Datuk Amri sedang menikmati sebatang rokok sembari memandangi keindahan rembulan di langit. Ia duduk tenang di teras rumahnya yang sunyi. Malam masih muda, sekitar pukul sepuluh.
Dalam pikiran, dia ingin cepat-cepat mati secara alami, tapi gilirannya belum lagi tiba. Apalagi Datuk Amri telah lama sebatang kara, sejarah hidupnya pilu.
Ketika masih gagah perkasa, Datuk Amri bekerja sebagai satpam di sebuah pabrik pembuatan onderdil mesin kapal selama tiga puluh sembilan tahun sebelum manajemen perusahaan tersebut mendepaknya secara sepihak, tanpa pesangon. Meski begitu, ia tak mengeluh, lebih tepatnya percuma mengeluh. Dalam perpektifnya, memang sedikit porsi keadilan tersisa bagi kaum pekerja swasta di negara yang dia tinggali ini.
Tak banyak yang bisa Datuk Amri lakukan sekarang, umurnya telah sampai di angka tujuh puluh. Rambutnya memutih hampir semua. Otot-otot yang terdefinisi sangat jelas pada masa silam kini menciut seperti kesempatan kerja bagi masyarakat lokal. Untuk makan sehari-hari, ia mengandalkan sepetak kebun dengan luas lima ratus meter persegi di kelurahan Sungai Beliung, Kota Pontianak. Ia menanam tumbuhan bernilai ekonomi seperti cabai, terung, kacang panjang, dan lain-lain. Sering orang-orang dari pasar bertransaksi langsung dengan Datuk Amri secara barter maupun membayar tunai.
Lamunan Datuk Amri begitu larut, ia tenggelam dalam nostalgia tentang kisah-kisah dirinya yang dikenal sebagai pendekar silat. Pada masa lampau, Gang Lapis Legit dan sekitarnya berada dalam "perlindungan" Datuk Amri. Tak ada satu pun preman, maling, perampok, dan sejenisnya yang berani memasuki wilayah tersebut.
Kala itu, Datuk Amri bersama warga membentuk suatu sistem keamanan lingkungan yang baik atas dasar kepedulian. Siang-malam masyarakat di sana hidup dalam damai.
Tidak seperti kebanyakan para pemuda dari generasinya yang memilih aliran bela diri yang berasal dari negara Jepang dan Korea, Datuk Amri berlatih suatu seni bela diri yang sering disebut Pukol Tujoh.
Pukol Tujoh atau Pukul Tujuh merupakan silat tradisional yang cukup populer pada zaman Datuk Amri masih tampan. Bela diri tersebut memiliki tujuh gerakan dasar yang wajib dilatih para praktisinya. Di Kota Pontianak pada masa lalu, praktisi silat dari aliran ini lumayan banyak karena mereka tergabung dalam komunitas tertentu.
Pukol Tujoh tidak menjadi paten satu perguruan silat saja, namun dianut oleh sejumlah perguruan silat sebagai ciri khas mereka. Di perguruan Datuk Amri misalnya, terdapat beberapa gerakan yang ternyata mirip dengan jurus dari perguruan silat lain.
Keunikan lain dari silat Pukol Tujoh yang dikuasai Datuk Amri adalah adanya suatu ritual "kelulusan murid". Orang-orang Melayu zaman dulu menyebutnya matikan pukol.
Dalam seremonial matikan pukol terdapat pembacaan doa, penyuapan murid oleh guru menggunakan benda tertentu, meneteskan air jeruk nipis ke mata, mandi, dan makan bersama.
Datuk Amri paling ingat momen ketika ia meneteskan sari jeruk nipis ke matanya. Saat itu ia terbaring menahan perih sembari mengunci mulut rapat-rapat supaya tidak berisik. Ketika sensasi pedas di mata Datuk Amri mulai hilang, ia merasakan penglihatannya semakin cerah dan jelas.
Tahap "cuci mata" ini memiliki filosofi bahwa setelah selesai menjalani proses pelatihan, murid mampu melihat sesuatu dengan perspektif yang lebih luas dan jernih. Sementara itu, dalam konteks bela diri, murid akan cakap dalam membaca gerakan maupun serangan lawan.
Terbukti, selama fase "kegelapan" di Kota Pontianak, Datuk Amri belum pernah kalah bertarung. Semua pukulan lawan terlihat lambat atau seperti slow motion sehingga mudah dihindari. Kota ini memang pernah melewati suatu periode ketika para durjana merajalela. Datuk Amri ibarat antidot dari rusaknya ketertiban dan keamanan kala itu. Dia adalah pahlawan lokal yang tak pernah digaji dan diperhatikan oleh negara.
Tapi yang namanya penjahat tak akan pernah habis. Mereka seperti tikus dan kecoa yang berhasil melintasi zaman. Contohnya dua hari lalu, Datuk Amri, sendirian, berhasil mengalahkan seorang pembegal yang berusaha merampas sebuah tas dari seorang pejalan kaki yang kebetulan lewat di dekat rumahnya sekitar jam sebelas malam. Datuk Amri tak pakai senjata, tangan kosong sahaja.
Pembegal yang keok itu, namanya Ruiz Esteban, masih sempat memaki-maki Datuk Amri. Dia bersumpah akan membalas dendam dalam waktu dekat. Pada tahun 2024 ini ia berhasil menguasai sejumlah area kecil di Kelurahan Sungai Jawi, termasuk Gang Lapis Legit, lokasi kediaman Datuk Amri.
Sistem keamanan lingkungan yang Datuk Amri bentuk bersama warga sudah memudar. Beberapa orang sudah melupakan nilai silaturahmi yang terkandung saat meronda. Celakanya, banyak pula yang tak mau ikut menjaga keamanan sekaligus tak mau berkontribusi apa pun yang menyangkut hal tersebut. Mereka percaya bahwa gembok, terali besi, dan keangkuhan mampu menahan gempuran kejahatan tanpa perlu repot-repot mengantuk di poskamling.
Oleh karena itu, atas dasar kepedulian yang bertepuk sebelah tangan, Datuk Amri rela berjaga malam nyaris setiap hari demi keamanan warga. Sikap rela berkorban memang sudah lama mengalir dalam urat nadinya. Namun, sekarang ia hanya memantau keadaan dari serambi rumahnya, karena poskamling sudah lama roboh. Sesekali Datuk Amri berjalan pelan sambil memonitor celah-celah bangunan rumah warga Gang Lapis Legit yang bisa ditembus maling.
Dua kilometer dari tempat Datuk Amri berjaga, terdapat Pasar Tradisional Bunga Telang. Di sanalah pusat kekuasaan Ruiz Esteban sang preman. Rutinitas hariannya adalah mengumpulkan "uang keamanan" dari para pedagang dengan cara mengancam dan melakukan tindakan kekerasan. Duit itu dia gunakan untuk berjudi secara daring, penyalahgunaan narkotika, dan pewarna rambut.
Ruiz Esteban punya ciri khas tertentu yang membuatnya mudah dikenal: rambut warna kuning, jarang mandi, muka kusam, beraroma alkohol, dan sering menggaruk ketiak di tempat umum.
Dendam yang membara telah memotivasi Ruiz Esteban untuk segera menghabisi Datuk Amri. Berbekal informasi tentang tempat tinggal Datuk Amri, penjahat kambuhan itu telah menyiapkan berbagai senjata tajam, dia akan segera melaksanakan suatu rencana jahat.
Pada saat bersamaan, Datuk Amri sudah menduga akan terjadi sesuatu yang merugikan secara ugal-ugalan. Alam memberitahunya dengan pertanda. Cepat direguknya air kopi yang tersisa di dalam cangkir, api rokok pun telah padam. Jam tangan Datuk Amri menunjukkan angka dua belas. Malam indah berubah mencekam.
Dari kejauhan samar-samar terdengar raungan sepeda motor yang tak pernah diberi perawatan. Datuk Amri sudah mafhum, lekas ia masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu.
Datuk Amri merasa kali ini tak akan menang jika bertarung mengandalkan tangan kosong saja, tubuhnya sedang tak bugar, maka ia memeriksa senjata yang ada. Datuk Amri menyimpan sejumlah senjata di dalam sebuah lemari kayu yang sangat besar, di lantai dua rumahnya. Dia memang jarang menggunakan senjata ketika berkelahi dengan siapa pun kecuali darurat.
Bingung karena lumayan banyak koleksinya, Datuk Amri sempat ingin menggunakan golok, tapi tak jadi karena pertarungan jarak pendek akan merugikan dia yang sudah manula. Maka, mengatur pertarungan jarak menengah atau jarak jauh adalah perkara paling masuk akal. Senjata tersebut harus bisa digunakan ketika menyerang dan bertahan secara seimbang. Datuk Amri akhirnya memutuskan setelah berpikir logis. Ia tak menyangka harus menggunakan senjata buatan sendiri ketimbang hasil pabrikan.
Di bawah, Ruiz Esteban sudah mengincar dengan tatapan bengis. Ia menyiramkan bensin sebanyak enam jeriken ke dinding rumah milik Datuk Amri.
Belum sempat ia menyulut api, perhatian Ruiz Esteban teralihkan oleh suara besi yang saling bersenggolan, bunyi alat-alat berat seperti yang sering terdengar di pabrik-pabrik perakitan mobil. Merasa curiga, dia segera berlari menuju pintu utama rumah Datuk Amri.
Di sana telah berdiri Datuk Amri yang dari ujung rambut sampai ujung kaki telah diselubungi zirah besi yang dilengkapi dengan beberapa senjata berat. Bisa dibilang mirip armor Iron Man, tapi versi Pontianak.
Benda itu telah menjadi proyek pribadi Datuk Amri sejak ia dipecat secara tidak adil oleh manajemen perusahaan tempatnya bekerja dulu. Ia paham betul bahwa manusia pasti menua, tenaganya tak akan lagi cukup untuk melindungi diri dan orang-orang tercinta. Maka dia berinisiatif menciptakan suatu senjata yang praktis untuk menyerang sekaligus bertahan dengan sangat baik tanpa ada risiko terlepas dari genggaman tangan.
Berbeda dengan zirah Iron Man keluaran sinema yang bernuansa kuning emas dan merah gelap, Datuk Amri mewarnai miliknya dengan meniru rupa kain tenun corak insang khas orang Melayu di Kota Pontianak. Warna kuning terang dan hijau muda mendominasi keseluruhan senjata kebanggaan Datuk Amri itu.
Datuk Amri memilih warna dan motif tersebut karena rasa cinta dan kebanggaannya sebagai orang Melayu tulen, sekaligus menyelipkan falsafah dari corak insang itu sendiri yang berarti bernafas, hidup, dan bergerak.
Gagasan premanisme yang dianut oleh Ruiz Esteban tentu saja sangat bertentangan dengan kearifan puak Melayu di Kota Pontianak. Hidupnya adalah tentang membuat sesak nafas masyarakat, mengganggu hidup orang lain, dan bergerak menjadi beban siapa pun.
Ini merupakan pertarungan yang terjadi di setiap zaman. Cahaya melawan kegelapan, baik versus jahat, hitam kontra putih. Maka, menurut Datuk Amri, segala bentuk kejahatan harus dilenyapkan sebelum ia menyebar seperti virus.
Datuk Amri mengincar dan mengarahkan tangan kanan ke arah kepala Ruiz Esteban. Suara bising muncul dari baju zirah yang menandakan pemrosesan energi prana yang mengambang di udara untuk diubah menjadi sinar laser sedang terjadi. Ketika masa percobaan dulu, menggunakan armor corak insang, satu tembakan laser bisa menghancurkan pintu mobil jenis truk.
Ruiz Esteban terbahak-bahak, ia tak menyangka senjata terakhir Datuk Amri serupa mainan anak-anak seperti pada film-film barat. Tak mau menghabiskan waktu terlalu lama, dia langsung mengayunkan katana yang ukurannya lumayan panjang ke arah Datuk Amri.
Belum sampai bilah pedang tersebut menyentuh permukaan zirah corak insang, Datuk Amri telah menembakkan sinar laser dari bagian tengah telapak tangan kanannya. Kepala Ruiz Esteban meledak, hancur menjadi potongan daging tipis.
Percikan darahnya ke mana-mana, termasuk mengenai zirah corak insang. Dua bola mata yang tampak masih utuh menggelinding pelan ke arah kaki Datuk Amri.
"The mission has been completed!" ujar Datuk Amri. Suaranya dari dalam baju zirah terdengar berat seperti suara robot.
----
Dicky Armando, S.E. - Pontianak
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI