Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Tangisan Spinazzola, Mancini, dan Keberuntungan Koin 1968

6 Juli 2021   08:18 Diperbarui: 6 Juli 2021   17:40 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

3 Juli 2021. Menit ke-77. Leonardo Spinazolla menyentuh bola lebih ke depan. Seperti biasa , dia ingin melakukan sprint, melakukan overlap terhadap pemain lawan di depannya. Kali ini wingback Belgia, Thorgan Hazard yang menjadi targetnya.  

Spinazzola berlari dalam kecepatan tinggi, Hazard yang tak mau kalah duel, ikut berlari kencang. Tiba-tiba, crash, Spinazzola yang sedikit di belakang Hazard terjatuh terguling  setelah tak seimbang berlari. Spinazzola lalu mengangkat tangannya, meminta bantuan.

Ada erangan panjang menahan rasa sakit, dia mungkin mulai kuatir cedera yang dialaminya bukan cedera yang ringan. Spinazzola nampak menangis. 

Dari pinggir lapangan, Mancini dan para staf pelatihnya masih menunggu, cukup cemas dengan berbagai tanya.

Apakah Spinazzola harus diganti pemain lain? Karena dalam waktu yagn tersisa, belum dapat dipastikan bahwa Italia akan mengalahkan Belgia, meski hasil di papan skor Italia sedang unggul 2-1.

Gelandang Italia lainnya, Bryan Christante mendekati Spinazzola lebih dahulu.

Christante yang adalah kolega Spinazzola di AS Roma lalu melepas pandang seperti memberi isyarat  ke pinggir lapangan seiring perawatan tim medis, bahwa ini cedera parah dan perlu diganti dengan pemain lain.

Terbukti jelas, ini memang cedera parah yang membuat pemain berusia 28 tahun itu tak dapat melanjutkan permainan dan  akhirnya Spinazzola digantikan Emerson.

Seusai penangangan dalam laga yang dihelat di Munich itu, tenaga medis Timnas Italia memperkirakan bahwa Spinazzola mengalami cedera patah tulang Achilles. 

Kisah hebat Spinazzola di Euro 2020 telah berakhir.

Benar dugaan, Setelah Spinazzola menjalani tes di Rumah Sakit Sant'Andrea di Roma, dan resmi oleh tim dokter dipastikan mengalami "pecahnya subkutan pada tendon achilles kiri" dan akan absen dari sepakbola kira-kira sekitar empat bulan.

Pecah atau putusnya tendon achilles memang merupakan mimpi buruk bagi para pemain. Sedikit informasi, tendon achilles seperti sebuah perantara yang menghubungkan otot betis hingga tulang belakang kaki atau tumit.

Dan yang terjadi pada Spinazzola adalah seperti ini;  fungsi utama dari tendon Achilles menjadi hancur ketika sedang berlari yang tidak seimbang itu membuat beban berlebih yang diterima tendon achillesnya, dan akhirnya tertarik sampai salah satu jaringannya putus.

Pilihan terbaik bagi Spinazzola adalah operasi, dan ini berarti tidak akan ada mujizat, bahwa Spinazzola akan tampil dalam laga semifinal besok melawan Spanyol.

Sebuah pukulan berat bagi Italia dan tentunya bagi sang pelatih, Roberto Mancini.

Wajar karena Spinazzola adalah pemain yang sangat berpengaruh dalam pola permainan Gli Azzuri ala Mancini yang dikenal atraktif musim ini.

Ungkapan duka langsung disampaikan Presiden FA Italia, Gabriele Gravina, sesaat sesudah kabar itu.

"Saya merasa sangat kasihan pada Spinazzola, karena dia telah memberikan begitu banyak untuk tim ini. Saya mendoakan yang terbaik untuknya agar cepat kembali, karena dia bukan hanya seorang profesional yang hebat, tetapi dia juga telah menunjukkan kualitas pribadi yang hebat" kata Gravina.

Sang allenatore, Roberto Mancini sendiri lebih memilih tidak banyak berkomentar menanggapi cedera berat Spinazzola ini. Mancini hanya berkomentar pendek.

"Situasinya tampak serius. Saya terkejut melihatnya menangis. Dinamika cederanya tidak terlalu bagus," kata Mancini, lirih.

Mancini tahu bahwa kehilangan Spinazzola dapat secara signifikan merubah gaya bermain Italia.

Pujian atas penampilan Italia selama di Euro 2020 yang dianggap atraktif saat menguasai bola dan agresif ketika menyerang dapat dikatakan karena pergerakan Spinazzola.

Pola dasar 4-3-3 yang dipakai Mancini, berubah menjadi sangat garang saat berubah menjadi 3-2-4-1 saat satu full back didorong lebih jauh ke depan, dan orang yang paling sempurna melakukannya adalah Spinazzola. Tak ayal gelar man of the match pernah diraih oleh Spinazzola.

Inilah yang membuat Mancini akan berpikir keras. 

Memang masih ada Emerson, akan tetapi kita tahu jelas, setelah Emerson masuk dan taka da lagi pergerakan tajam dari sisi kiri, Italia nampak tertekan dan menderita di sisa pertandingan.

Satu yang bisa diandalkan adalah keyakinan bahwa Mancini tidak akan tergantung pada satu pemain saja. Italia yang dibangunnya dan menjadi hebat, adalah karena kolektifitas bermain dari squadra azzura.

Ada alternatif lain juga yang dapat dimainkan oleh Mancini tanpa Spinazzola di lapangan hijau.

Salah satunya adalah jika Mancini merasa Emerson tak bisa merealisasikan agar 3-2-4-1 berjalan sempurna dari kiri maka dia bisa mendorong agar wingback PSG, Allesandro Florenzi yang bergerak dari kanan. Bisa saja demikian.

Bagi penggemar Italia, janganlah terlalu kuatir, Mancini bukanlah pelatih kemarin sore, bahkan Mancini bisa disebut jenius.

Hingga saat ini, Gli Azzuri sudah dibawanya tampil sangat hebat sejak ditukangi dari Mei 2018 menggantikan Giacomo Ventura.

Bersama Gli Azzuri, Mancini memang sempat tertahan ketika dikalahkan oleh Portugal di Nations League pada September 2018, tetapi sejak itu laju Italia tak tertahankan dan membuat rekor dengan 27 laga tanpa terkalahkan.

Italia memenangkan semua 10 laga kualifikasi Euro 2020 mereka -- pertama kalinya mereka mencatat rekor sempurna dalam kualifikasi Euro. Mencetak 37 gol dan hanya kebobolan empat kali.  Hasil yang membuat mereka finis di puncak grup Nations League 2020-21.

Hasil yang dikatakan sempurna yang ditorehkan sesudah Mancini berkat upayanya yang berhasil dengna membuat transisi dari era Chiellini, Buffon dan Barzagli ke era Nicolla Barella, Manuel Locatelli berjalan mulus.

Mancini berhasil membujuk Chiellini membatalkan niat pensiun sesudah Buffon dan Barzagli memang benar-benar pensiun dari timnas, lalu membuat para pemain muda nyetel dengan sepakbola yang diinginkannya, dengan Chiellini sebagai pengobar semangat sebagai pemain paling senior.

Pertanyaannya adalah apakah dalam situasi seperti ini dapat berarti bahwa Italia akan dengan mudah meneruskan tren kemenangannya dengan mengalahkan Spanyol di semifinal Euro nanti?

Jika harus jujur, maka tidak akan semudah itu, meski lebih cemerlang di Euro 2020 ini, sepakbola tidak bisa dinilai secara linier, matematis.

Meski selalu menang, mungkin penikmat bola dan penggemar Italia sempat terkejut bahkan was-was ketika skuad Mancini yang tampil hebat di fase grup hampir dikalahkan Austria di babak 16 besar.

Saat itu, jika gol Marko Arnautovic tidak dianulir di waktu normal, tidak ada lagi kisah kehebatan Italia. 

Beruntung di babak perpanjangan waktu, dua pemain pengganti Marco Pessina dan Federico Chiesa mampu mencetak dua gol, yang dibalas Austria satu gol saja.

Keberuntungan? Ya, keberuntungan, satu faktor yang tidak boleh diremehkan. Siapa yang mendapat belas kasihan kemujuran di laga yang semakin berat ini, dialah yang akan menjadi pemenang.

Publik mungkin sedikit lupa, bahwa sejarah kejayaan Italia di Euro memang kental dengan keberuntungan. Satu-satunya gelar Italia di ajang ini yakni pada Tahun 1968, dinaungi oleh keberuntungan.

Saat itu dalam skema yang agak unik, dengan babak penyisihan dimainkan sejak 1966, empat tim berhasil menjejak semifinal.

Para legenda Italia, Giacinto Facchetti, Gianni Rivera, Luigi Riva dan sang Kiper, Dino Zoff di babak itu berhadapan dengan Yugoslavia, Uni Soviet dan Inggris.

Italia Vs Uni Soviet. Dalam laga 90 menit + 30 menit babak semifinal antara kedua tim,  skor masih imbang kacamata.

Tak ada pilihan lain---karena belum ada sistim adu penalti, maka kedua tim ditentukan dari tos koin, siapa yang memilih sisi yang benar dia yang menang. Wasit asal Jerman Barat, Kurt Tschenscher, saat itu menjadi saksinya dengan tos koin yang dilaksanakan di ruang ganti yang tertutup.

Sang Kapten, Giacento Fachetti nampak gugup, nasib satu bangsa berada di tangannya. Beruntung, dia memilih sisi koin yang tepat,

"Kami pergi menuju ruang ganti bersama-sama. Ketika itu wasit mengeluarkan sebuah koin tua, dan aku memilih sisi ekor. Dan itu adalah pilihan yang tepat dan Italia melaju ke final," uajr Facchetti mengenang kejadian tersebut.

"Ketika tos koin selesai, Saya langsung naik ke tangga untuk merayakannya. Stadion masih penuh, sekitar 70.000 penonton masih menunggu untuk mendengarkan hasilnya. Saya lalu menjelaskan kepada mereka, Italia sudah menjadi pemenang," tambah Fachetti.

Sejarah seringkali berulang.

Laga nanti, Italia Vs Spanyol, kemungkinan besar dapat berlangsung lebih dari 90 menit, dan disitulah penonton akan melihat dimana ruh keberuntungan itu akan berpihak.

Italia,dan Roberto Mancini tentu saja berharap Koin 1968 itu memihak pada mereka di laga melawan Spanyol nanti. Atau kehilangan Spinazzola akan menjadi penyesalan terdalam mereka? Kita nantikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun