangkat.
Keesokan hari. Malam datang membawa gulita. Deru ular besi merayap mengepulkan asap kegelapan. Pada cerobong lokomotip batubara terus dinyalakan. Meninggalkan Stasiun Leces menuju arah selatan.
Lima gerbong hitam pekat bergerak lambat. Muatannya sarat mesiu, rudal, dan senapan panjang. Siap dikirimkan ke Jember dan Lumajang.
Kilometer tiga selatan Stasiun Leces. Rimbun tebu-tebu tua terkuak pelan. Mata para prajurit Macan Kumbang tajam mengintai. Seiring deru ular besi mendekat garang.
Roda-roda baja ular besi menderit. Melontarkan lidah percik api yang dipaksakan. Berhenti kemudian. Di depan onggokan pohon-pohon yang sengaja ditumbangkan. Di pinggir-pinggir rel tertidur panjang.
Dari gerbong dua, empat, dan lima. Meloncat sigap para serdadu Belanda. Mengambil posisi tiarap. Senapan panjang di kokang rancak.
Sejurus kemudian. Gelar serdadu Belanda membentuk supit urang. Mengepung rimbun tebu sebelah barat. Berhadapan. Berusaha menjepit empat puluh prajurit Macan Kumbang.
Hening tegang. Sang Komandan Macan Kumbang menoleh arah kanan. Sersan Wignyo memberi kode. Ditunjukkannya jari sepuluh, disilangkan dua telunjuk, jari sepuluh unjuk lagi. Sang Komandan mengangguk pelan. Tanda mengerti.
“Seratus serdadu dengan empat puluh anak buahku..” gumam Sang Komandan.