Pengikut-pengikut Abah Jumadi menebar fitnah, mereka mencoba mengikis reputasi dan ketenaran Koma. Cara kotor semacam itu tak cukup efektif. Koma adalah aset masyarakat, dan tentu tak ada yang mau kehilangan tambang emasnya, maka Koma menjadi perlindungan warga. Citra buruk yang ditebarkan kelompok Abah Jumadi kalah oleh citra kehebatan Koma yang senantiasa digembar-gemborkan warga.
Merasa cara paling halus itu gagal, Abah Jumadi memikirkan rencana untuk melakukan tindakan busuk yang paling jahat sekalipun untuk mencegah kesuksesan Koma berkembang, agar tak mengancam mata pencahariannya. Pilihan pertama, menyingkirkan Koma, yang berarti membunuh bocah itu. Tapi, dia pikir prosentase keberhasilannya hanya dua puluh persen. Jangankan melukai, menyentuh Koma saja sulit. Warga sudah menganggap Koma aset sangat berharga yang harus dijaga mati-matian kalau ingin sumber keuntungan itu tak melayang. Melawan bocah itu secara langsung, berarti sama juga dengan melawan warga. Sangat mustahil untuk mengalahkan kekuatan masyarakat yang solid melindungi Koma. Tempat praktek Koma mendapat penjagaan dan pengawasan ketat dua puluh empat jam. Sangat sulit menembusnya. Resiko kegagalan lebih besar daripada keberhasilan.
Pilihan kedua, menculik dan membuang Koma jauh dari Ujung Berung, jauh dari kota Bandung. Bahkan bila memungkinkan dapat saja setelah berhasil diculik, Koma dibunuh dan mayatnya dibuang jauh-jauh ke suatu tempat yang tak diketahui siapa pun. Atau meninggalkan Koma di hutan belantara, supaya anak itu menjadi santapan binatang buas, dengan begitu tak ada siapa pun yang dapat menemukannya, selamanya.
Hasil musyawarah kelompok Abah Jumadi, disepakati pilihan rencana kedua yang kemungkinan akan dijalankan, hanya menculik dan membuang Koma jauh-jauh. Kabar yang terdengar bahwa Koma adalah titisan Mbah Sukmadilaga, membuat ciut nyali dan ketakutan terjadi malapetaka yang menimpa semua kelompok Abah Jumadi bila membunuh paranormal cilik itu.
Penjagaan super ketat aparat keamanan dan kelompok masyarakat yang menamakan dirinya "Jawara Manglayang", membuat terlalu sulit untuk menculik atau mencelakai Koma. Berhari-hari orang-orang suruhan Abah Jumadi mencari waktu tepat untuk memuluskan aksinya menculik Koma. Mereka menemukan saat tepat untuk menculik Koma adalah hari Senin, saat praktek pengobatannya libur. Hari itu Tarya seringkali membawa Koma berlibur ke kota agar tidak jenuh menghadapi profesinya sebagai paranormal.
***
Hari yang ditunggu tiba, dua orang suruhan Abah Jumadi yang bertugas menculik, membuntuti Tarya dan Koma sejak dari rumah. Di kota, Koma jauh dari jangkauan keamanan super ketat, tak ada pengawalan formal seperti saat sedang berpraktek. Waktu yang pas untuk menjalankan aksi penculikan itu.
Saat lengah, Koma bermain jauh dari pengawasan Tarya, seorang suruhan Abah Jumadi berhasil menculiknya. Asih panik luar biasa, histeris, mencari-cari ke segala arah. Tarya pun begitu, dia sangat takut kehilangan tambang emas yang menjadi aset berharga bagi dirinya dan bagi warga Ujung Berung bagian atas. Lebih-lebih ketakutan akan dipersalahkan karena tak mampu menjaga sumber keuntungan warga.
Pengumuman kehilangan seorang bocah lelaki lengkap dengan ciri-ciri detailnya berkali-kali berdengung di pengeras suara pusat perbelanjaan itu. King, satu-satunya tempat keramaian dengan aneka rupa wahana permainan anak-anak saat itu. Seluruh orang di sana mencari ke segala penjuru tempat. Para petugas keamanan dikerahkan, pengunjung lain juga ikut mencari. Pencarian hingga di luar sekitar lingkungan King, tapi tak menemukan keberadaan Koma, bahkan jejaknya pun tak membekas.
Meski dicari hingga sudut-sudut mana pun di sekitar tempat itu, jelas tak akan bisa menemukannya, terang saja, Koma sudah dibawa jauh kedua penculik suruhan Abah Jumadi. Tarya dan Asih segera melaporkan kehilangan Koma ke kantor polisi terdekat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H