1. Trade Balance : United States Census Bureau
2. Currency Exchange : International Monetary FundÂ
3. Federal Reserve, Bank of St. Louis – Trade Weighted U.S. Dollar Index : BroadÂ
Dari tabel dan grafik, SURPLUSÂ dinikmati India, Malaysia, dan Indonesia pada perdagangan dengan USA. Bahkan surplus luar biasa juga dinikmati Tiongkok sebesar USD 170,77 miliar pada semester I (Januari hingga Juni) 2015. Kondisi berlawanan terjadi pada nilai tukar trio Rupee, Ringgit, dan Rupiah yang mengalami penurunan atau devaluasi terhadap USD. Seringkali hanya dilihat sisi nilai tukar tetapi kondisi SURPLUS jarang dikedepankan.
Memperhatikan grafik apresiasi nilai tukar USD terhadap mata uang mitra perdagangan dalam periode Agustus 2014 – Juli 2015 sebesar 16% dapat diprakirakan tekanan yang terjadi pada perdagangan internasional USA. Khususnya korporasi yang mengandalkan produk ekspor serta perusahaan internasional (Multi National Corporation) USA.
Pertarungan dalam perdagangan internasional untuk menghasilkan surplus dengan cara devaluasi nilai tukar, saat ini populer dengan sebutan Currency Wars.
Krisis keuangan merupakan dampak dari Currency Wars yang berlangsung panjang bersamaan dengan fenomena Deflasi (penurunan harga dalam waktu panjang) pada komoditi dan minyak mentah. (Lihat : "Spiral Deflasi" dan "Currency Wars" yang Berbuah Krisis).
Keadaan krisis ini seakan mewakili pertarungan antara Ekonomi Klasik (Conventional Economic) dan Perdagangan Internasional (International Trade) dengan Ekonomi Perilaku (Bahavior Economic) yang lebih terkait dengan perilaku pemain pada pasar keuangan (Financial Market).
Ekonomi Klasik melihat permasalahan dalam horizon waktu panjang dan solusinya tidak serta merta melalui tahapan langkah. Sedangkan dalam Behavior Economic permasalahan sering disebabkan sesat pikir dan berharap pemulihan terjadi dalam waktu singkat (instant solution).
Â