Sesaat setelah wasit meniup peluit panjang, Elkan Baggott dkk langsung jatuh lemas di lapangan hijau. Entah meratap sedih, atau mungkin bersyukur waktu telah berlalu, sehingga mereka telah bebas lepas dari penderitaan sepanjang pertandingan. Timnas Indonesia dicukur Thailand, empat gol tanpa balas.
Saya kira tak ada satu pun penikmat bola, baik itu penggemar Timnas Indonesia atau bukan yang memprediksi bahwa Indonesia akan dicukur 0-4 oleh Thailand dalam pertandingan leg pertama final Piala AFF 2020.
Di atas kertas Thailand memang diunggulkan, tetapi keberhasilan Indonesia menapak final dengan mengandaskan Singapura dan membuat Vietnam menjadi runner-up di fase grup, membuat Indonesia juga diperhitungkan akan merepotkan Thailand di babak final ini.
Selain itu, pengharapan itu berlipat karena kepercayaan bahwa pelatih asal Korsel, Shin Tae-yong akan menemukan formula yang tepat untuk menahan dan membendung kehebatan Thailand.
Apa daya, segala harapan itu pupus, lenyap, habis. Thailand mendominasi laga dengan hebat.Â
Bukan saja menguasai penguasaan bola hingga 70 persen, tetapi juga belasan peluang, yang membuat Indonesia perlu bersyukur hanya kemasukkan empat gol saja. Indonesia memang kalah kelas dari Thailand.
Saya kira ada 3 (tiga) bukti yang terlihat jelas di lapangan hijau, bagaimana dominasi dan level Thailand yang masih jauh di atas Indonesia.
Pertama, mental dan ketenangan dalam mengontrol laga. Sedari awal, faktor pengalaman dianggap akan menjadi faktor kunci dalam laga final ini.Â
Taktik juga penting, tetapi  mental dan ketenangan dalam mengontrol laga menunjukkan bahwa Thailand lebih siap.
Setelah gol cepat Thailand melalui Chanatip Songkrasin hal itu semakin terpampang jelas. Ketika pemain Indonesia lebih sering melakukan kesalahan passing karena grogi, aliran bola pemain Thailand mengalir dengan mulus.
Padahal secara taktik, saya kira pelatih Shin Tae-yong sudah maksimal. Formasi 5-4-1 yang nampak berhasil saat menahan Vietnam di fase grup dicoba untuk dipratekkin melawan Thailand kali ini.
Menurut saya cukup berhasil (minimal hinggal babak pertama usai) menahan laju serang Thailand, tetapi soal mental dan ketenangan berbicara lebih banyak.
Fachrudin cs di lini belakang gampang panik saat diserang, Rachmad Irianto di lini tengah tidak mampu menjaga jarak antar lini dengan passing yang akurat, dan Witan juga bahkan salah umpan ketika transisi saat menyerang dibangun. Sedikit contoh dari apa yang terjadi.
Ketika bangunan ini (soal mental dan ketenangan) ini nampak tidak kokoh, maka perubahan formasi 4-4-2 yang dilakukan Shin Tae-yong hanya seperti membangun istana pasir, gampang dirobohkan.
Untuk ini, saya kira, para pemain muda kita masih membutuhkan waktu untuk bertumbuh dan berkembang menjadi lebih baik lagi. Mungkin di gelaran Piala AFF berikutnya, mereka sudah lebih siap.
Kedua, pemain kunci yang tampil sebagai pembeda. Chanatip Songkrasin, Messi dari Thailand ini menjadi pembeda, bahwa di laga final kita butuh pemain yang siap ketika pertandingan mengalami kebuntuan.
Pemain jenis ini, tidak butuh banyak peluang, dia bisa menjadi pembunuh berdarah dingin yang cukup memanfaatkan satu peluang untuk merubah laga. Songkrasin membuktikan bahwa pengalamannya sudah cukup menjadikan dia pemain seperti itu.
Baru menit ketiga, satu sentuhan Chanatip Songkrasin begitu presisi, menghujamkan bola di sisi kiri gawang Nadeo Argawinata. Kiper yang mirip penjaga gawang Chelsea, Kepa Arizalbalga itu hanya tertegun melihat bola masuk ke gawangnya.
Sesudah itu, bisa dibilang laga menjadi lebih mudah bagi Thailand.
Sayangnya tidak ada pemain seperti itu di timnas Indonesia, padahal memiliki modal pemain yang selalu dipuja-puji media dalam dan luar negeri. Skuad Garuda yang terbilang muda ini, masih nampak gentar menghadapi laga sepenting final Piala AFF 2020 ini. Kalah mental.Â
Perhatikan saja, Witan dan Irfan Jaya yang tak tampil lepas seperti biasanya.Â
Lalu ada, Alfeandra Dewangga yang nampak kikuk memanfaatkan satu-satunya peluang emas di babak pertama, Â dan lini belakang yang dikomandoi Asnawi Mangkualam yang kebingungan baik saat menyerang maupun bertahan.
Satu-satunya pemain yang nampak dinamis bergerak adalah Ricky Kambuaya. Pemain ini yang masih terlihat berani berduel, meliuk dan melepas umpan berbahaya bagi pemain lawan. Entah mengapa, Shin Tae-yong mengeluarkannya dari lapangan.
Artinya, Indonesia tanpa pemain yang menjadi pembeda sepanjang laga. Kita rasanya butuh waktu untuk membentuk dan menunggu ada pemain yang sudah siap menjadi pembeda di laga yang vital seperti ini.Â
Ketiga, pendekatan taktik yang lagi-lagi keliru setelah ketinggalan. Saya membahas hal ini lebih detil di tulisan "Tak dapat dipercaya, Ini 3 Kekeliruan Shin Tae-young".Â
Akan tetapi, di tulisan ini, saya ingin sedikit mengulasnya dengan konklusi bahwa Shin Tae-yong kali ini harus mengakui bahwa soal ini dia masih kalah dari  Alexandre Polking, pelatih Thailand.
Salah satunya yang saya kira terlihat jelas adalah ketika Shin Tae-yong memasukkan Elkan Baggott, Kadek Agung, dan Evan Dimas yang menjadikan formasi dasar 5-4-1 berubah menjadi 4-4-2. Saya kira ini perjudian yang sayangnya berharga terlalu mahal, karena gagal total.
Kadek Agung dan Evan Dimas gagal mendominasi lini tengah. Bukan itu saja, kemampuan mereka untuk menahan serangan balik lawan juga sangat lemah.
Saya berulang kali menyebutkan di beberapa tulisan saya bahwa Evan Dimas memiliki kemampuan mendelay bola yang sangat baik, tetapi dengan posisi ketinggalan dan menghadapi lawan yang memiliki kemampuan pressing yang sangat baik, Evan adalah titik lemah.
Bola menjadi lambat bergerak, dan kita semakin kelimpungan menghadapi serangan balik Thailand. Tambahan gelontoran tiga gol saya kira mayoritas karena faktor ini.
Saya sebenarnya berpikir, bahwa Shin Tae-yong bisa lebih sabar.
Memainkan 5-4-1 dengan menjaga tetap kalah tipis 0-1 tak ada salahnya menghadapi tim sekuat Thailand, lagian, kita masih punya satu leg lagi untuk membalas kekalahan. Tapi kalah 0-4, karena kesalahan pendekatan ini, mungkin sudah berarti tamat.
Apakah di leg kedua, Indonesia masih memiliki peluang membalikkan keadaan? Sebagai pemuja kejutan, saya akan mengatakan bahwa apapun bisa terjadi.
Akan tetapi, jika harus rasional, maka yang perlu dikejar sekarang adalah pengalaman dan rasa sakit dari kekalahan dan kegagalan yang dapat memacu para pemain kita menampilkan penampilan yang lebih baik dari leg pertama ini.
Jika hal itu terwujud di leg kedua, itu sudah lebih dari cukup, meski gelar tidak dapat direngkuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H