Gerakan badan Donni berayun lincah. Sepatu Sport-nya berdecit menggesek lantai semen. Sorot matanya begitu tajam, mencari celah-celah kecil di antara adangan badan William dan teman-temannya. Donni mampu mengecoh pertahanan mereka hingga mencetak three point melaluishooting keras ke ring basket.
“Skill-mu memang enggak bisa dilawan, Don. Kalau begitu, kita lanjutin besok aja ya. Soalnya aku sudah capek banget.” ujar William sambil memasukkan kain lap ke dalam tasnya.
“Ya sudah. Aku pun juga lelah. See you tomorrow, bro. Be careful.” tutup Donni seraya memanggul tas punggungnya.
William dan teman-temannya telah meninggalkan lapangan basket. Doni tinggal sendirian di sana. Setelah semuanya benar-benar sepi, Donni melangkahkan kaki menuju semak-semak yang berada di belakangnya. Ia meraih boneka yang tergeletak tak jauh dari sana.
Ini dia yang kucari. Ujar batin Donni.
Teman-teman Donni berkumpul tepat waktu. Seperti yang telah disepakati, mereka akan melakukan ritual pemanggilan arwah jelangkung pada Malam Jumat pukul sepuluhdi sebuah rumah kosong terbengkalai kira-kira tujuh tahun lamanya.
“Don, kamu yakin gak akan terjadi apa-apa?“ tanya Lina ragu.
“Gak bakal terjadi apa-apa. Ini cuma sebentar, kok. Setannya bisa usir kalau kita sudah selesai bertanya,“ jawab Donni tenang.
“Iya, betul kata si Donni. Ini ‘kan cuma permainan. Kalau sudah selesai kita bertanya, arwahnya bakal pergi sendiri kok. “ timpal Heru.
“Bagaimana nih? Udah bisa dimulai gak? Dari tadi ribut melulu.“ gerutu Prakoso.
Shanti sudah menyiapkan perlengkapan ritual. Pulpen, kertas, boneka perempuan, sebuluh bambu serta segulung tali rafia. Bambu diikatkan pada bagian badan. Tidak lupa, pulpen diikat di bagian ujung bambu. Donni siap memegang bagian badan. Shanti dan Heru memegang bagian tangan. Lina dan Prakoso di bagian kaki.