Prediksi dan Praduga dengan pendekatan chart atau grafik serta kemiripan atas krisis keuangan dapat dilihat dengan memahami bahwa dana yang “bergerak” di sektor keuangan dunia yang JAUH LEBIH BESAR dibandingkan dengan sektor perdagangan barang dan jasa. Dana besar tersebut mencari imbalan yang significant, bergerak dinamis terkadang liar dan cepat secara elektronik (dalam hitungan detik) dari satu pasar ke pasar lainnya. Jika dalam perdagangan barang dan jasa mancanegara, strategi devaluasi mata uang (Currency Wars) digunakan untuk memenangkan persaingan maka dalam pasar keuangan pun terjadi peperangan melalui cara sentimen dan spekulasi agar dapat menjanjikan imbalan “besar dan cepat” dengan rasionalisasi yang tidak berdasarkan prinsip umum yang berlaku tetapi lebih banyak justifikasi “illogical causal effect” atau teori sporadis. (Lihat : Antisipasi Sentimen dan Spekulasi)
Butuh kcermatan dan kecerdikan menghadapi kondisi krisis akibat panik dan histeria pelaku.
Kontradiksi Strong Currency dan Fakta Surplus
Jika saat ini ditanyakan kepada masyarakat terutama pengamat, ekonomis, para penggiat medsos dan penggosip yang mengaku peduli dengan mata uang : Apakah menginginkan mata uang Rupiah kuat (Strong Currency) terhadap USD ? Maka dapat diprakirakan lebih dari 70% jawaban berupa paduan suara besar :YA dan HARUS demikian. Sisanya mungkin menjawab TIDAK perlu atau EGP (Emangnya Gua Pikirin).
Saat ini USD berada dalam posisi Strong Currency. Seperti juga pada pertengahan 1980’an saat dilakukan pool yang hasilnya mayoritas (64%) menjawab Strong Currency is GOOD sedangkan sisanya memilih Bad, Uncertain, atau No Idea (Voters Always Want Strong Currency).
Kondisi mata uang kuat seakan menggambarkan kedaulatan negara. Sayangnya konklusi emosional tersebut lebih banyak timbul akibat keterbatasan informasi dan sudut pandang sempit tanpa melakukan kajian yang cerdas.
Ada fenomena menarik jika melihat keadaan yang dialami trio mata uang Rupee (India), Ringgit (Malaysia) dan Rupiah (Indonesia) yang ketiganya mengalami penurunan nilai terhadap USD. Bahkan pada medio Agustus 2015, Ringgit Malaysia seakan kembali pada keadaan saat Krisis Keuangan Asia 1998.
Tabel dan grafik berikut ini memberikan gambaran relasi perdagangan dan nilai tukar.