Rasa keingintahuan terhadap hal-hal yang belum diketahui membawa saya ke Nusa Manuk, pulau kecil di ujung selatan Indonesia, di Rote NTT. Selagi di sana, saya dan teman berjalan-jalan menikmati pantai ciri keindahan Pulau yang berarti Pulau Ayam ini.
Rasa ingin tahu itu terkadang menantang. Termasuk berkorban untuk setia menunggu. Langit biru tak berawan banyak menjanjikan sore berangin tanda perahu akan terbantu tetapi tentu ombak akan terasa terlalu akrab, malahan terlalu nakal. Sebenarnya siang tadi si ombak masih tenang beristirahat tetapi sayang dia tidak menghampiri perahu kecil kami untuk menawarkan undangan ke sana. Surut.
Akhirnya, pukul 3 Sore. Nusa Manuk seperti mengundang kami untuk segera ke sana dari jarak 3 Km dari Pantai Batutua di Kampung Kecil di Rote bagian Barat Daya. “Ayo, mari su (sudah), kalo son (tidak) mau lama-lama di sana” ajak si tuan perahu yang rela mengantarkan kami hanya dengan balasan mengisi bensin 5 liter dan sebungkus rokok.
Walaupun harus mendorong perahu untuk tidak malu-malu bergelayut dengan air asin. Akhirnya kami berangkat. Jangkar sudah diangkat, mesin tua tunggal mulai berbunyi sangar tanda perahu berangkat. Nusa Manuk kami datang.

Dalam keheningan perjalanan. Hampir 45 menit . Entah apa yang dipikirkan oleh masing-masing orang. Hening itu pecah ketika perahu memasuki 200 meter terakhir waktu akan bertambat di Nusa Manuk. “Lompat-lompat” seru beberapa orang diantara mereka.

“Ayo pak..makan. Sehat ” tawar kaka tian lagi. Kali ini saya tidak menjawab, sambil berpura-pura mencari sandal hijau Jepit Jepang saya yang entah kemana. Sebuah penolakan yang halus sebenarnya.


Anak-anak kecil berlarian menyambut kami seperti mengakrabkan diri, mungkin menghabiskan waktu dan tenaga karena pasti ketika pulau ini menjadi segelap-gelapnya mereka harus terlelap karena tidak ada yang dapat dilakukan oleh anak seusia mereka.


Ketika itu semua disajikan, beberapa teman sibuk sekali membakar daun kelapa beserta serabutnya. Mereka memproduksi Asap. “Ayo pak..mendekat” ajak mereka. “Nyamuk disini, gigitannya nakal. Bukan saja gatal tetapi sakit”, begitu mereka mendefinisikan nyamuk yang ada sebutannya dalam bahasa Rote. Tetapi maaf saya lupa.
Saya tidak mendekat. Entahlah. Apa karena bau saya agak asing, nyamuk-nyamuk itu tidak menakali saya sore itu. Malahan anak-anak kecil yang lari membawa piring ke laut dan mencuci piring itu di sana lebih menarik perhatian saya. “Ada air bersih disini?” tanya saya spontan. “ Sumbernya tidak ada pak. Kami harus beli di Batutua” sahut seorang tua yang menemani kami makan. Pantas, warna teh yang disajikan khusus untuk saya, agak berbeda warnanya. Tapi saya yakin itu bukan air laut. Masih manis, tidak asin.

Beberapa tua Nusa Manuk mulai menceritakan keluhan mereka seperti tatap muka dengan anggota dewan. Apalagi mereka tahu beberapa dari kami mewakili pemerintah. Sayang kami bukan anggota Dewan. Hanya beberapa guru termasuk saya yang hanya Instruktur latihan Kerja. Selain masalah listrik, masalah air, masalah Puskesmas yang tidak pernah dihuni oleh petugas menjadi persoalan yang diceritakan kepada kami. Puskesmasnya masih ada tetapi terkadang seperti kandang kambing. Kambing sering masuk ke situ.
Saya lalu berpikir, dengan 30 Kepala Keluarga di Pulau kecil ini, mereka jelas tidak mempunyai suara signifikan untuk mengajak pemerintah untuk membantu mereka. Mereka harus antri, tetapi entah sampai kapan. Omong-omong itu terpaksa terhenti karena si tuan kapal terlihat semakin mabuk. Menjadi pertanda buruk jika tidak segera dihentikan.
“Ayo..pak, kami permisi pulang..” kata kaka tian yang jelas juga lapar karena dia ternyata alergi ikan. Jadi perutnya tidak terisi sempurna di Nusa Manuk. Ucapan terimakasih dan tanpa janji berlebih bahwa kami akan kembali baik sebagai pelancong atau sebagai pembawa solusi kami utarakan. Mereka hanya membalas dengan senyuman lebar entah tanda puas atau pasrah. Senyuman itupun saya tahu karena gigi putih mereka bisa kelihatan di redupnya lampu cas-casan tenaga surya yang digunakan. Adios.

Akhirnya perahu sudah melaju dan kami berjumlah lengkap seperti kedatangan. Perjalanan pulang kami sepertinya lebih hening dari waktu kedatangan. Entah sudah kenyang, mabuk atau was-was karena gelombang masih terus menyapa di kedua sisi perahu. Lebih besar.
Saya terdiam sambil terus melihat Nusa Manuk yang tertinggal di sana. Nusa Manuk tetap di sana. Masih hening malahan terlalu hening ketika malam. Sesekali ada api kecil terang muncul, entah dari rumah atau dari petek ketika rokok mulai dinyalakan. Bakau berdaun hijau sudah menghitam walaupun pasir putih kelihatan masih abu-abu, artinya tetap ada harapan.
Saya berpikir anak-anak yang mencuci piring dengan air laut itu akan menjadi harapan Nusa Manuk. Mereka akan besar di saat sudah ada pembangkit listrik disana dan air bersih sudah mencukupi. Harap saya ketika kembali ke sana, ikan bakar, sopi dan teh celup itu akan kami nikmati dengan tawa jelas yang bisa kami perhatikan satu sama lain. Tetapi sekarang? Nusa Manuk tetap hening. Butuh istirahat.
Perenungan saya dihentikan teriakan sang "Kapten" yang jelas masih mabuk. “Air laut masih tinggi, harus turun sekarang. Jangkar sudah dilempar”. Kami tak bereaksi, karena perkiraan tinggi air laut belum bisa diprediksi. Salah seorang dari kami membuka baju dan byurrr…… Lebih dari setengah badan. Satu persatu mulai menyusul. “Saya gendong pak…” tawar kaka Tian yang tak sampai hati sang tamu juga harus berendam
“Terimakasih…, saya bisa sendiri” jawab saya tegas sambil mengamankan hp dan dompet dari air laut. Syukurlah. Kami sudah sampai.
***********

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI