Perspektif Jaminan Sosial pada Pangan – Papan – Sandang
Keluarga yang tercatat pada Kartu Keluarga adalah entitas atau unit terkecil dalam negara yang secara umum dalamnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak; sebagai makhluk sosial keluarga layak mendapatkan pemenuhan dalam hal kebutuhan primer yang dikenal sebagai Pangan – Papan – Sandang.
Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan utama umat manusia yang mencakup makanan dan termasuk minuman sehingga pemenuhannya bagi tubuh tubuh agar energi dan kemampuan tetap terjaga untuk melakukan aktivitas dengan normal.
Kebutuhan papan adalah hunian atau tempat tinggal atau secara umum disebut rumah dengan berbagai bentuk dan model; yang dibutuhkan agar manusia terlindungi dari hujan, panas, angin, udara dingin, binatang buas, pencuri yang berimplikasi pada gangguan psikologis.
Kebutuhan sandang secara umum dalam bentuk pakaian yang digunakan setiap hari dalam beraktivitas; berbagai bentuk yang dikenal misalnya kaos, celana, naju, kemeja, jaket dan lainnya.
Dari wawasan perundangan pemerintah berkewajiban dalam pemenuhan tetapi sebagaimana dari UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial pada konsiderans menimbang:
- Bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur;
- Bahwa untuk memberikan jaminan sosial yang menyeluruh, negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia;
Selanjutnya pada pasal 18, jenis program jaminan sosial meliputi :
- jaminan kesehatan;
- jaminan kecelakaan kerja;
- jaminan hari tua;
- jaminan pensiun; dan
- jaminan kematian.
Jaminan hunian tidak dicakup walaupun dampaknya sangat besar terhadap kehidupan sosial masyarakat.
Perspektif ini perlu dipahami terutama pada kawasan perkotaan yang terus bertumbuh dan dengan besaran menuju 70% populasi berada di kawasan perkotaan maka akan menjadi sentra pertumbuhan ekonomi.
Pemahaman Hunian dan Backlog
Jika hunian dengan berbagai bentuknya dipahami sebagai kebutuhan sosial yang layak mendapatkan jaminan maka erat hubungannya dan Backlog Nasional (yang butuh hunian) di Indonesia dengan berbagai pemahaman dan pengertian yang melekat pada pihak pemerintah dan masyarakat.
Berdasarkan catatan terakhir (2023) jumlah backlog rumah nasional pada kisaran 12,7 juta dan saat awal Program Sejuta Rumah dicanangkan Presiden Jokowi pada April 2015 besaran backlog pada kisaran 11 juta.
Berarti dalam 8 tahun angkanya bertambah walaupun guyuran subsidi dalam bentuk Subsidi Uang Muka (SUM), Subsidi Selisih Bunga (SSB), Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan berbagai interfensi lainnya sudah dilakukan pemerintah dengan anggaran yang bertambah.
Ditinjau dengan menggunakan pemetaan terhadap hunian dengan berbasis status dapat diberikan penjelasan sebagai berikut:
- Hunian Layak
- Hunian Mudarat / Tidak Layak
- Tanpa Hunian
Dan, status penghuniannya: milik, cicil, sewa / sewa beli, tumpangan, tampungan, warisan / tanpa status
Gambarannya diberikan pada Peraga-1 berikut ini.
Dengan memperhatikan pemetaan ini, secara sederhana status backlogger (yang membutuhkan hunian) dapat disematkan pada :
- Keluarga Nihil Hunian (KNH) - tanpa hunian
- Keluarga Hunian Mudarat (KHM) / Tidak Layak - ada hunian dengan kondisi tidak layak
- Kelurga Hunian Layak (KHL) dengan klasifikasi 4 – 6 (klasifikasi 1-3 dipandang kebutuhannya tidak mendesak).
Namun perlu pengayaan agar perspektif ini dapat diterima untuk kemudian disusun program yang sesuai serta memperhatikan kemampuan atau affordabiitas selain kemampuan dan kerelaan membayar (Ability & Willingness to Pay)
Kenali Profile berbasis Data Sosial
Pendekatan angka backlog yang sebelumnya digunakan berbasis pada survei statistik pada suatu daerah / wilayah sehingga secara spesifik tidak akurat dalam memberikan gambaran utuh.
World Inequality dengan tokoh Thomas Piketty mengkritisi pendekatan statistik tersebut untuk digunakan pada masalah sosial. Sehingga perlu kenal dan paham atau sering disebut sebagai Profile Masyarakat pada permasalahan sosial yang dihadapai masyarakat tersebut bukan dengan generalisasi.
Sehubungan dengan hunian maka pendekatan yang tepat adalah menemukenali atau identifikasi dengan memanfaatkan sumber dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Data tersebut mencatat secara lengkap dengan atribut “By Name By Address” yang dikaitkan dengan NIK (Nomor Induk Kependudukan) dan tentunya Kartu Keluarga. Sehingga dapat dipastikan akan dapat disusun klasifikasi atau kategori dengan ketentuan yang tepat.
Merujuk pada data keluarga penerima bantuan sosial pada 2023 tercatat mencapai 23 Juta Keluarga dengan rentang pendapatan tertentu dari miskin ekstrim hingga mendekati pendapatan menengah dan berbagai status sumber pendapatan (berkala, rutin, formal, non formal, non rutin).
Dengan menggunakan distribusi pareto maka diprakirakan 20% merupakan keluarga dengan pendapatan berkala dan rutin dengan jumlah yang lebih dari penghasilan terkategori rendah; dengan demikian 80% sisinya merupakan keluarga berpenghasilan rendah yang jumlahnya. Dari jumlah tersebut hanya 30% yang memiliki hunian layak terklasifikasi #1-#3 pada Peraga-1
Gambarannya diberikan pada Peraga-2.
Dengan pemetaan menggunakan DTKS maka backlogger dapat teridentifikasi sehingga dapat disasar dengan program yang tepat; walaupun perlu pergeseran paradigma dan pemahaman: Rumah sebagai Goods menjadi Rumah sebagai Layanan (Housing as a Services) sehingga tidak selalu harus memiliki tetapi dapat menghuni (Occupy without Own).
Tulisan ini hanya pemicu untuk diskursus lanjutan.
Arnold M - 27 Maret 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H