Ketika itu semua disajikan, beberapa teman sibuk sekali membakar daun kelapa beserta serabutnya. Mereka memproduksi Asap. “Ayo pak..mendekat” ajak mereka. “Nyamuk disini, gigitannya nakal. Bukan saja gatal tetapi sakit”, begitu mereka mendefinisikan nyamuk yang ada sebutannya dalam bahasa Rote. Tetapi maaf saya lupa.
Saya tidak mendekat. Entahlah. Apa karena bau saya agak asing, nyamuk-nyamuk itu tidak menakali saya sore itu. Malahan anak-anak kecil yang lari membawa piring ke laut dan mencuci piring itu di sana lebih menarik perhatian saya. “Ada air bersih disini?” tanya saya spontan. “ Sumbernya tidak ada pak. Kami harus beli di Batutua” sahut seorang tua yang menemani kami makan. Pantas, warna teh yang disajikan khusus untuk saya, agak berbeda warnanya. Tapi saya yakin itu bukan air laut. Masih manis, tidak asin.
Beberapa tua Nusa Manuk mulai menceritakan keluhan mereka seperti tatap muka dengan anggota dewan. Apalagi mereka tahu beberapa dari kami mewakili pemerintah. Sayang kami bukan anggota Dewan. Hanya beberapa guru termasuk saya yang hanya Instruktur latihan Kerja. Selain masalah listrik, masalah air, masalah Puskesmas yang tidak pernah dihuni oleh petugas menjadi persoalan yang diceritakan kepada kami. Puskesmasnya masih ada tetapi terkadang seperti kandang kambing. Kambing sering masuk ke situ.
Saya lalu berpikir, dengan 30 Kepala Keluarga di Pulau kecil ini, mereka jelas tidak mempunyai suara signifikan untuk mengajak pemerintah untuk membantu mereka. Mereka harus antri, tetapi entah sampai kapan. Omong-omong itu terpaksa terhenti karena si tuan kapal terlihat semakin mabuk. Menjadi pertanda buruk jika tidak segera dihentikan.
“Ayo..pak, kami permisi pulang..” kata kaka tian yang jelas juga lapar karena dia ternyata alergi ikan. Jadi perutnya tidak terisi sempurna di Nusa Manuk. Ucapan terimakasih dan tanpa janji berlebih bahwa kami akan kembali baik sebagai pelancong atau sebagai pembawa solusi kami utarakan. Mereka hanya membalas dengan senyuman lebar entah tanda puas atau pasrah. Senyuman itupun saya tahu karena gigi putih mereka bisa kelihatan di redupnya lampu cas-casan tenaga surya yang digunakan. Adios.
Akhirnya perahu sudah melaju dan kami berjumlah lengkap seperti kedatangan. Perjalanan pulang kami sepertinya lebih hening dari waktu kedatangan. Entah sudah kenyang, mabuk atau was-was karena gelombang masih terus menyapa di kedua sisi perahu. Lebih besar.
Saya terdiam sambil terus melihat Nusa Manuk yang tertinggal di sana. Nusa Manuk tetap di sana. Masih hening malahan terlalu hening ketika malam. Sesekali ada api kecil terang muncul, entah dari rumah atau dari petek ketika rokok mulai dinyalakan. Bakau berdaun hijau sudah menghitam walaupun pasir putih kelihatan masih abu-abu, artinya tetap ada harapan.