Mohon tunggu...
Arnol Goleo
Arnol Goleo Mohon Tunggu... Lainnya - GOLMEN

Penaku bercerita.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Asing di Tanah Orang, Lebih Asing di Tanah Sendiri

23 Agustus 2022   14:01 Diperbarui: 23 Agustus 2022   14:04 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

"Bu, saya berangkat cari kerja dulu perusahaan tetangga sebelah lagi buka lowongan kerja. Dan kebetulan teman kuliahku juga masuk dalam wilayah lingkar tambang jadi tetap saya diterima sebab ribuan tenaga kerja dibutuhkan di sana."

Tanpa berpikir panjang saya pun berangkat sendiri dengan bermodalkan ijazah dan doa. Tujuan awal ke sana hanya satu atau dua hari setelah memasukkan lamaran di perusahaan langsung balik ke kampung halaman karena uang pas-pasan hanya tiket dan uang makan saya selama dua hari di sana.

Kira-kira pukul dua siang saya pun tiba di kampung wilayah operasi perusahaan. Saya miss call salah satu saudara saya yang berkerja juga di perusahaan itu, dia pun menelpon balik.

Setelah saya angkat telepon darinya, dia langsung menanyakan keberadaan saya, saya pun memberitahu bahwa saya sudah tiba.

"Dari telepon. Kamu sudah sampai di mana? saudaraku bertanya!"

"Saya menjawab; saya sudah di pasar dekat kos-kosan banyak."

Baca juga: Jangan Lupa Pulang

Haha.. "Dia menertawakan saya. Di area situ banyak kost." Katanya.

Saya balik bertanya, kos-kosan kamu di mana?

Kosan saya dekat bandara sebelum bandara ada bengkel besar di samping bengkel ada lorong masuk kamu belok kanan rumah ke dua cat biru itu kost saya. Jawabnya dari telepon.

"Dia bertanya lagi posisi kamu sebenarnya di mana?"

Saya pun bingung apa yang harus kuberi sebuah tanda agar ia mengetahui keberadaan saya yang sebenarnya, apakah saya sudah dekat dengan kosannya atau masih jauh dari kosannya? Sebab ini kali pertamanya saya sampai di desa itu. Akhirnya, saya menemukan ide dan memberitahu bahwa saya berada dekat Masjid besar.

"Kahh. Sapaan akrab saya. Saya turun dekat Masjid besar posisi Masjid sebelah kanan."

Dia pun masih bertanya: "Kamu sudah lewat lapangan bola kaki?" Saya tambah bingung lagi karena semasa perjalanan saya ketiduran di dalam mobil tiba-tiba mobil berhenti ada dua penumpang turun. Tadinya saya pikir sudah sampai makanya saya pun ikut turun di situ.

Saya kurang tahu kalau saya sudah lewat lapangan bola kaki atau belum. Kayaknya saya belum lewat, belum lihat ada lapangan bola kaki.

Dia pun memberikan saran, Kahh nanti numpang ojek ketika ada karyawan yang lewat.

Saya tutup teleponnya dan saya duduk di bengkel kecil sambil dalam hati kecil bertanya "apa betul ada karyawan yang lewat dan berbaik hati bisa memberikan saya tumpangan?"

"Kira-kira pukul s'tengah tiga siang tapi belum ada satu pun karyawan yang lewat, saya makin gelisah bahaya ini kalau saya nyasar di tempat ini?" tambahnya lagi HPku mati (habis baterei) mau di charging sama saja tombol untuk menyalakan ponsel pun sudah rusak, tak bisa lagi dinyalakan.

Saya duduk di bengkel itu kurang lebih satu jam sampai matahari sudah ke arah barat menunjukkan hari sudah sore kira-kira pukul tiga sore.

Saya makin gelisah lagi karena ponselku kehabisan baterei mau jalan kaki malu dengan bawah tas berisikan pakaian, tas satunya lagi berisikan fanta 1,5 liter dua botol belum lagi satu dus bawaan kue titipan dari mertua (titipan kue, mertua saudaraku untuk cucunya).

Dengan buang rasa malu saya bergegas mengambil barang bawaanku langsung jalan kaki mencari tempat kost saudara saya dengan bermodalkan tanda lapangan bolakaki dan bandara udara yang diberi petunjuk saudaraku tadi ditelepon, itu sebagai peta penunjuk arah mencari tempat tinggalnya.

Dengan panasnya di bawah terik sinar matahari walau sudah jam tiga sore ditambah lagi tidak ada pepohonan di sepanjang jalan, saya terus berjalan dengan lumuran keringat, sambil dalam hati berkata inilah perjuangan!

Seperti pepatah mengatakan: 

"Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang-senang kemudian."

Semasa dalam perjalanan mata orang-orang tertuju ke saya setiap kali saya melewati bengkel, rumah dan warung sepanjang jalan. Saya malu, tapi sudahlah orang-orang menilaiku apalah masa bodoh, dalam hati kecilku berkata.

Jarak sekitar 300 meter jalan kaki saya berhenti sejenak berteduh di sebuah warung dekat jalan poros. Di depan warung tersebut ada satu bengkel lumayan besar, hati saya mulai senang, kosan saudaraku sudah dekat 20 atau 50 meter sudah tiba di kosannya.

"Tapi kok saya belum melihat lapangan bola kaki dan bandara seperti kata saudaraku tadi ditelepon?" Ah bodoh amat!

***----

Kurang lebih 10 menit berteduh, saya melanjutkan perjalanan. Kurang lebih 300 meter saya sampai di lapangan bola kaki. Selamat! Saya sudah melihat tanda yang diucap saudaraku tadi. Tapi ada satu tanda lagi yaitu bandara. Saya jalan kaki sudah sejauh ini namun belum melihatnya.

Saya terus berjalan masih sekitar 200 meter sudah terlihat bandara udara, syukur sudah sampai. Ketika saya sampai di bengkel itu ada lorong ke arah pantai mungkin ini yang dibilang saudaraku tadi. Saya pun masuk di lorong itu sekitar 20 meter ada kos-kosan cat warna biru, pasti ini dia kosannya.

Namun di depan kosan itu ada beberapa karyawan yang duduk di teras sambil bercerita satu sama lain saya ragu untuk bertanya sebab takutnya salah masuk kosan.

***---

"Ya Tuhan mudah-mudahan ini dia kosan yang disebut saudaraku tadi di telepon."

"Permisi.. Mau tanya ada nama ... ngekos di sini?"

"Salah satu dari mereka menjawab, oh iya betul dia ngekos di sini."

"Terima kasih!" Jawabku.

Saya pun masuk langsung menuju kamar nomor 3, kata saudaraku tadi  nomor kamarnya itu karena dia tidak ada di kosan, lagi di tempat kerja.

Ku ketok pintu kamarnya namun pintunya masih tertutup rapat, tidak dibuka. Ku ketok lagi pintu yang kedua kalinya akhirnya pintu kamarnya pun dibuka, istri saudaraku membuka pintu. Selamat... selamat.. selamat! dalam hati bersyukur saya sudah sampai.

Hari sudah malam saudaraku pun datang dari tempat kerja. Istri saudaraku menyiapkan makan malam kami dan kami makan malam bersama.

Sambil makan ia bertanya; bagaimana berkasmu, sudah lengkap?

Sudah! Saya pun menjawab.

"Oke, kalau begitu siapkan tiga rangkap nanti besok satu saya bawa ke HRD, yang satu saya antar ke teman saya istrinya juga HRD."

Oh iya, Sahutku.

Ke-esokan harinya kami berdua pergi ke kosan temannya, tidak jauh dari kosan saudaraku, berjarak sekitar 20 meter.  Kami pun tiba di kosannya.

Setelah beberapa menit bercerita saudaraku menyodorkan map cokelat berisikan dokumen lamaran kerja saya diberikan kepada temannya itu.

"Kurang lebih 15 hari kamu sudah ditelepon dari HRD jadi nomor handphone kamu harus aktif terus."
Kata temannya itu sambil mengulurkan tangannya menerima map berisikan berkas tersebut diisi dalam kantong plastik warna hijau.

Hari itu juga saya memutuskan bertahan sampai hari pemanggilan saya untuk mengikuti training. Tujuan awal hanya dua hari berubah jadi satu bulan karena menunggu telepon dari HRD.

Dua minggu telah berlalu hari esok adalah hari yang ku tunggu-tunggu telepon dari HRD.

***

Hari ini sekitar pukul sembilan pagi kulihat Handphoneku ada 2 panggilan masuk tak terjawab, nomor tak dikenal, nomor baru. Ku ingin telepon balik tak ada pulsa.

Tak lama kemudian ponselku berdering lagi, kali ini nomor yang berbeda dari panggilan masuk tak terjawab sebelumnya. Kulihat handphoneku muncul dilayar ponsel nama istri saudaraku dengan cepat kuangkat teleponnya.

Halo! Kujawab teleponnya.

"Halo. Tadi ada yang telepon kamu?" Ia bertanya padaku.

Iya tapi tak terjawab karena handphone kutaruh di dalam saku celana, nada dering pun ku heningkan, diam tanpa getaran sedikitpun sampai ku tak tahu kalau ada panggilan masuk.

"Tadi saya juga ditelepon nomor baru. Kalau tidak salah itu kontak HRD, sebab telepon dari teman suamiku tidak mungkin karena semua kontak teman-temannya tersimpan rapih di ponsel kami dan setiap kontak suamiku menulis nama mereka," Ucap istri saudaraku ditelepon.

Setelah tutup teleponnya, telepon dari istri saudaraku tadi. Berselang beberapa menit telepon masuk yang ketiga kalinya dengan cepat kuambil ponselku di dalam saku celana, kali ini kuberi getar pada ponselku sehingga tahu ketika ada panggilan masuk.

Kulihat layar handphone ternyata nomor sebelumnya, nomor tak dikenal, panggilan tak terjawab sebelumnya menelpon ulang langsung kujawab telepon tersebut.

Halo siapa ini? Saya pun bertanya langsung.

Halo juga. Ia menjawab. Ini dengan om, om sedang dalam perjalanan mau ke situ, om juga mau melamar kerja.

Oke, ditunggu! Jawabku.

Tadinya kupikir adalah kontak HRD, ternyata bukan. Tetapi kontak baru om saya, kartu AS, sebab di kampung ku hanya jaringan Indosat.

***---

Tidak terasa satu bulan telah berlalu belum ada tanda-tanda bahwa saya diterima bekerja di perusahaan.

"Sabar, kamu pasti diterima!" Saudaraku dan lainnya memberikan semangat agar tidak putus asa. Saya pun mengiyakan dan bertahan lagi semampuku.

Uang 1,5 juta telah habis kupakai, seribu pun tidak tersisa lagi di tangan terpaksa telepon ibuku di kampung agar dikirimkan saya uang makan dan kebutuhan foto copy berkas untuk dimasukkan lagi lamaran saya ke perusahaan.

"Walaupun makan ubi kayu dan daun ubi sebagai lauknya mereka tak perduli asalkan bisa makan seadanya. Padahal, mereka mempunyai uang, beras sekarung dan ayam pun bisa dibeli untuk kebutuhan makan sehari-hari."

Kali ini uang yang dikirim 500 ribu, saya foto copy ijazah, KTP dan berkas lainnya dibuat 6 rangkap karena ada beberapa teman saudaraku mau membantu saya agar cepat diterima termasuk ada teman saya dan saudara saya ikut membantu.

"Bila hanya satu atau dua lamaran bisa saja tercecer," Kata mereka. Jadi semua total 9 lamaran masuk ke perusahaan. Namun hasilnya tetap sama, sudah dua bulan saya belum juga diterima. Akhirnya, saya memutuskan pulang kampung.

Uang 2 juta telah habis mungkin bagi orang lain itu tidak seberapa namun bagiku yang "miskin" itu sudah sangat besar terbuang cuma-cuma tanpa hasil.  

Tetapi mau pulang dilema sebab uang sepersen pun tidak ada lagi di tangan. Bertahan juga sama makin banyak uang yang akan saya habiskan lagi di sini.

Karena berpikir adik saya masih kuliah, saya tidak tega meminta tiket lagi kepada orang tua untuk pulang kampung.

"Dari mana yah saya dapat uang agar bisa pulang ke kampung?"

Mau cari kerja sampingan seperti tokoh tidak mungkin sebab di sana hanyalah "desa biasa seperti desa-desa lainnya."

Tiketpun  mahal berkisaran Rp 300.000 sampai Rp 400.000 belum lagi uang makan dalam perjalanan, tidak mungkin saya meminta pada orangtua. Uang sebesar itu bisa saja dikirim orangtua namun akan menambah beban orangtua, sama saja menyuruh mereka untuk berhutang.

Pagi hari om saya mendatangi kami di kosan saudaraku. Ia memberikan kami sebuah tawaran. "Saya sudah mendapat tawaran, kalau kalian bersedia kita menggali pembuangan WC dengan upah 1,5 juta, bagaimana?" kata om saya itu.

Pada saat mendengar tawaran tersebut, rasanya tidak sabar untuk melakukan pekerjaan itu. Sebab dari upah tersebut saya bisa pulang kampung.

Kami pun menerima tawaran tersebut.

Pada esok hari, pagi benar, kami pun berangkat ke lokasi pekerjaan. Lokasinya pun tidak jauh dari tempat tinggal kami sekitar 200 meter jauhnya.

Kami pun tiba di lokasi tersebut. Namun, kami mendapati tukang yang menawarkan pekerjaan tadi sedang beradu mulut dengan warga sekitar memperdebatkan soal batas sehingga lokasi panggilan pembuangan WC pun tidak di izinkan oleh tetangganya itu.

***---

Tukang itu pun tidak mau mengalah soal batas tanah. Karena merasa tidak puas ia menelpon bosnya, bos pemilik bangunan tersebut.Tapi tetap saja tetangganya pun tidak mau mengalah.

Seusai telepon tukang itu kepada bosnya, namun tetap tidak dizinkan juga oleh tetangganya. Sehingga pemilik bangunan tersebut tidak mau memperpanjang soal batas tanah dengan tetangganya itu, ia menyuruh kepada tukang itu (ditelepon) agar penggalian pembuangan WC di dalam bangunan."

Tukang itu menyuruh kami menggalinya di dalam bangunan. Kami melakukan penggalian selama tiga hari, akhirnya kami pun menyelesaikan pekerjaan tersebut. Dan upah kami langsung dibayar oleh tukang.

Pada esok harinya saya meminta izin kepada saudaraku bahwa lusa saya pulang kampung.

Ia membujuk saya agar menunggu lagi sampai lamaran saya diterima. Namun, bila saya menunggu lagi uang hasil kerja tadi bisa habis terpakai. Syukur-syukur kalau saya diterima bekerja di perusahaan, kalau tidak darimana lagi saya mendapatkan uang tiket untuk pulang?

Tekat saya sudah bulat. Saya harus pulang. Akhirnya, ia mengizinkan.

***

Saya pun kembali di tanah moyang, tempat emas mengalir, kata sebuah lirik lagu. Tapi kok rasanya bagaikan orang asing di negeri sendiri???

Sebelumnya telah kucoba memasukkan lamaran kerja di sana. Apa karena IQ saya rendah sehingga tidak diterima ataukah saya tidak dikenal?

Informasi lowongan kerja saja sulit didapat apalagi diterima bekerja di sana, jangan mimpi!

Kurang lebih tujuh bulan hanya di rumah, nganggur, tidak bekerja yang ada hanya bantu-bantu pekerjaan orangtua.

Pada bulan kedelapan saya mendapat informasi ada perusahaan membutuhkan karyawan. Perusahaan yang bergerak di dunia rital.

Saya mencoba memasukkan berkas. Setelah dua hari, saya pun dipanggil untuk mengikuti tes online sekalian wawancara, akhirnya lulus.

Setelah itu saya mengikuti training di Ternate, lulus juga. Saya pun di tempatkan di Tobelo dengan kontrak 6 bulan.

Bekerja 4 bulan saya dipromosikan jadi asisten Kepala Toko. Bulan kelima diangkat jadi Kepala Toko. Namun diakhir kontrak saya, bulan keenam, di PHK.

Semoga bermanfaat!

Bailengit, 23 Agustus 2022

Arnol Goleo

Baca juga:

Tulisan sebelumnya: Relasi untuk Apa?!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun