Pada saat bersamaan, Datuk Amri sudah menduga akan terjadi sesuatu yang merugikan secara ugal-ugalan. Alam memberitahunya dengan pertanda. Cepat direguknya air kopi yang tersisa di dalam cangkir, api rokok pun telah padam. Jam tangan Datuk Amri menunjukkan angka dua belas. Malam indah berubah mencekam.
Dari kejauhan samar-samar terdengar raungan sepeda motor yang tak pernah diberi perawatan. Datuk Amri sudah mafhum, lekas ia masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu.
Datuk Amri merasa kali ini tak akan menang jika bertarung mengandalkan tangan kosong saja, tubuhnya sedang tak bugar, maka ia memeriksa senjata yang ada. Datuk Amri menyimpan sejumlah senjata di dalam sebuah lemari kayu yang sangat besar, di lantai dua rumahnya. Dia memang jarang menggunakan senjata ketika berkelahi dengan siapa pun kecuali darurat.
Bingung karena lumayan banyak koleksinya, Datuk Amri sempat ingin menggunakan golok, tapi tak jadi karena pertarungan jarak pendek akan merugikan dia yang sudah manula. Maka, mengatur pertarungan jarak menengah atau jarak jauh adalah perkara paling masuk akal. Senjata tersebut harus bisa digunakan ketika menyerang dan bertahan secara seimbang. Datuk Amri akhirnya memutuskan setelah berpikir logis. Ia tak menyangka harus menggunakan senjata buatan sendiri ketimbang hasil pabrikan.
Di bawah, Ruiz Esteban sudah mengincar dengan tatapan bengis. Ia menyiramkan bensin sebanyak enam jeriken ke dinding rumah milik Datuk Amri.
Belum sempat ia menyulut api, perhatian Ruiz Esteban teralihkan oleh suara besi yang saling bersenggolan, bunyi alat-alat berat seperti yang sering terdengar di pabrik-pabrik perakitan mobil. Merasa curiga, dia segera berlari menuju pintu utama rumah Datuk Amri.
Di sana telah berdiri Datuk Amri yang dari ujung rambut sampai ujung kaki telah diselubungi zirah besi yang dilengkapi dengan beberapa senjata berat. Bisa dibilang mirip armor Iron Man, tapi versi Pontianak.
Benda itu telah menjadi proyek pribadi Datuk Amri sejak ia dipecat secara tidak adil oleh manajemen perusahaan tempatnya bekerja dulu. Ia paham betul bahwa manusia pasti menua, tenaganya tak akan lagi cukup untuk melindungi diri dan orang-orang tercinta. Maka dia berinisiatif menciptakan suatu senjata yang praktis untuk menyerang sekaligus bertahan dengan sangat baik tanpa ada risiko terlepas dari genggaman tangan.
Berbeda dengan zirah Iron Man keluaran sinema yang bernuansa kuning emas dan merah gelap, Datuk Amri mewarnai miliknya dengan meniru rupa kain tenun corak insang khas orang Melayu di Kota Pontianak. Warna kuning terang dan hijau muda mendominasi keseluruhan senjata kebanggaan Datuk Amri itu.
Datuk Amri memilih warna dan motif tersebut karena rasa cinta dan kebanggaannya sebagai orang Melayu tulen, sekaligus menyelipkan falsafah dari corak insang itu sendiri yang berarti bernafas, hidup, dan bergerak.
Gagasan premanisme yang dianut oleh Ruiz Esteban tentu saja sangat bertentangan dengan kearifan puak Melayu di Kota Pontianak. Hidupnya adalah tentang membuat sesak nafas masyarakat, mengganggu hidup orang lain, dan bergerak menjadi beban siapa pun.