Siapa yang menyangka bahwa nama-nama seperti Marcus Rashford dan Jardon Sancho yang dimasukkan Gareth Southgate untuk memastikan adu penalti berjalan mulus pada akhirnya gagal total melakukan tugasnya. Inggris memang tak dilahirkan untuk adu penalti. 10 kali adu penalti, 7 kali kalah dan hanya 3 kali menang.
Bisa disebut laga final Euro 2020 antara Italia melawan Inggris berlangsung ketat, seru dan sangat taktikal. Secara taktik misalnya terlihat dari pendekatan yang dipakai pelatih Inggris, Gareth Southgate dalam formasi yang digunakan.
Southgate memilih untuk menerapkan formasi 3-4-2-1 dan meninggalkan pola 4-2-3-1 yang palinh sering dipakai di gelaran Euro 2020 ini, termasuk saat mereka menghadapi Denmark.
Terakhir kali formasi 3-4-2-1 dipakai Inggris adalah saat mengalahkan Jerman dengan skor 2-0, di babak 16 besar.
Saat itu, formasi ini sukses besar, Inggris mampu bertahan rapat karena dapat berubah menjadi 5-3-2 dan sangat garang saat melakukan serangan balik mengandalkan kecepatan Raheem Sterling.
Di formasi ini juga, Kyle Walker bertransformasi sebagai bek tengah di depan Pickford untuk menemani Harry Maguire dan John Stones.
Di sektor bek sayap, Luke Shaw mengisi sisi kiri, sedangkan Kieran Trippier di sisi kanan. Kedua pemain ini ditugaskan untuk mobile naik turun membantu serangan atau bertahan.
Italia memilih sebaliknya alias tidak merubah pakem yang dipakai selama ini.
Hingga gelaran final, allenatore Roberto Mancini setia atau tidak sekalipun meninggalkan pola 4-3-3 yang membuat Italia tampil atraktif dan dapat bertahan secara koletif.
Di jantung pertahanan, duet veteran  Leonardo Bonucci dan Giorgio Chiellini tetap mengawal jantung pertahanan Gli Azzuri dengan ditemani Giovani De Lorenzo dan Emerson Palmieri sebagai fullback mengganti Leonardo Spinazzola yang mengalami cedera.
Di tengah dan depan, sama sekali tidak berubah. Ada trio Nicolo Barella, Jorginho, dan Marco Verratti dan Federico Chiesa, Ciro Immobile, Lorenzo Insigne di lini serang.
Perubahan formasi dari Souhgate ini seperti mendapatkan hasil instan di awal laga. Belum genap dua menit, melalui serangan balik, Â Luke Shaw yang berlari menusuk ke kotak penalty dari sisi kiri mendapat assist cantik dari Kieran Tripper dari sisi kanan.
Di Lorenzo terlambat menutup gerak bola, dan Donnaruma sudah mati langkah. Inggris unggul 1-0 yang membuat seisi stadion bergemuruh.
Sesudah itu, Inggris tampil cattenacio, bertahan total sambil menunggu kesempatan melakukan serangan balik. Seperti yang terjadi saat mereka berhasil membenamkan Jerman.
Inggris bahkan dapat disebut lebih cattenacio dari Italia.
Inilah yang membuat La Nazionale nampak frustrasi sepanjang babak pertama karena sangat sulit menembus lini pertahanan Inggris.
Apalagi Ciro Immobile dan Nicola Barella tampil di bawah perform terbaik mereka. Meski menguasai bola lebih banyak, Italia tak mampu membobol gawang Inggris hingga rehat babak pertama. Â Â
Kurang lebih 10 menit babak kedua berjalan, Italia melakukan pergantian terhadap kedua pemain ini. Ciro Immobile diganti Domenico Berardi sedangkan Barella diganti Cristante.
Meskipun terlihat diganti oleh pemain yang berposisi sama, tapi jika ditilik ada perubahan signifikan yang dilakukan oleh Mancini.
Kehadiran Cristante membuat Jorginho bisa lebih leluasa maju ke depan, harapan Mancini tentu saja adalah membuat Jorginho atau Verrati dapat lebih ke depan, ketika garis pertahanan Inggris sudah cukup dalam bertahan.
Untuk pergantian Immobile dengan Berardi, ini yang menarik. Italia bermain tanpa striker murni.
Roberto Mancini berharap pergerakan lini serang bisa lebih dinamis dengan rotasi posisi cepat antara Insigne, Chiesa dan Berardi untuk membingungkan para pemain belakang Inggris.
Bisa disebut cukup berhasil. Berulang kali, Chiesa mendapat ruang lebih banyak, dan Jorginho atau Verrati lebih mudah mendapat ruang untuk melepas umpan. Italia tinggal menunggu waktu untuk menyamakan kedudukan.
Waktu itu akhirnya datang, indah pada waktunya. Dari sekelumit yang terjadi karena set piece tendangan pojok, bola rebound hasil tandukan Verrati yang berhasil dimanfaatkan Leonardo Bonnuci. Wembley terdiam.Â
Jordan Pickford yang sebelumnya nampak tangguh di bawah mistar gawang Inggris akhirnya harus melihat gawangnya bobol. Skor menjad imbang 1-1.
Inggris nampak panik. Southgate harus melakukan kontra strategi karena mempertahankan 3-4-1-2 membuat Italia akan terus mengontrol bola. Di kisaran menit ke-70an, Southgate membuat perubahan formasi dengan melakukan pergantian pemain.
Kieran Trippier dikeluarkan diganti Bukayo Saka, dan Declan Rice diganti Jordan Henderson.Â
Pergantian ini membuat Inggris berubah kembali ke pakem awal mereka 4-3-3. Sesudah itu, bukan menunggu saja, Inggris juga rajin melakukan serangan ke pertahanan Italia.
Pola dasar 4-3-3 berhadapan dengan  4-3-3 memang terlihat menarik, hanya sebenarnya lebih mudah untuk diantisipasi. Banyak pandit yang menyebut, jika kedua pola ini dipakai dari awal, maka kedua tim akan bermain hingga 120 menit.
Benar, selain pada akhirnya laga berlangsung hingga 120 menit, hingga peluit panjang dibunyikan wasit Bjorn Kuipers, tidak ada gol tambahan.
Semenit menjelang laga 120 menit usai, Southgate melakukan pergantian pemain yang cukup mengejutkan. Dua pemain ofensif, Marcus Rashfrod menggantikan Henderson , dan Jadon Sancho menggantikan Kyle Walker.
Southgate tentu saja berharap agar kedua pemain ini dapat menjadi eksekutor yang baik bagi Inggris di babak adu penalti. Sayang harapan tinggal harapan. Kedua pemain ini gagal total menunaikan tugasnya bersama Bukayo Saka.
Gianluigi Donnaruma secara heroik berhasil menepis tendangan Sancho dan Saka, sedangkan eksekusi Rashford malah membentur tiang gawang Inggris.
Di sisi lain, kegagalan tiga pemain Inggris sudah lebih dari cukup, meski eksekusi Belloti dan Jorginho juga gagal. Italia mnejadi juara Euro 2020.
***
Kepedihan tentu dirasakan pendukung Inggris. Slogan " Football back to home" hanya menyisakan kesedihan mendalam.Â
Gareth Southgate juga harus melihat perulangan kegagalan saat Euro 1996 saat dirinya menjadi aktor kunci dari kegagalan adu penalti melawan Jerman saat itu. Â
Optimisme sedang membumbung tinggi, karena hingga partai final, Inggris tak berhasil diajak lawan untuk beradu penalti.Â
Denmark hampir berhasil melakukannya namun gagal juga ini yang membuat pendukung Inggris yakin bahwa inilah saat yang tepat menjadi juara Eropa untuk pertama kalinya.
Sayang, keberuntungan itu memihak Italia. Di babak adu penalti, Inggris sekali lagi melihat mental Italia yang sudah terbukti saat menaklukan Spanyol di babak semifinal.
Kekalahan yang membuat Italia superior atas Inggris. Dalam sembilan kali pertemuan mereka, Gli Azzurri baru satu kali kalah saat bertemu Inggris di Piala Eropa atau Piala Dunia, satu imbang, dan tujuh kali menang.
Di sisi lain, sekali lagi Inggris tidak dilahirkan untuk beradu penalti, 10 kali adu penalty di ajang bergengsi, Inggris 7 kali kalah dan hanya 3 kali menang. Menyakitkan.
Gelar Euro 2020 ini menjadi gelar kedua Italia sesudah 1968, dan bagi Inggris, Â "sepakbola itu gagal untuk kembali ke rumah". Entah sampai kapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H