“Don, bonekanya mulai bergerak. Turunkan pelan-pelan.“ perintah Prakoso pelan.Perlahan tapi pasti, mereka mengarahkan boneka ke atas kertas.
“Siapa yang mau nanya duluan?“
“Aku, Don!“ jawab Heru.
“Tidak, Her. Aku dulu. Aku punya pertanyaan penting mengenai pacarku, Sandy.” potong Shanti.
“Hey, hey, kenapa kalian ribut begini? Tenang, semua pasti dapat giliran.” lerai Donni.
Lina tak peduli dengan pertengkaran mereka. Matanya waspada mengamati sekeliling ruangan tamu. Prakoso jengah melihat tingkah teman-temannya. Pandangan mata Linaterpakupada sekelebat hitam berdiri tak jauh dari jendela tak berkaca.
“Kalian harus mati...” gumam makhluk halus bergaun hitam.
Bola mata Lina terbeliak. Donni yang melihat perilaku aneh Lina, mencoba memanggil namanya hingga tiga kali. Ketika Lina menoleh ke arah Donni, angin mendadak berembus kencang, menggerak-gerakan bingkai jendela tanpa kaca. Gerakan boneka semakin menjadi-jadi. Mereka berlima berusaha menahan gerakannya, tapi mereka terpental jauh, demikian dengan boneka itu. Angin perlahan mulai mereda. Mereka berusaha bangkit meskipun badan masih terasa sakit akibat menahan gerakan boneka.
“Aduh..., pinggangku sakit!“ keluh Prakoso sambil meringis memegang pinggangnya.
“Di mana boneka itu?!“ ucap Doni panik.
Mendengar apa yang dikatakan Doni, sontak mereka bangkit berdiri, mencari-cari boneka yang mendadak hilang. Suasana ruang depan begitu mencekam ketika mereka melakukan pencarian.