Mohon tunggu...
Array Nuur
Array Nuur Mohon Tunggu... -

krusuk-krusuk... pletuukkk... ketimprang..... bledugg.... jedoorrrr.... hapooowww.... cleebbb.... deziiiigggg... deziiiiggg..... tuuuuuuiiiiiingggg... duaaarrr.... 2654042D

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rindu Itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi #Stadium 2 - Tiga Puluh Satu s/d Tiga Puluh Tiga

10 Oktober 2013   17:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:43 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tiga Puluh Satu

~ Eksploitasi Bocah ~

Tombol kendali sudah dalam genggaman Tarya. Kapan saatnya dibutuhkan, tinggal tekan saja. Tarya kian berapi-api melanjutkan misinya yang sempat tertunda. Mendiang ayah Tarya salah satu sesepuh Benjang cukup dikenal di wilayah itu. Semasa hidupnya, ayah Tarya dikenal juga sebagai seorang yang punya kelebihan, sering dimintai pertolongan warga. Tapi perumpamaan buah jatuh tak jauh dari pohonnya, tak berlaku pada Tarya. Dia tak mengikuti jejak sang ayah, atau ikut membesarkan salah satu group kesenian Benjang di daerah itu.

Keuntungan menjadi motivasi terhebat, menjadi dorongan untuk melakukan kelicikan sekalipun. Tarya yang sempat terobsesi cerita ibunya tentang kehebatan sang ayah, merubah dandanan bergaya seorang paranormal. Tak tanggung, dia memproklamirkan diri sebagai seorang yang bisa mengobati berbagai macam penyakit dan bisa membantu orang-orang memecahkan permasalahan hidup.

Latar belakang keluarga membuat orang-orang cukup teryakinkan dengan kemampuan Tarya. Orang-orang menganggap Tarya mendapatkan warisan ilmu turun temurun. Padahal sesungguhnya dia tak bisa apa-apa dalam urusan pengobatan atau apapun yang berhubungan dengan supernatural. Dia hanya jago sandiwara, dan pandai mengeksploitasi seseorang yang kompeten untuk menunjang profesinya, tentu saja seseorang itu adalah Koma.

Tak begitu kesulitan meyakinkan orang-orang yang tahu bahwa Tarya keturunan tokoh terpandang di wilayah itu. Satu dua orang mulai berdatangan untuk berobat. Seolah ada yang membantu kelancaran aksinya, pasien-pasien yang datang merasa puas. Lambat laun, semakin banyak orang menjadi pasiennya mendapatkan kesembuhan.

Cepat sekali nama Tarya menyebar ke seantero Ujung Berung. Dia bisa sejajar dan bahkan kepopulerannya mengalahkan Abah Jumadi, paranormal senior di wilayah itu. Menginjak minggu kedua sejak buka praktek, Tarya mendadak kebanjiran calon pasien. Dari pagi hingga malam calon pasien tak henti berdatangan. Beberapa di antaranya rela menunggu giliran dengan sabar. Semakin banyak pasien, sudah tentu Tarya meraup banyak keuntungan.

Gudang belakang disulap menjadi ruang praktek dengan satu petak tempat ukuran dua kali dua setengah meter sebagai tempat khalwat Tarya, khusus urusan pengobatan. Tempat itu diselimuti tirai hijau menjuntai hingga lantai. Tak seorangpun diperbolehkan menginjakkan kaki ke tempat itu, termasuk istri dan mertuanya. Hanya Tarya dan Koma yang punya otoritas penuh memasuki area itu.

Sebetulnya Tarya tidak mengobati langsung, dia hanya memberikan petunjuk-petunjuk mengenai jenis penyakit, obat dan cara penyembuhannya. Tentu saja petunjuk itu dia dapatkan dari Koma. Dia memanfaatkan -atau lebih tepatnya mengeksploitasi, keajaiban pendengaran Koma yang dapat mengetahui jenis penyakit dan bagaimana obat serta cara penyembuhan, hanya dengan mendengarkan suara pasiennya.

Dengan dalih kepentingan keluarga, terutama peningkatan ekonomi keluarga, Tarya mendapatkan keleluasaan dari Bi Tati, apalagi dari istrinya. Sedangkan Asih, tak dapat berbuat banyak untuk mencegah. Asih pikir, yang terpenting Koma tidak tertekan dan tak berdampak buruk bagi kesehatannya.

Tak banyak yang dilakukan Tarya saat menghadapi pasiennya. Dia hanya meminta pasiennya menjulurkan tangan seolah akan didiagnosa melalui denyut nadi. Selanjutnya, berakting memejamkan mata seakan sang paranormal gadungan itu sedang menerawang. Terakhir, dia masuk ke tempat khusus yang diselubungi tirai itu, katanya akan bermeditasi sebentar untuk mencari petunjuk obat. Tentu saja di dalamnya sudah ada Koma. Cerdiknya, Tarya selalu mampu membuat Koma betah di tempat itu, tempat yang menjadi ruang eksploitasi bagi bocah itu, dan ruang solusi bagi pasien.

Ketika berada di dalam tempat khalwat itu Tarya meminta pasien menyebutkan nama lengkap, hari dan tanggal lahirnya. Dari suara pasien saat menyebutkan nama lengkapnya, Koma dapat mengetahui segala sesuatu mengenai pasien itu, dari riwayat hidup hingga penyakit yang dideritanya. Bahkan dapat meramalkan nasib seseorang kelak, dari intonasi tekanan suaranya. Sedangkan obat apa saja, dan cara penyembuhannya Koma ketahui dari suara ketika menyebutkan hari dan tanggal kelahiran.

Begitu pasien bersuara, Koma yang sudah diseting berubah menjadi bocah ajaib lalu mendikte Tarya, menjelaskan panjang lebar segala informasi mengenai pasien itu. Tarya hanya mengutip yang inti dan paling penting saja untuk dia sampaikan kepada pasiennya. Untuk belasan kali dalam sehari, cara itu berhasil.

Tiga Puluh Dua

~ Melacak Anak Hilang ~

Suatu hari tempat praktek Tarya kedatangan seseorang dengan tujuan bukan untuk berobat ataupun memperbaiki peruntungan. Seorang pria dengan dandanan perlente, pertanda dia bukan calon pasien sembarangan. Pria itu meminta bantuan Tarya untuk mencari keberadaan anak perempuannya yang sudah seminggu menghilang. Itu kasus baru yang belum pernah ditemui Tarya sebelumnya. Seperti yang lazim di masyarakat, opsi alternatif lain cara mencari anak hilang, selain mendatangi kantor polisi adalah meminta bantuan paranormal.

Langkah pertama, seperti biasa, Tarya berakting memejamkan mata seolah melakukan penerawangan gaib. Selanjutnya dia pura-pura komat-kamit pelan membaca mantra. Terakhir dia tutup dengan menyapukan dua tangan ke wajahnya.

"Menurut penerawangan saya, anak bapak berada di suatu tempat. Tapi, saya kesulitan mendeteksinya. Seperti ada sesuatu yang mengaburkan peneropongan saya sehingga kesulitan melihatnya dengan jelas. Ini cukup berat!" sang paranormal gadungan beraksi.

"Jadi bagaimana Ki? Apa anak saya bisa ditemukan?" sang pasien antusias dan mudah saja percaya bualan Tarya.

"Ini masalah berat. Sebentar, saya tinggal bermeditasi untuk mencoba meneropong kembali!" Tarya menuju tempat khusus itu. Dia biarkan pria itu menunggu.

Lagi-lagi ujung tombaknya ada pada Koma. Dia bertanya pada bocah itu. Tapi kali ini tak mendapat jawaban memuaskan. Koma tak mampu menemukan apapun. Media yang dideteksinya tak jelas. Tarya kalang kabut. Dia tak ingin kehilangan kesempatan emas mendapatkan banyak uang dari pasien itu. Sejenak Tarya tercenung memeras otak, mencari cara.

Pergulatan dalam hati Tarya, kalau hanya sok tahu sok menebak, itu spekulasi. Kalau tebakannya benar, itu keberuntungan. Tapi, presentase kebenarannya sembilan puluh persen mungkin meleset, sisanya hanya sepuluh persen yang tepat. Tentu saja riskan. Nama besarnya dipertaruhkan. Kalau sok tahu dan meleset, reputasinya akan hancur, karirnya bisa berakhir, dan bisa saja tak ada lagi keuntungan yang akan diraih.

Beberapa saat Tarya tertunduk kaku, duduk bersila menopang kening dengan  tangan kiri, dan tangan kanan bertolak di lututnya. Tiba-tiba anjing tetangga menggonggong, membuat Tarya terperanjat. Dia menemukan ide cemerlang. Selalu saja akal liciknya tak surut. Gonggongan anjing tetangga itu menginspirasi Tarya. Dia teringat bagaimana cara kerja anjing pelacak. Dengan disodori sesuatu berhubungan dengan barang yang dicari, maka sang hewan akan mencari dengan mengendus-endus. Bagi anjing yang sudah terlatih, delapan puluh persen, berhasil. Mungkin seperti itulah cara kerja yang dapat diaplikasikan pada Koma. Pikir Tarya, bocah itu bisa disebandingkan dengan anjing pelacak.

Merasa yakin menemukan cara brilian, Tarya beranjak menemui sang pasien. "Maaf Pak. Saya belum bisa meneropongnya. Anak bapak seperti ada yang menyembunyikan dari mata penerawangan siapa pun. Seperti ada dinding yang menghalangi. Saya belum bisa menembusnya." Air muka sang pasien berubah lesu setelah mendengar penjelasan Tarya.

"Tapi masih ada cara lain, mudah-mudahan bisa menembusnya."

"Syukurlah, bagaimana caranya Ki? Apa bisa ditemukan secepatnya?" sang pasien berubah optimis, seolah menemukan titik terang anaknya bakal ditemukan melalui bantuan Tarya.

Dan tentu kalau berbicara masalah susah, tapi seolah akan bisa diatasi dengan sempurna, dengan diyakinkan optimisme masalah itu akan terpecahkan, sesungguhnya saat itu Tarya sedang menebar umpan pada pasiennya.

"Saya yakin bisa. Tapi..."

"Tapi apa Ki?" Potong sang pasien dengan antusias.

"Saya akan melakukan ritual lagi untuk menembus benteng penerawangan itu. Tapi ini sungguh berat. Taruhannya nyawa. Syaratnya mahal, dan..." Tarya yakin umpan itu akan disambar sang pasien.

"Apapun syaratnya, dan berapapun mahalnya akan saya siapkan. Asalkan anak saya dapat ditemukan."

Umpan sudah benar-benar dimakan sang pasien. Tinggal satu tarikan, kail akan menancap di mulut, ikan sudah tak bisa lolos. Tarya dapat menekan pasien bayaran tinggi dengan dalih membeli syarat yang harus dipenuhi, dan bumbu-bumbu lain sebagai alasan untuk menguatkan tekanan itu.

"Besok bapak ke sini lagi membawa barang-barang milik anak bapak, sebagai media agar saya bisa melacaknya." Gelagat Tarya lebih meyakinkan dengan tingkat kepercayaan diri tinggi.

"Barang-barang itu seperti apa Ki?"

"Pakaian yang pernah dipakainya. Atau, barang apa saja yang pernah bersentuhan dengan anak bapak, seperti boneka atau bantalnya barangkali."

Tarya pikir, benda-benda yang pernah bersentuhan dengan anak hilang itu bisa dijadikan media. Tapi, dia belum tahu bagaimana mengaplikasikannya pada Koma. Anjing pelacak punya kelebihan pada hidungnya, sedangkan kelebihan Koma mendeteksi dengan pedengaran, bukan mengendus. "Ah, bagaimana nanti. Besok kita pikirkan lagi,"cetus di hati Tarya.

Bagian paling pokok, spekulasi, Tarya mengatakan beberapa benda yang harus dibeli sebagai syarat-syarat, dan harganya mahal. Itu semacam tawaran dan pertanyaan, 'siapa yang paling butuh, berani bayar mahal?' Tarya mematok harga syarat-syarat sebagai keperluannya, dengan nilai sekian juta rupiah. Pada masa itu nol enam digit nilainya sangat mahal. Tapi, diluar dugaan, sang pasien menyanggupi, sama sekali tak ada tawar menawar. Pikir sang pasien, harta bisa dicari, tapi anak tak bisa dibeli dimana pun.

Kartu kunci sudah di tangan Tarya, tinggal memainkannya. Dan mangsa sudah masuk dalam jeratnya. Tarya mengatakan harus membeli ini itu sebagai sesajen, dan hanya dia sendiri yang tahu dimana mendapatkannya. Sang pasien hanya perlu mengeluarkan sejumlah uang, dan tahu beres saja.

Kalau pasien sudah mau memenuhi syarat dan bayaran yang mahal, sebuah keuntungan besar bagi Tarya. Kalupun gagal, ada tuntutan dari pasien misalnya, dengan gampang dia bisa menghilang. Di sana Tarya tinggal sendiri. Ibu dan kedua adiknya sudah lama pindah. Dia bisa kabur dengan mudah, tak ada yang menghalangi. Paling-paling hanya istri dan mertuanya yang akan menanggung akibat, sedangkan Tarya dapat melenggang bebas, menikmati keuntungan sendirian.

***

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali pasien itu sudah mengetuk pintu tempat praktek Tarya, di saat orang-orang yang hendak berobat belum datang. Dia ingin menyegerakan, tak mau menunggu lama-lama lagi, sudah terlampau rindu ingin bertemu sang anak. Melihat datang lebih awal, Tarya semakin yakin dengan keseriusan pasien itu.

Tarya mempersiapkan segala sesuatunya. Dia mencokok Koma yang baru selesai mandi untuk menunjang pekerjaan Tarya, yakni bertugas sebagai pelacak. Koma lebih mirip sebagai anjing pelacak, siap melacak apa pun yang diminta oleh tuannya. Dan majikan yang harus dilayani Koma adalah Tarya. Karena memegang tombol kendali, Tarya dapat mengendalikan Koma kapan dan dimana pun dia kehendaki. Tiada kata kasihan pada bocah yang belum mengerti jika sebetulnya sedang dimanfaatkan, atau lebih tepatnya sedang diperlakukan sebagai anjing pelacak oleh Tarya.

***

Koma sudah siap di posisi, menunggu intruksi Tarya, seperti hari-hari sebelumnya. Tarya menerima persyaratan yang dia pesan, sepotong baju si anak hilang dan boneka beruang yang seringkali menemani anak itu tidur. Dan, yang paling inti adalah sejumlah besar uang untuk membeli persyaratan lain yang dia tekankan kemarin. Tarya pamit dengan dalih akan melakukan ritual dan membiarkan pasien itu menunggu. Dia berpesan agar jangan ada yang mengganggu selama proses ritual itu.

Di tempat khalwat, perhatian Tarya sejenak terpusat pada amplop coklat berisi lembaran-lembaran uang dengan nominal fantastis. Pencapaian omset terbesar sepanjang praktek pengobatannya. Untuk sementara dia lupa pada apa yang harus dilakukan untuk menemukan anak hilang itu.

Tarya lalu beralih pada baju milik si anak hilang itu. Dia tak tahu apa yang akan diperbuat dengan baju itu. "Mana mungkin diendus. Si Koma kan bukan anjing pelacak. Kelebihan pelacakannya ada pada telinga, bukan hidungnya." Dia mendongak sambil terpejam cukup lama dengan harapan menemukan cara.

"Suara, ya itu dia. Suara," cetus Tarya.

Koma sudah disetel berubah menjadi bocah ajaib dengan telinga yang supersensitif. Tarya menjatuhkan baju itu sama seperti pertama kali dia menemukan tombol kendali secara tak sengaja dengan menjatuhkan jambu, tapi tak mendapatkan suara yang cukup jelas didengar. Dia lalu memukul-mukulkan baju itu ke tanah untuk memunculkan sebuah bunyi suara. Dia menyuruh Koma mendengarkan dengan teliti agar dapat melacak dimana si empunya baju itu. Koma kemudian memejamkan mata seolah meresapi sesuatu. Cukup lama terpejam, Koma tak mendengar atau menemukan apapun yang berhubungan dengan keberadaan si anak hilang itu.

Saat berubah jadi bocah ajaib, Koma banyak memahami sesuatu. Tak memerlukan diskusi dengan Tarya, Koma tahu apa yang seharusnya dia kerjakan untuk memecahkan kebuntuan itu. Koma merebut baju itu dari tangan Tarya. Dia mengibaskan baju itu, bukan hanya belasan kali, tapi puluhan kali.

Satu kibasan, partikel-partikel bagian dari suara si anak hilang yang terendap di baju itu buyar tercecer ke segala arah. Satu sapuan udara segera mengikat beberapa partikel itu dan mengirimkan ke selaput gendang telinga Koma. Dia kembali memejamkan mata, menyapu sampah-sampah memori di otaknya. Setelah bersih, dia kunci rapat ruang memori itu agar tak ada yang masuk, apalagi mengotori. Koma hanya memasukkan partikel suara si anak hilang yang sudah terkonversi menjadi memori ke ruang data base otaknya.

Seperti Sulaiman, Koma meminta angin mengantarkan partikel suara si anak hilang itu mengelana untuk menemukan sumbernya.

"Wahai partikel! Temukan temanmu! Temukan sumbermu. Kalau sudah ketemu, lekas kabarkan padaku!" Bermenit-menit Koma tertegun memejamkan mata.

Tarya biarkan Koma beraksi. Dia hanya asyik menghitung jumlah uang yang diterima dari pasien itu. Tarya percaya dengan apa yang dilakukan Koma. Kalaupun itu tidak berhasil, Tarya telah merencanakan segala sesuatunya dengan matang sejak kemarin malam. Andai Koma tidak menghasilkan temuan apa-apa, Tarya akan sembarang mencatatkan alamat di mana anak itu berada, lepas itu, dia kabur.

Lebih dari setengah jam, Koma baru membuka mata. Tarya langsung menyerobot Koma dengan pertanyaan, dan secarik kertas beserta pena yang telah dipersiapkan untuk menuliskan hasil pencarian bocah  itu -persis jurnalis mengorek berita dari narasumbernya. Koma berhasil melacak, katanya si anak hilang itu masih berada di sekitar Kota Bandung. Tarya segera mencatat alamat jelas, lengkap dengan titik koordinat keberadaan anak itu. Koma menganjurkan pada Tarya agar si pasien segera mencari ke alamat tersebut secepatnya, sebab jika terlambat, mungkin dia tak mampu melacaknya lagi.

***

Dengan akting meyakinkan, Tarya segera menyerahkan alamat keberadaan si anak hilang itu pada sang pasien. Dia menyampaikan apa yang Koma temukan dengan bahasa dan gayanya sendiri, seolah itu hasil penerawangannya sendiri. Saking yakin dengan hasil pelacakan Koma dan untuk lebih meyakinkan si pasien, Tarya berani menjamin sembilan puluh sembilan persen tidak akan meleset.

Setelah mendapatkan petunjuk dari sang paranormal gadungan -yang lebih mirip badut ulang tahun pintar memainkan situasi menjadi meriah, sang pasien pamit. Tak menunda lagi, hari itu juga sang pasien bergegas mencari anaknya.

Tak berakhir itu saja, otak Tarya makin encer untuk lebih memanfaatkan peluang. Setelah tahu bahwa sang pasien orang kaya yang siap jor-joran, dia meminta jika anak itu sudah ditemukan, supaya mengadakan selamatan di tempat prakteknya dengan memotong seekor sapi. Tak sulit memenuhi permintaan Tarya, sang pasien mengiyakan. Memotong seekor sapi tak begitu menambah keuntungan Tarya, tapi keuntungan lain yang didapatnya adalah pencitraan, itu akan menandaskan kehebatan dirinya sebagai paranormal agar semakin tersebar dan orang-orang kian teryakinkan.

***

Walaupun licik, Tarya tidak serakah. Dia membagi hasilnya dengan Asih dan Bi Tati. Tapi tentu saja Tarya mendapatkan bagian paling besar. Koma mendapat bagian dengan diajak berjalan-jalan.

Siang itu meski banyak orang hendak berobat dan dengan sabar menunggu, praktek Tarya diliburkan sampai besok dengan alasan akan mencari sesuatu untuk keperluan pengobatan mendesak. Meskipun kecewa, bahkan ada yang datang dari tempat jauh, tapi tak ada pilihan bagi calon-calon pasiennya selain kembali pulang atau menunggu sampai besok.

Tarya membawa Koma berjalan-jalan, bermain di pusat perbelanjaan, naik komidi putar, membelikan beberapa potong pakaian dan mainan baru. Pulangnya membeli buah kesukaan Tarya, durian. Dan dia memanfaatkan Koma lagi untuk memilih beberapa yang paling bagus dengan memeriksa dari suaranya. Setelah bersenang-senang hingga sore hari, mereka pulang.

Sampai di depan rumah, Tarya disambut mobil bak terbuka berisi seekor sapi cukup gemuk. Di ruang tamu yang difungsikan sebagai ruang tunggu para pasien, sudah tampak seorang lelaki dengan bocah perempuan seumuran Koma, dialah pasien yang kehilangan anaknya itu. Melihat kedatangan Tarya, pasien itu menyambut gembira sambil tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih. Bocah perempuan yang bersama sang pasien adalah anak hilang itu, cepat sekali ditemukan. Tarya tak menyangka hasil pelacakan Koma sejitu itu. Sang pasien datang kembali untuk menyerahkan seekor sapi, sekalian anaknya supaya diruwat Tarya agar tidak menghilang lagi.

Tiga Puluh Tiga

~ Paranormal Cilik ~

Tarya serasa di atas angin. Dia bangga atas keberhasilan, yang sebetulnya adalah keberhasilan Koma. Selepas keberhasilannya itu, Tarya makin sohor sebagai paranormal mumpuni. Orang-orang semakin ramai berdatangan untuk berobat kepadanya. Kabar itu tersiar sampai ke telinga Abah Jumadi, paranormal yang sudah lebih dulu berpraktek di sekitar wilayah itu. Abah Jumadi geram karena kalah tenar, terlebih dia ketakutan calon pasien-pasiennya beralih kepada Tarya.

Abah Jumadi mengutus dua orang murid yang paling dia percaya untuk menyelidiki tempat praktek Tarya. Persaingan sengit, dan, memasuki babak kompetisi tak sehat. Satu orang menyamar sebagai pedagang asongan yang mangkal di depan tempat praktek Tarya. Satu lagi menyaru menjadi calon pasien.

Beberapa hari, siang malam mencari tahu kekuatan dan kelemahan Tarya, hingga kedua penyelidik suruhan Abah Jumadi berhasil mengorek fakta jika selama ini keberhasilan Tarya dalam praktek pengobatannya adalah karena andil Koma. Informasi yang cukup dapat dijadikan bekal Abah Jumadi untuk menjegal kemajuan karir Tarya.

Abah Jumadi dan pengikutnya berhasil membongkar kedok Tarya sebagai paranormal gadungan yang tak punya kemampuan pengobatan apapun di depan calon pasiennya. Seorang murid Abah Jumadi menantang duel kanuragan, Tarya membisu tak berbuat apa-apa. Itu membuat kepercayaan calon-calon pasiennya luntur. Citranya sebagai paranormal hebat seketika hancur. Tarya tidak dipercaya lagi. Abah Jumadi merasa menang, terlebih pasien-pasien Tarya berpaling padanya.

***

Kedok Tarya terbongkar dan profesi sebagai paranormal sudah tamat. Tapi otak licik Tarya tak surut sampai di situ, dia mampu menemukan cara lain memanfaatkan potensi kelebihan Koma. Di satu sisi, orang-orang akhirnya mengetahui di balik praktek pengobatan Tarya adalah Koma yang membuat dia tidak dipercaya lagi, tapi di lain sisi orang tahu kelebihan Koma. Tarya memanfaatkan itu, dan meminta bantuan teman-teman ojeknya untuk mengisukan kehebatan Koma sebagai bocah ajaib, titisan Mbah Sukmadilaga, leluhur yang konon di zamannya terkenal linuwih. Makam Mbah Sukmadilaga berada di lereng Gunung Manglayang, menjadi makam keramat yang sering diziarahi orang-orang. Terlebih, orang-orang sudah mengenal Koma sebagai bocah ajaib, bintang Benjang yang sempat menjadi buah bibir masyarakat.

Tarya sukses mereka skenario sehingga Koma berhasil dicitrakan sebagai bocah ajaib dan dipermak menjadi paranormal cilik sakti. Kabar tersebar luas, memancing kepenasaran orang-orang. Pada awal-awal, dari sepuluh orang yang datang, delapan orang berhasil ditangani Koma. Secara tak disengaja orang-orang yang sukses ditangani Koma dengan sendirinya menyebarkan testimoni. Dalam waktu cepat, Koma masyhur sebagai bocah ajaib, paranormal cilik. Dua hari kemudian orang-orang makin ramai berdatangan dengan berbagai hajat dan keperluan. Untuk kedua kalinya Tarya bisa mengkompromikan eksploitasi Koma dengan Asih dan keluarga Bi Tati, dengan dalih keuntungan ekonomis.

Ujung Berung menjadi gempar dan tersohor ke daerah lain sebagai tempat yang di sana terdapat bocah ajaib, paranormal cilik. Ratusan orang berdatangan untuk membuktikannya dengan berobat, atau sekedar menyingkirkan kepenasarannya. Semakin hari bahkan orang-orang rela mengantri di depan rumah, hingga banyak yang memanfaatkan halaman depan rumah warga sebagai tempat menunggu keluarga pasien.

Tidak sampai sebulan, RT.07 Desa Pasirwangi, sekitar rumah Bi Tati dipenuhi calon-calon pasien. Dengan banyaknya orang datang dari berbagai pelosok daerah,  tetangga dan warga sekitar merasa diuntungkan. Mereka membuka warung-warung, menyediakan kamar untuk menginap, juga menyewakan berbagai fasilitas rumah untuk calon pasien dan keluarga pasien yang datang berobat pada Koma.

Masyarakat mendapatkan berkah dari kelebihan yang dimiliki Koma. Sebagai tanda terimakasih, warga makin gencar mempromosikan paranormal cilik itu ke seantero Bandung. Kalau orang-orang yang datang semakin banyak, tentu saja warga tambah diuntungkan. Ibu-ibu yang menganggur mendapatkan lahan usaha dengan membuka kedai-kedai makanan, menyewakan kamar, menyewakan toilet umum. Para pemuda yang menganggur mendapatkan pekerjaan dengan menjadi tukang parkir atau penjaga kendaraan pasien-pasien yang menginap. Pemerintahan desa dan tokoh-tokoh masyarakat mendapatkan jatah. Semua masyarakat kebagian untung dari fenomena ini. Koma menjadi anak emas, aset keuntungan bagi Ujung Berung bagian atas.

***

Abah Jumadi semakin kebakaran jenggot mendengar ketenaran Koma, yang mengalahkan ketenarannya. Dulu, Koma adalah pasiennya, kini menjadi saingan berat. Tentu saja dia tak rela membiarkan kesuksesan anak ingusan kemarin sore itu semakin merajalela hingga berpengaruh tempat prakteknya sepi. Seperti yang sudah dilakukan dan berhasil menghancurkan Tarya, Abah Jumadi menyusun segudang rencana. Dari rencana cara yang paling halus, hingga cara yang paling radikal.

Pengikut-pengikut Abah Jumadi menebar fitnah, mereka mencoba mengikis reputasi dan ketenaran Koma. Cara kotor semacam itu tak cukup efektif. Koma adalah aset masyarakat, dan tentu tak ada yang mau kehilangan tambang emasnya, maka Koma menjadi perlindungan warga. Citra buruk yang ditebarkan kelompok Abah Jumadi kalah oleh citra kehebatan Koma yang senantiasa digembar-gemborkan warga.

Merasa cara paling halus itu gagal, Abah Jumadi memikirkan rencana untuk melakukan tindakan busuk yang paling jahat sekalipun untuk mencegah kesuksesan Koma berkembang, agar tak mengancam mata pencahariannya. Pilihan pertama, menyingkirkan Koma, yang berarti membunuh bocah itu. Tapi, dia pikir prosentase keberhasilannya hanya dua puluh persen. Jangankan melukai, menyentuh Koma saja sulit. Warga sudah menganggap Koma aset sangat berharga yang harus dijaga mati-matian kalau ingin sumber keuntungan itu tak melayang. Melawan bocah itu secara langsung, berarti sama juga dengan melawan warga. Sangat mustahil untuk mengalahkan kekuatan masyarakat yang solid melindungi Koma. Tempat praktek Koma mendapat penjagaan dan pengawasan ketat dua puluh empat jam. Sangat sulit menembusnya. Resiko kegagalan lebih besar daripada keberhasilan.

Pilihan kedua, menculik dan membuang Koma jauh dari Ujung Berung, jauh dari kota Bandung. Bahkan bila memungkinkan dapat saja setelah berhasil diculik, Koma dibunuh dan mayatnya dibuang jauh-jauh ke suatu tempat yang tak diketahui siapa pun. Atau meninggalkan Koma di hutan belantara, supaya anak itu menjadi santapan binatang buas, dengan begitu tak ada siapa pun yang dapat menemukannya, selamanya.

Hasil musyawarah kelompok Abah Jumadi, disepakati pilihan rencana kedua yang kemungkinan akan dijalankan, hanya menculik dan membuang Koma jauh-jauh. Kabar yang terdengar bahwa Koma adalah titisan Mbah Sukmadilaga, membuat ciut nyali dan ketakutan terjadi malapetaka yang menimpa semua kelompok Abah Jumadi bila membunuh paranormal cilik itu.

Penjagaan super ketat aparat keamanan dan kelompok masyarakat yang menamakan dirinya "Jawara Manglayang", membuat terlalu sulit untuk menculik atau mencelakai Koma. Berhari-hari orang-orang suruhan Abah Jumadi mencari waktu tepat untuk memuluskan aksinya menculik Koma. Mereka menemukan saat tepat untuk menculik Koma adalah hari Senin, saat praktek pengobatannya libur. Hari itu Tarya seringkali membawa Koma berlibur ke kota agar tidak jenuh menghadapi profesinya sebagai paranormal.

***

Hari yang ditunggu tiba, dua orang suruhan Abah Jumadi yang bertugas menculik, membuntuti Tarya dan Koma sejak dari rumah. Di kota, Koma jauh dari jangkauan keamanan super ketat, tak ada pengawalan formal seperti saat sedang berpraktek. Waktu yang pas untuk menjalankan aksi penculikan itu.

Saat lengah, Koma bermain jauh dari pengawasan Tarya, seorang suruhan Abah Jumadi berhasil menculiknya. Asih panik luar biasa, histeris, mencari-cari ke segala arah. Tarya pun begitu, dia sangat takut kehilangan tambang emas yang menjadi aset berharga bagi dirinya dan bagi warga Ujung Berung bagian atas. Lebih-lebih ketakutan akan dipersalahkan karena tak mampu menjaga sumber keuntungan warga.

Pengumuman kehilangan seorang bocah lelaki lengkap dengan ciri-ciri detailnya berkali-kali berdengung di pengeras suara pusat perbelanjaan itu. King, satu-satunya tempat keramaian dengan aneka rupa wahana permainan anak-anak saat itu. Seluruh orang di sana mencari ke segala penjuru tempat. Para petugas keamanan dikerahkan, pengunjung lain juga ikut mencari. Pencarian hingga di luar sekitar lingkungan King, tapi tak menemukan keberadaan Koma, bahkan jejaknya pun tak membekas.

Meski dicari hingga sudut-sudut mana pun di sekitar tempat itu, jelas tak akan bisa menemukannya, terang saja, Koma sudah dibawa jauh kedua penculik suruhan Abah Jumadi. Tarya dan Asih segera melaporkan kehilangan Koma ke kantor polisi terdekat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun