Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Cerita tentang Pulau Nusa Manuk, Rote dalam Keheningannya

21 Oktober 2016   13:51 Diperbarui: 21 Oktober 2016   16:31 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surut di Pantai Batutua, Nusa Manuk kelihatan dari Jauh (dok.Arnold)

Rasa keingintahuan terhadap hal-hal yang belum diketahui membawa saya ke Nusa Manuk, pulau kecil di ujung selatan Indonesia, di Rote NTT. Selagi di sana, saya dan teman berjalan-jalan menikmati pantai ciri keindahan Pulau yang berarti Pulau Ayam ini.

Rasa ingin tahu itu terkadang  menantang. Termasuk berkorban untuk setia menunggu. Langit biru tak berawan banyak menjanjikan sore berangin tanda perahu akan terbantu tetapi tentu ombak akan terasa terlalu akrab, malahan terlalu nakal. Sebenarnya siang tadi si ombak masih tenang beristirahat tetapi sayang dia  tidak menghampiri  perahu kecil kami untuk menawarkan undangan ke sana. Surut.

Akhirnya, pukul 3 Sore. Nusa Manuk seperti mengundang kami untuk segera ke sana dari jarak 3 Km dari Pantai Batutua di Kampung Kecil di Rote bagian Barat Daya. “Ayo, mari su (sudah), kalo son (tidak) mau lama-lama di sana” ajak si tuan perahu yang rela mengantarkan kami hanya dengan balasan mengisi bensin 5 liter dan sebungkus rokok.

Walaupun harus mendorong perahu untuk tidak malu-malu bergelayut dengan air asin. Akhirnya kami berangkat. Jangkar sudah diangkat, mesin tua tunggal mulai berbunyi sangar tanda perahu berangkat. Nusa Manuk kami datang.

Duduk rapi di perahu kecil ini (dok. Arnold)
Duduk rapi di perahu kecil ini (dok. Arnold)
Perahu kecil ini terisi delapan orang. Sebagai orang darat dengan status undangan. Saya lagi bertugas melatih masyarakat di Batutua. Saya pergi bersama enam orang warga Batutua yang kebetulan sebagian besar menjadi siswa saya. Saya harus sigap memperhatikan cara berlaku mereka di atas perahu. Jika tuan-tuan rumah ini duduk rapi di atas perahu, maka hanya ada dua kemungkinan. Perahunya terlalu kecil atau gelombang akan besar di setengah perjalanan. Sayang, dua kemungkinan itu menjadi nyata tanpa menyisakan satu diantaranya. 

Dalam keheningan perjalanan. Hampir  45 menit . Entah apa yang dipikirkan oleh masing-masing orang. Hening itu pecah ketika perahu memasuki 200 meter terakhir waktu akan bertambat di Nusa Manuk. “Lompat-lompat” seru beberapa orang diantara mereka.

Pencari Teripang (dok.Arnold)
Pencari Teripang (dok.Arnold)
Empat diantaranya sudah berada di air laut biru  yang silau karena memantulkan sinar sang surya  yang mulai kelelahan. “Teripang..teripang” teriak salah satu di antara mereka. Empat orang pencari teripang kami tinggalkan ketika perahu mulai melambat dihambat rumput laut liar di bibir pantai. “Ayo pak, makan”  tawar kaka tian, orang yang paling tua di antara kami seraya siap menghancurkan teripang dengan batu kapur. “ Terimakasih” jawab saya ramah, sambil bertanya-tanya, makhluk apa lagi ini. Teripang jenis yang ditawarkan ini berbentuk kayak batu, bisa juga kayak ulat bulu yang rontok bulunya karena kegemukan. Jujur saya belum pernah memakannya, apalagi mentah begini.

Ayo pak..makan. Sehat ” tawar kaka tian lagi. Kali ini saya tidak menjawab, sambil berpura-pura mencari sandal hijau Jepit Jepang saya yang entah kemana. Sebuah penolakan yang halus sebenarnya.

Teripang Segar dari pantai Nusa Manuk (dok.Arnold)
Teripang Segar dari pantai Nusa Manuk (dok.Arnold)
Nusa Manuk, kami akhirnya sampai. Jangkar sudah dilempar sejak beberapa waktu lalu. Beberapa Perahu milik Nelayan lokal sudah diikat dengan rapi. Beristirahat karena malam baru bergegas bekerja lagi. Menangkap ikan. Beberapa orang tua sepertinya  sudah menunggu kami dipinggir pantai. Entah karena sudah di kabari, atau karena mereka memang mempunyai kebiasaan seperti itu.

Nusa Manuk di bibir Pantai (dok.Arnold)
Nusa Manuk di bibir Pantai (dok.Arnold)
Pulau ini sederhana. Sederhana karena bukan saja hanya dihuni 30 Kepala Keluarga (KK) tetapi Pulau ini juga tidak mempunyai pasokan  listrik. Energi Surya dengan perangkatnya menjadi bantuan yang sudah dimakan usia dan “sakit” karena tanpa pemeliharaan yang cukup memadai.

Anak-anak kecil berlarian menyambut kami seperti mengakrabkan diri, mungkin menghabiskan waktu dan tenaga karena pasti ketika pulau ini menjadi segelap-gelapnya mereka harus terlelap karena tidak ada yang dapat dilakukan oleh anak seusia mereka.

Pantai Putih dengan Karang (dok.Arnold)
Pantai Putih dengan Karang (dok.Arnold)
Beberapa sisi pulau kami jelajahi. Pesona pulau ini terus kami kejar. Termasuk berfoto dengan Bakau yang menghijau lebat. Kontras sekali dengan kesederhanaan pulau ini.  Pasir Putihnya  terpisah-pisah dengan batu karang lebar sebagai pemisah.

Berfoto di Nusa Manuk (Dok.Arnold)
Berfoto di Nusa Manuk (Dok.Arnold)
Di kejauhan, matahari sudah memberikan sapaan terakhir. Sudah hampir gelap. Seharusnya waktunya pulang. Tetapi keramahan orang-orang di Nusa Manuk sayang kalau di tolak dan dilewatkan. Ikan bakar dengan minuman keras tradisional dari pohon Nira bernama Sopi menjadi jamuan utama di Nusa Manuk. 

Ketika itu semua disajikan, beberapa teman sibuk sekali membakar daun kelapa beserta serabutnya.  Mereka memproduksi Asap. “Ayo pak..mendekat” ajak mereka. “Nyamuk disini, gigitannya nakal. Bukan saja gatal tetapi sakit”, begitu mereka mendefinisikan nyamuk yang ada sebutannya dalam bahasa Rote. Tetapi maaf saya lupa.

Saya tidak mendekat. Entahlah. Apa karena bau saya agak asing, nyamuk-nyamuk itu tidak menakali saya sore itu. Malahan anak-anak kecil yang lari membawa piring ke laut dan mencuci piring itu di sana lebih menarik perhatian saya. “Ada air bersih disini?” tanya saya spontan. “ Sumbernya tidak ada pak. Kami harus beli di Batutua” sahut seorang tua yang menemani kami makan. Pantas, warna teh yang disajikan khusus untuk saya,  agak berbeda warnanya. Tapi saya yakin itu bukan air laut. Masih manis, tidak asin.

Nusa Manuk menjelang gelap (dok.Arnold)
Nusa Manuk menjelang gelap (dok.Arnold)
Sambil makan kami mulai bercerita. Topiknya bermacam-macam. Mengalir tanpa henti karena Sopi. Sopi itu Khas. Bisa membuat orang menjadi “cerewet” walaupun sebenarnya pendiam. Kalau tidak percaya sesekali ke NTT, akan saya sajikan.

Beberapa tua Nusa Manuk mulai menceritakan keluhan mereka seperti tatap muka dengan anggota dewan. Apalagi mereka tahu beberapa dari kami mewakili pemerintah. Sayang kami bukan anggota Dewan. Hanya beberapa guru termasuk saya yang hanya Instruktur latihan Kerja. Selain masalah listrik, masalah air, masalah Puskesmas yang tidak pernah dihuni oleh petugas menjadi persoalan yang diceritakan kepada kami. Puskesmasnya masih ada tetapi terkadang seperti kandang kambing. Kambing sering masuk ke situ.

Saya lalu berpikir, dengan 30 Kepala Keluarga di Pulau kecil ini, mereka jelas tidak mempunyai suara signifikan untuk mengajak pemerintah untuk membantu mereka. Mereka harus antri, tetapi entah sampai kapan. Omong-omong itu terpaksa  terhenti karena si tuan kapal terlihat semakin mabuk. Menjadi pertanda buruk jika tidak segera dihentikan.

“Ayo..pak, kami permisi pulang..” kata kaka tian yang jelas juga lapar karena dia ternyata alergi ikan. Jadi perutnya tidak terisi sempurna di Nusa Manuk. Ucapan terimakasih dan tanpa janji berlebih bahwa kami akan kembali baik sebagai pelancong atau sebagai pembawa solusi kami utarakan. Mereka hanya membalas dengan senyuman lebar entah tanda puas atau pasrah. Senyuman itupun saya tahu karena gigi putih mereka bisa kelihatan di redupnya lampu cas-casan tenaga surya yang digunakan. Adios.

nusa-manuk-sore2-5809ba7f9497737117d906b9.jpg
nusa-manuk-sore2-5809ba7f9497737117d906b9.jpg
Nusa Manuk sudah sangat  gelap. Bintang dan bulan malam itu malahan tidak bisa membantu untuk menentukan di mana letak perahu kami. Beruntung, teknologi senter sudah lama terintegrasi dengan HP. Cukup membantu dan setelah itu saya dipersilahkan naik terlebih dahulu. Dipersilahkan terlebih dahulu karena perahu harus kembali ditolak ke tengah laut. Butuh gotong royong . Karena malu saya meminta turun untuk ikut membantu.

Akhirnya perahu sudah melaju dan kami berjumlah lengkap seperti kedatangan. Perjalanan pulang kami sepertinya lebih hening dari waktu kedatangan. Entah sudah kenyang, mabuk atau was-was karena gelombang masih terus menyapa di kedua sisi perahu. Lebih besar.

Saya terdiam sambil terus melihat Nusa Manuk yang tertinggal di sana. Nusa Manuk tetap di sana. Masih hening malahan terlalu hening ketika malam. Sesekali ada api kecil terang muncul, entah dari rumah atau dari petek ketika rokok mulai dinyalakan. Bakau berdaun hijau sudah menghitam walaupun pasir putih kelihatan masih abu-abu, artinya tetap ada harapan.

Saya berpikir anak-anak yang mencuci piring dengan air laut itu akan menjadi harapan Nusa Manuk. Mereka akan besar di saat sudah ada pembangkit listrik disana dan air bersih sudah mencukupi. Harap saya ketika kembali ke sana,  ikan bakar, sopi dan teh celup itu akan kami nikmati dengan tawa jelas yang bisa kami perhatikan satu sama lain. Tetapi sekarang?  Nusa Manuk tetap hening. Butuh istirahat.

Perenungan saya dihentikan teriakan sang "Kapten" yang jelas masih mabuk. “Air laut masih tinggi, harus turun sekarang. Jangkar sudah dilempar”. Kami tak bereaksi, karena perkiraan tinggi air laut belum bisa diprediksi. Salah seorang dari kami membuka baju dan byurrr…… Lebih dari setengah badan. Satu persatu mulai menyusul. “Saya gendong pak…” tawar kaka Tian yang tak sampai hati sang tamu juga harus berendam

“Terimakasih…, saya bisa sendiri” jawab saya tegas sambil mengamankan hp dan dompet dari air laut. Syukurlah. Kami sudah sampai.

***********

Cerita dari Nusa Manuk (dok.Arnold)
Cerita dari Nusa Manuk (dok.Arnold)
NB : Nusa Manuk adalah pulau kecil yang bisa dijangkau hanya dengan perahu dari pantai Batutua. Batutua sendiri adalah nama tempat di Rote Bagian Barat Daya yang bisa ditempuh sejauh 20 Km dari ibu kota Kabupaten Rote, Ba’a.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Jalan Braga Bandung, Ketika Bebas Kendaraan!

7 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun