Jika hunian dengan berbagai bentuknya dipahami sebagai kebutuhan sosial yang layak mendapatkan jaminan maka erat hubungannya dan Backlog Nasional (yang butuh hunian) di Indonesia dengan berbagai pemahaman dan pengertian yang melekat pada pihak pemerintah dan masyarakat.Â
Berdasarkan catatan terakhir (2023) jumlah backlog rumah nasional pada kisaran 12,7 juta dan saat awal Program Sejuta Rumah dicanangkan Presiden Jokowi pada April 2015 besaran backlog pada kisaran 11 juta.Â
Berarti dalam 8 tahun angkanya bertambah walaupun guyuran subsidi dalam bentuk Subsidi Uang Muka (SUM), Subsidi Selisih Bunga (SSB), Fasilitas Likuiditas Pembiayaan  Perumahan (FLPP) dan berbagai interfensi lainnya sudah dilakukan pemerintah dengan anggaran yang bertambah.
Ditinjau dengan menggunakan pemetaan terhadap hunian dengan berbasis status dapat diberikan penjelasan sebagai berikut:
- Hunian Layak
- Hunian Mudarat / Tidak Layak
- Tanpa Hunian
Dan, status penghuniannya: milik, cicil, sewa / sewa beli, tumpangan, tampungan, warisan / tanpa status
Gambarannya diberikan pada Peraga-1 berikut ini.
Dengan memperhatikan pemetaan ini, secara sederhana status backlogger (yang membutuhkan hunian) dapat disematkan pada :
- Keluarga Nihil Hunian (KNH) - tanpa hunian
- Keluarga Hunian Mudarat (KHM) / Tidak Layak - ada hunian dengan kondisi tidak layak
- Kelurga Hunian Layak (KHL) dengan klasifikasi 4 – 6 (klasifikasi 1-3 dipandang kebutuhannya tidak mendesak).
Namun perlu pengayaan agar perspektif ini dapat diterima untuk kemudian disusun program yang sesuai serta memperhatikan kemampuan atau affordabiitas selain kemampuan dan kerelaan membayar (Ability & Willingness to Pay)
Kenali Profile berbasis Data Sosial
Pendekatan angka backlog yang sebelumnya digunakan berbasis pada survei statistik pada suatu daerah / wilayah sehingga secara spesifik tidak akurat dalam memberikan gambaran utuh.Â