Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Cerita tentang Pulau Nusa Manuk, Rote dalam Keheningannya

21 Oktober 2016   13:51 Diperbarui: 21 Oktober 2016   16:31 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Teripang Segar dari pantai Nusa Manuk (dok.Arnold)

Pantai Putih dengan Karang (dok.Arnold)
Pantai Putih dengan Karang (dok.Arnold)
Beberapa sisi pulau kami jelajahi. Pesona pulau ini terus kami kejar. Termasuk berfoto dengan Bakau yang menghijau lebat. Kontras sekali dengan kesederhanaan pulau ini.  Pasir Putihnya  terpisah-pisah dengan batu karang lebar sebagai pemisah.

Berfoto di Nusa Manuk (Dok.Arnold)
Berfoto di Nusa Manuk (Dok.Arnold)
Di kejauhan, matahari sudah memberikan sapaan terakhir. Sudah hampir gelap. Seharusnya waktunya pulang. Tetapi keramahan orang-orang di Nusa Manuk sayang kalau di tolak dan dilewatkan. Ikan bakar dengan minuman keras tradisional dari pohon Nira bernama Sopi menjadi jamuan utama di Nusa Manuk. 

Ketika itu semua disajikan, beberapa teman sibuk sekali membakar daun kelapa beserta serabutnya.  Mereka memproduksi Asap. “Ayo pak..mendekat” ajak mereka. “Nyamuk disini, gigitannya nakal. Bukan saja gatal tetapi sakit”, begitu mereka mendefinisikan nyamuk yang ada sebutannya dalam bahasa Rote. Tetapi maaf saya lupa.

Saya tidak mendekat. Entahlah. Apa karena bau saya agak asing, nyamuk-nyamuk itu tidak menakali saya sore itu. Malahan anak-anak kecil yang lari membawa piring ke laut dan mencuci piring itu di sana lebih menarik perhatian saya. “Ada air bersih disini?” tanya saya spontan. “ Sumbernya tidak ada pak. Kami harus beli di Batutua” sahut seorang tua yang menemani kami makan. Pantas, warna teh yang disajikan khusus untuk saya,  agak berbeda warnanya. Tapi saya yakin itu bukan air laut. Masih manis, tidak asin.

Nusa Manuk menjelang gelap (dok.Arnold)
Nusa Manuk menjelang gelap (dok.Arnold)
Sambil makan kami mulai bercerita. Topiknya bermacam-macam. Mengalir tanpa henti karena Sopi. Sopi itu Khas. Bisa membuat orang menjadi “cerewet” walaupun sebenarnya pendiam. Kalau tidak percaya sesekali ke NTT, akan saya sajikan.

Beberapa tua Nusa Manuk mulai menceritakan keluhan mereka seperti tatap muka dengan anggota dewan. Apalagi mereka tahu beberapa dari kami mewakili pemerintah. Sayang kami bukan anggota Dewan. Hanya beberapa guru termasuk saya yang hanya Instruktur latihan Kerja. Selain masalah listrik, masalah air, masalah Puskesmas yang tidak pernah dihuni oleh petugas menjadi persoalan yang diceritakan kepada kami. Puskesmasnya masih ada tetapi terkadang seperti kandang kambing. Kambing sering masuk ke situ.

Saya lalu berpikir, dengan 30 Kepala Keluarga di Pulau kecil ini, mereka jelas tidak mempunyai suara signifikan untuk mengajak pemerintah untuk membantu mereka. Mereka harus antri, tetapi entah sampai kapan. Omong-omong itu terpaksa  terhenti karena si tuan kapal terlihat semakin mabuk. Menjadi pertanda buruk jika tidak segera dihentikan.

“Ayo..pak, kami permisi pulang..” kata kaka tian yang jelas juga lapar karena dia ternyata alergi ikan. Jadi perutnya tidak terisi sempurna di Nusa Manuk. Ucapan terimakasih dan tanpa janji berlebih bahwa kami akan kembali baik sebagai pelancong atau sebagai pembawa solusi kami utarakan. Mereka hanya membalas dengan senyuman lebar entah tanda puas atau pasrah. Senyuman itupun saya tahu karena gigi putih mereka bisa kelihatan di redupnya lampu cas-casan tenaga surya yang digunakan. Adios.

nusa-manuk-sore2-5809ba7f9497737117d906b9.jpg
nusa-manuk-sore2-5809ba7f9497737117d906b9.jpg
Nusa Manuk sudah sangat  gelap. Bintang dan bulan malam itu malahan tidak bisa membantu untuk menentukan di mana letak perahu kami. Beruntung, teknologi senter sudah lama terintegrasi dengan HP. Cukup membantu dan setelah itu saya dipersilahkan naik terlebih dahulu. Dipersilahkan terlebih dahulu karena perahu harus kembali ditolak ke tengah laut. Butuh gotong royong . Karena malu saya meminta turun untuk ikut membantu.

Akhirnya perahu sudah melaju dan kami berjumlah lengkap seperti kedatangan. Perjalanan pulang kami sepertinya lebih hening dari waktu kedatangan. Entah sudah kenyang, mabuk atau was-was karena gelombang masih terus menyapa di kedua sisi perahu. Lebih besar.

Saya terdiam sambil terus melihat Nusa Manuk yang tertinggal di sana. Nusa Manuk tetap di sana. Masih hening malahan terlalu hening ketika malam. Sesekali ada api kecil terang muncul, entah dari rumah atau dari petek ketika rokok mulai dinyalakan. Bakau berdaun hijau sudah menghitam walaupun pasir putih kelihatan masih abu-abu, artinya tetap ada harapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun